Demografi secara bebas dipahami sebagai ilmu tentang struktur populasi manusia. Melalui data demografis, jumlah manusia di masa mendatang dapat diprediksi cukup akurat. Di saat bersamaan, kita dapat mengalkulasi kebutuhan pangan dan papan serta konsumsi energi untuk mobilitas dan komunikasi.
Prediksi-prediksi demografis mungkin tak selalu akurat. Oleh sebab itu, kita tetap perlu mewaspadai beragam tantangan di masa mendatang dan berusaha seakurat mungkin mempersiapkan diri.
Tulisan ini bermaksud mengkaji pandangan Al-Qur’an terkait bagaimana baiknya umat Islam menyikapi tantangan-tantangan demografis yang akan dihadapi dalam beberapa dekade ke depan. Dengan diketahuinya pandangan Al-Qur’an, diharapkan hal ini menjadi panduan bagi umat Islam untuk tidak apatis apalagi abai terhadap peran agama dalam menata manusia dan ekosistem alam raya (khususnya Bumi) yang menjadi huniannya.
Mengenal Tantangan Demografis
Tantangan demografis masa depan, menurut Hans Groth, salah seorang pakar di bidang kependudukan, berkisar pada 4 hal, yakni (1) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, (2) migrasi, (3) proteksi sosial dan ketenagakerjaan, dan (4) masyarakat yang menua.
Dari keempat aspek tersebut kemudian dapat diturunkan ke beberapa isu penting lain, antara lain sistem pendidikan, kesehatan global, manajemen perkotaan, kesejahteraan anak, kepunahan ekosistem keanekaragaman hayati, keamanan pangan, dan lain sebagainya.
Tantangan-tantangan demografis pada akhirnya memacu lahirnya inovasi dan kemajuan teknologi yang dapat menunjang beragam kebutuhan manusia di masa depan, misalnya persoalan migrasi dan pangan.
Pada perkembangan terkini, produksi dan konsumsi listrik sudah mulai dapat menunjang kebutuhan mobilitas manusia dan mendukung pengadaan pangan secara massal. Sebagian kecil listrik yang dikonsumsi dihasilkan dari sumber-sumber terbarukan, seperti panas matahari, panas Bumi, angin, dan gelombang laut. Ada semangat keberlanjutan (sustainability) di balik kemajuan teknologi listrik di masa kini.
Hal yang paling diperlukan dalam merespons tantangan demografis adalah keberpihakan nyata para pemangku kebijakan dan kepentingan, baik pemerintah maupun investor, terhadap inovasi teknologi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi manusia modern yang semakin kompleks, alih-alih secara abai mengorbankan ekosistem bumi yang mulai punah.
Menjawab Tantangan Demografis
Selain inovasi teknologi dan riset-riset berkelanjutan, peran agama diharapkan dapat turut serta menunjang dan menopang rencana-rencana baik tersebut dari sisi spiritual. Melalui penafsiran dan eksplorasi makna yang lebih kontekstual, ajaran agama sudah semestinya dapat menjadi wasilah yang tepat untuk mendukung usaha-usaha manusia menghadapi tantangan demografis demi keberlangsungan kehidupan manusia di bumi.
Dalam kaitannya dengan tantangan-tantangan demografis di atas, ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang relevan untuk dijadikan renungan dalam proses tersebut.
Pertama, anjuran untuk tak merusak bumi dan lautan. Pada QS. al-Rum [30]: 41 dijelaskan bahwa kerusakan di bumi dan di lautan terjadi karena perbuatan manusia tertentu. Namun, kerusakan tersebut juga berdampak terhadap manusia lain sebagai korban. Dalam QS. al-A’raf [7]: 56, manusia dilarang untuk merusak bumi di mana Tuhanlah yang selama ini memperbaiki bumi saat dirusak manusia.
Di sisi lain, sebagai korban maupun tidak, manusia diharapkan tidak diam saja tanpa merespons keadaan. Semangat yang ditunjukkan QS. al-Syura [42]: 30 dan QS. al-Anfal [9]: 25 patut direnungkan, bahwa meski suatu keadaan buruk terjadi karena perbuatan kita sendiri, tetapi terkadang sebagian kita yang tidak berbuat zalim juga terkena imbasnya.
Oleh karenanya, dalam konteks global, inisiasi yang kita lakukan untuk kebaikan alam semesta sangatlah krusial dan mulia karena memberi dampak baik jangka panjang pada kehidupan manusia dan mahluk lain di muka bumi.
Kedua, selain bumi, yang kita perlu perhatikan adalah keberadaan generasi muda manusia yang akan menghuni bumi setelah kita tiada. Anjuran untuk tak meninggalkan generasi setelah kita dalam keadaan lemah secara eksplisit dinyatakan dalam QS. al-Nisa [4]: 9.
Penegasan yang sama juga ditunjukkan di dalam QS. al-Baqarah [2]: 266 yang secara vulgar membuat analogi kebun-kebun dengan segala macam buah-buahan yang pada masa depan menjadi luluh lantak karena diurus oleh keturunan yang masih dalam keadaan lemah (muda dan tak berpengalaman).
Karenanya, anjuran untuk berserikat serta hidup guyub dan rukun yang memberi kemaslahatan, sebagaimana ditunjukkan QS. al-Hujurat [49]: 9-13, harus selalu dijadikan pegangan utama.
Saling menguatkan antar sesama manusia, tidak rasis dan tidak menyakiti orang lain yang berbeda status sosial dan keyakinan, serta menciptakan lingkungan sosial yang positif diharapkan dapat menjadi pendorong nyata bagi kepedulian manusia terhadap alam semesta dalam menghadapi tantangan demografis di hadapan mata.
Pada akhirnya, ayat-ayat Al-Qur’an yang dihadapkan dengan isu-isu demografis di atas telah sejalan dengan maqasyid syari‘ah (tujuan-tujuan ditetapkannya hukum Islam) yang menurut Imam al-Syatibi mengandung 5 aspek penting, yakni menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga pikiran, menjaga keturunan, dan menjaga harta.
Terlihat jelas bahwa nilai-nilai agama dapat dijadikan sebagai wasilah renungan terbaik bagi kebutuhan untuk merawat bumi dan menopang keberlangsungan hidup manusia. Wallaahualam bissawab. [AR]