Angga Arifka Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, tinggal di anggaarifka.com

Melampaui Batasan-Batasan: Visi Rumi tentang Islam Agama Persatuan

2 min read

sumber: aa.com.tr

Rumi, seorang penyair sufi Persia abad ke-13, amat dikenal karena ajaran spiritualnya yang mendalam dan puisi mistik yang sangat bersemangat serta menembus batas-batas waktu dan budaya.

Ia telah banyak menulis karya dalam bentuk prosa dan terutama puisi. Karya-karyanya, khususnya Mathnawi dan Diwan-i Syams-i Tabriz, menguraikan prinsip-prinsip inti tasawuf—dimensi mistik Islam—dan memberikan pandangan tentang esensi agama Islam yang damai dan meneduhkan.

Visi Rumi tentang Islam, yang berlandaskan pada cinta, toleransi, dan pencerahan spiritual, menyodorkan pemahaman yang berbeda tentang keimanan yang melampaui narasi yang sering disalahartikan.

Inti ajaran Rumi adalah konsep cinta sebagai kekuatan transformatif, sebuah tema yang bergema di sepanjang puisi-puisinya. Ia tak ragu-ragu menekankan rahmat ilahi melampaui perpecahan sektarian dan malah merangkul seluruh keragaman umat manusia.

Bagi Rumi, Islam pada dasarnya adalah agama cinta dan kasih sayang, yang tujuan utamanya adalah mencapai kedekatan dengan Tuhan melalui praktik cinta kasih kepada Tuhan, kepada sesama manusia, dan kepada segala makhluk Tuhan lainnya.

Rumi sering menggunakan bahasa metaforis dan kisah alegoris untuk menyampaikan kebenaran spiritual. Dalam salah satu karyanya yang paling terkenal, sebuah mahakarya Matsnawi, ia menceritakan kisah seorang pencinta dan seorang kekasih, yang melambangkan perjalanan para pencari menuju Tuhan.

Melalui metafora tersebut, Rumi menggarisbawahi gagasan bahwa Islam adalah jalan penemuan diri, di mana jiwa individu sedang mengalami rindu (‘isyq) untuk lekas bertemu dan bersatu dengan Tuhan, seperti seorang pencinta yang mencari jalan pulang menuju rumah kekasihnya.

Tradisi sufi yang dipijak oleh Rumi sangat menekankan pada perjalanan batin dan penyucian jiwa. Rumi memandang ritual dan praktik tidak hanya sebagai ibadah eksternal, melainkan sebagai sarana untuk menumbuhkan kebajikan batin seperti kerendahan hati, kasih sayang, dan penerimaan.

Baca Juga  Memahami Islam Nusantara dengan Analogi Sederhana

Dalam pandangan Rumi, amat gamblang bahwa esensi Islam tidak hanya terletak pada kepatuhan terhadap ritual, melainkan juga pada transformasi hati—sebuah topik sentral yang digaungkan dalam berbagai ayat Al-Qur’an.

Puisi Rumi juga mencerminkan apresiasi yang mendalam terhadap keberagaman pengalaman manusia dan seruan persatuan di antara manusia yang berbeda latar belakang, baik identitas maupun kepercayaan.

Rumi sendiri ialah sosok sufi yang melampaui batasan sektarianisme dan menekankan universalitas pencarian manusia akan hubungan spiritual dengan Tuhan. Bagi Rumi, seorang muslim sejati adalah ia yang mengenali percikan ketuhanan dalam diri setiap manusia, terlepas dari agama atau budayanya.

Tema toleransi terlihat jelas dalam tulisan-tulisan Rumi, ketika ia menganjurkan pendekatan inklusif dan menerima mereka yang mengikuti jalan berbeda. Ia sering menggunakan metafora lautan luas untuk menggambarkan sifat kemurahan Tuhan yang tak berbatas, dan menyatakan bahwa semua sungai—yang mewakili agama dan kepercayaan yang beragam dan berbeda—pada akhirnya mengarah ke lautan cinta ilahi yang sama.

Dengan cara yang sedemikian, Rumi mengajak umat Islam untuk menganut serta memandang realitas di dunia yang plural ini dengan lebih legawa dan menerima, dan Rumi juga mendorong umat Islam terlibat dalam dialog dengan penganut agama lain sehingga dapat terpupuklah pemahaman dan harmoni.

Ajaran Rumi juga menantang stereotipe Islam yang dipahami sebagai agama kaku dan legalistik. Ia menganjurkan penafsiran hukum agama yang lebih fleksibel dan berbasis pada kasih sayang serta pengampunan, dengan menekankan pada semangat atau inti sari hukumnya dibandingkan bunyi teks hukumnya.

Rumi memandang Al-Qur’an, sebagai panduan menuju dimensi batin jiwa manusia, mengajak orang beriman untuk melampaui ritual eksternal atau lahiriah dan terhubung dengan kebenaran spiritual yang lebih dalam yang tertanam dalam kitab suci.

Baca Juga  Kesadaran Diri (Self-Awareness) dalam Al-Qur’an

Lebih lanjut, konsep “kesatuan” merupakan inti pemahaman Rumi tentang Islam. Ia tak segan-segan mendorong individu muslim untuk melampaui dualitas yang sering menimbulkan konflik, seperti diri sendiri dan orang lain, beriman dan tidak beriman, dan semisalnya. Di matanya, jalan hidup yang ditawarkan Islam adalah perjalanan menuju persatuan dan kesatuan—perpaduan yang harmonis antara jiwa individu dengan Jiwa Universal.

Ajaran Rumi, meski bertolak kuat dari spiritualitas Islam, memiliki daya tarik universal dan tak henti-henti. Penekanannya pada cinta, toleransi, dan dimensi batin iman melampaui batas-batas perbedaan agama dan budaya. Di dunia yang sering ditandai perpecahan dan kesalahpahaman, visi Rumi tentang Islam sebagai agama yang damai dan inklusif menjadi pengingat akan potensi keharmonisan dan persatuan di antara beragam komunitas beragama.

Oleh sebab itu, cara pandang Rumi terhadap Islam menunjukkan gambaran agama yang terbuka dan damai, mengedepankan cinta kasih, toleransi, dan pencerahan spiritual. Melalui puisi-puisi mistiknya, Rumi mengajak umat beriman untuk memulai perjalanan batin, melampaui ritual eksternal dan menganut prinsip universal kasih sayang dan persatuan.

Ajarannya tetap terus bergema melampaui batas waktu dan budaya, menawarkan visi Islam sejati yang mengguncang stereotipe dan menumbuhkan pemahaman serta kesalingpahaman di antara orang-orang dari beragam latar belakang.

Angga Arifka Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, tinggal di anggaarifka.com