Aziz Anwar Fachruddin Peneliti di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Mitos Pluralisme dalam NU, Mengapa Bisa Demikian?

3 min read

Kepada kawan-kawan Nahdliyin sekalian, setelah melihat perbincangan yang cukup keras di media sosial mengenai artikel jurnal yang ditulis Marcus Mietzner dan Burhanuddin Muhtadi (selanjutnya: M&B), dengan segala hormat, perbolehkan saya untuk mengajukan pandangan saya sebagai berikut.

Artikel M&B mengenai “mitos pluralisme” di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) itu seyogianya dihadapi dengan kepala dingin. Serangan personal terhadap penulisnya tidak akan membuat klaim dalam artikel itu keliru. Argumen hanya runtuh oleh argumen. Reaksi emosional terhadap argumen yang dibangun dengan data malah berpotensi mengonfirmasi klaim dalam artikel itu.

Sesungguhnya ada cara lain yang lebih elegan dan ilmiah, jika hendak mengkritik artikel itu. Tentu saja, agar kritik tepat sasaran, kita harus membaca artikel itu dengan saksama dan menelaah rincian argumen-argumennya.

Saya pribadi memeras inti artikel itu ke dalam dua jenis argumen. Pertama, pembacaan terhadap sejarah NU. Kedua, survei terhadap para pengikut NU di akar rumput. Terhadap dua jenis argumen inilah kritik yang valid bisa dilancarkan.

Menyangkut yang pertama, artikel itu membaca sejarah NU dari sejak masa NU berdiri (melawan kaum “puritan”), era Sukarno (debat di Badan Konstituante, pertentangan dengan Masyumi, peristiwa 1965), era Soeharto (asas tunggal Pancasila 1980-an), era Reformasi (manuver politik Gus Dur), dan pasca-Reformasi hingga kini (melawan FPI, HTI, dll, juga kampanye Islam Nusantara).

Membaca sejarah ini, M&B mengajukan klaim bahwa ada pola yang konsisten dalam sejarah NU, yaitu bahwa kepentingan politis dan material untuk mengakses sumber daya negara cenderung mendominasi manuver politik NU, alih-alih komitmen tulus pada nilai-nilai “pluralisme”. M&B juga menyatakan klaim bahwa di masa pemilu, kampanye NU mengenai “pluralisme” atau “toleransi” cenderung merupakan “instrumen retoris belaka”, dengan tujuan mengamankan kepentingan politis dan material tadi.

Baca Juga  Kekuatan Politik Islam Reformis Kian Menyusut

Di sinilah poinnya bila hendak mengkritik argumen pertama ini: benarkah klaim itu tepat merepresentasikan sejarah NU? Atau, klaim itu overgeneralisasi (tepat di sebagian kasus, tapi keliru di sebagian yang lain)?

Jika demikian, argumen bisa dibangun dengan menunjukkan, misalnya, kesalahan pembacaan M&B terhadap tiap poin dalam sejarah NU dari era Sukarno hingga kini. Semakin bisa menunjukkan kesalahan pembacaan poin per poin dalam tulisan, kritik akan kian kuat.

Banyak intelektual cemerlang di dalam NU, juga sudah banyak buku tentang sejarah NU ditulis. Saya duga kuat, di buku-buku itu ada bahan pembanding untuk menunjukkan bagaimana sejarah NU di masa lalu mestinya dibaca. Di titik ini, kita juga bisa mengambil sisi positif dari kontroversinya. Paling tidak, artikel itu memicu kita untuk membuka lagi buku-buku sejarah NU.

***

Terhadap poin kedua, artikel itu mendasarkan klaimnya pada survei yang, bila hendak diperas inti datanya, ia menunjukkan bahwa 54 persen orang-orang yang “merasa dirinya bagian dari NU” (disebut M&B dengan “pengikut NU”) menolak pembangunan rumah ibadah non-Muslim di lingkungan tempat tinggal mereka; dan 53 persen dari para “pengikut NU” itu menolak gubernur non-Muslim.

Persentase ini hanya sedikit sekali bedanya dengan persentase sikap serupa pada komunitas Muslim di Indonesia secara umum, 53 persen pada isu pertama dan 52 persen pada isu kedua. Di sinilah kemudian M&B menyatakan klaim yang menjadi judul tulisannya, pandangan bahwa NU lebih toleran dibanding komunitas atau organisasi Muslim lain adalah “mitos”, karena tidak terkonfirmasi oleh data survei.

