Istilah insecure telah menjadi trending topic di dalam masyarakat, didukung dengan proses digitalisasi media sosial yang meningkat membuat kasus insecure di masyarakat lebih cepat. Insecure merupakan tindakan merendahkan diri sendiri dengan membandingkan diri dengan orang lain yang dianggap lebih tinggi dibandingkan dirinya. Rasa insecure, bisa dijumpai dari banyak aspek misalnya dari penampilan atau fisik, kepintaran atau kualitas diri seseorang, dan masih banyak kasus lainnya. Akibat dari adanya insecure dalam diri seseorang, mereka akan merendahkan dan menganggap remeh dirinya sendiri. Sehingga muncul gejala overthinking atau berpikir secara berlebihan tentang kekurangan-kekurangan yang ada dalam dirinya.
Saat ini tidak dapat dipungkiri hampir setiap orang mengalami rasa insecre, didapati bahwa perasaan insecure tersebut sangat beragam. Ada yang insecure karena harta, ada yang insecure karena kedudukan, dan bahkan ada yang karena paras. Padahal, setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Manusia akan unggul dalam bidangnya masing-masing. Oleh karena itu, islam memiliki pandangan tersendiri mengenai kasus insecurity. Semua ini mengindikasikan satu hal yang terabaikan yakni rasa syukur, yang dalam hal ini sebagai solusi untuk mencegah perasaan insecure, khsusunya syukur perspektif al-Ghazali.
Lebih lanjut tentang insecure, Abraham Maslow (1942: 33) dalam penelitiannya yang berjudul “The Dynamics of Psychological Security-Insecuriey” mendefinisikan insecure dengan suatu keadaan di mana individu merasa tidak aman, menganggap dunia sebuah hutan yang megerikan, mengancam dan beranggapan bahwa mayoritas manusia berbahaya dan egois. Pada umunya, orang yang mengalami gejala insecure merasa ditolak dan teriolasi, cemas, pesimis, tidak bahagaia, merasa bersalah, tidak percaya diri, egois dan cenderung neurotic.
Sedangkan faktor yang menjadi penyebab insecure, seperti yang dijelaskan oleh Malanie Greenbreg dalam artikel yang berjudul “The 3 Most Common Causes of Insecurity and How to Beat Them” ialah: pertama, karena kegagalan atau disebabkan oleh penolakan peristiwa yang baru terjadi, yang memberikan pengaruh besar terhadap suasana hati dan perasaan manusia tentang dirinya sendiri. Dikarenakan ketidakbahagiaan berdampak pada self-esteem, kegagalan dan penolakan tersebut dapat berdampak dua kali lipat pada ketidakpercayaan diri.
Kedua, karena mengalami kecemasan dalam aspek sosial. Semisal takut karena dievaluasi orang lain, hal ini dapat menyebabkan rasa cemas yang pada akhirnya membuat individu menghindar dari situasi sosial karena merasa tidak nyaman. Ketiga, perasaan insecure yang didorong oleh sifat perfeksionisme atau memiliki keyakinan harus menjadi sempurna untuk mencapai kondisi terbaik dari segi fisik ataupun non-materi.
Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa individu yang memiliki perasaan insecure pada dasarnya karena masih belum bisa menerima apa yang terjadi dan menimpa pada dirinya, seperti adanya sifat perfeksionisme, jika individu merasa dirinya tidak terlihat sempurna di mata orang lain, maka rasa insecure dengan sendirinya akan datang. Sehingga memperbanyak rasa syukur sangatlah penting untuk mengindari rasa ini.
Secara etimologi, kata “syukur” (شكور) merupakan olahan dari kata syakara-yasykuru-syukuran, yang sighatnya adalah masdar. Dalam kamus al-Munawwir (1997: 734), “syakara” memiliki makna berterima kasih, semoga Allah memberi kamu pahala dan memuji. Adapun secara terminologi, menurut Imam al-Qusyairi (2009: 97) dalam “Risalah al-qusyairiyah”, hakikat daripada syukur adalah pengakuan atas nikmat Allah Yang Maha Pemberi nikmat, dengan jalan ketundukan.
Konsep syukur dalam prespektif imam al-Ghazali dalam kitab “Ihya’”-nya (al-Ghazali, Vol. 4, 2017: 109), merupakan salah satu maqam para salik untuk bermakrifat kepada Allah SWT. Syukur, menurut al-Ghazali tersusun dari tiga komponen yakni tersusun dari ilmu, hal (keadaan) dan amal.
Penjelasan yang lebih luas dengan ketiga komponen tersebut ialah sebagai berikut: Pertama: lmu, yakni pengetahuan tentang nikmat dan pemberinya, serta meyakini bahwa semua nikmat berasal dari Allah SWT dan yang lain hanya sebagai perantara untuk sampainya nikmat, sehingga akan selalu memuji Allah SWT dan tidak akan muncul keinginan memuji yang lain. Sedangkan gerak lidah dalam memuji-Nya hanya sebagai tanda keyakinan.
Kedua: Hal, yaitu (kondisi spiritual), yaitu karena pengetahuan dan keyakinan tadi melahirkan jiwa yang tentram. Membuatnya senantiasa senang dan mencintai yang memberi nikmat, dalam bentuk ketundukan, kepatuhan, mensyukuri nikmat bukan hanya dengan menyenangi nikmat tersebut melainkan juga dengan mencintai yang memberi nikmat yaitu Allah SWT.
Ketiga: Amal perbuatan yang dihasilkan dari rasa bahagia karena mengetahui dzat Yang Maha Pemberi Nikmat. Hal ini berkaitan dengan