Penolakan/penerimaan terhadap rumah ibadah non-Muslim di lingkungan tempat tinggal dan terhadap pemimpin non-Muslim itulah indikator yang dipakai M&B untuk mengukur tingkat pluralisme atau toleransi para pengikut NU di akar rumput.

Baca Juga  Upaya Menjalin Relasi Kesalingan antara Manusia dan Alam dalam Kearifan Lokal

Oleh karena itu, mengkritik survei ini dengan menunjukkan, misalnya, aktivisme NU dalam mengawal kebinekaan (melalui Banser atau lembaga-lembaga otonom di bawah NU) atau pendekatan sarjana lain (Jeremy Menchik, misalnya), menurut saya, kurang tepat sasaran.

Pendekatan Menchik itu ialah survei terhadap para pemimpin wilayah/cabang NU; dan aktivisme NU dalam mengampanyekan kebinekaan, dalam istilah M&B, akan masuk dalam kategori “NU members” atau anggota NU, bukan “pengikut NU” (NU followers) di akar rumput yang menjadi sumber data M&B. Definisi dari “pengikut NU” yang dipakai M&B ialah para responden yang menyatakan dirinya “merasa bagian dari” NU.

Nah, jika hendak mengkritik poin kedua ini, cara-cara yang absah untuk dilakukan, antara lain, ialah dengan memproblematisasi metodologinya atau kerangka kerja yang dipakai. Misalnya, apakah definisi “pengikut NU” itu tepat untuk menggambarkan NU secara keseluruhan? Jumlah pengikut NU ada banyak. Survei-survei yang sudah pernah dilakukan menyebut ada 40-an persen—sebagian bahkan menyebut lebih dari 50 persen—Muslim di Indonesia adalah warga NU.

Sasaran kritik lain yang bisa ditarget: apakah penolakan rumah ibadah dan pemimpin non-Muslim bisa menjadi indikator intoleransi? Jika tidak bisa, apa indikator lain yang seharusnya dipakai? Atau, lebih luas lagi, jika bukan dengan survei, bagaimana kita mengukur tingkat toleransi/pluralisme di kalangan warga NU?

Klaim bahwa pluralisme di tubuh NU itu “mitos” dibangun di atas data ini. Jika hendak meruntuhkan “mitos” ini, tidak ada cara ilmiah lain kecuali dengan adu data atau kritik pendekatan/metodologi surveinya.

***

Demikian itulah kiranya cara mengkritik yang, saya pikir, paling tepat. Saya cukup yakin, M&B, sebagai seorang sarjana, tidak akan—atau lebih tepatnya, tidak boleh—keberatan dengan kritik yang demikian ini.

Baca Juga  Solusi Agar Tidak Insecure

Klaim ilmiah yang bertanggung jawab mestilah siap untuk diuji argumen dan metodologinya. Bila kritik yang semacam ini sukses dilakukan, argumen M&B akan runtuh tanpa harus memakai serangan personal. (Juga tak harus disampaikan dalam bahasa Inggris. Yang paling penting ialah substansi gagasannya.)

Jika membaca saksama artikel M&B itu sebenarnya ada bagian yang meletakkan temuan surveinya dalam gambaran besar. Yaitu, bahwa survei-survei di sejumlah negara lain juga menunjukkan tingkat intoleransi terhadap Muslim yang kurang lebih sama—di sebagian negara Eropa bahkan lebih tinggi—dibanding tingkat intoleransi terhadap non-Muslim di Indonesia.

Artinya, Indonesia (dengan NU di dalamnya) bukanlah fenomena perkecualian. Kenaikan tingkat intoleransi saat ini adalah tren global.

Maka dari itu, temuan M&B itu bisa kita sikapi dengan dua pilihan cara: dengan menyangkalnya tanpa argumentasi yang memadai, atau mengasumsikanya benar (memberinya “the benefit of the doubt”) hingga ada temuan ilmiah lain yang berhasil membantahnya—sekali lagi, yang terjadi di tubuh NU saat ini bukan anomali.

Dengan mengambil pilihan yang terakhir, temuan M&B itu bisa menjadi bahan “muhasabah” untuk menelaah kembali apa yang kurang selama ini dalam pengarustamaan nilai-nilai kebinekaan di negara bersemboyan Bineka Tunggal Ika ini. Bisa kita umpamakan ia seperti jamu, pahit tapi bisa menyehatkan.

Pada akhirnya, pilihan apapun yang diambil kawan-kawan Nahdliyin akan menandakan seberapa beda NU dari rival-rivalnya dalam perpolitikan Islam di Indonesia ketika menghadapi kritik. [AA]

Aziz Anwar Fachruddin Peneliti di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta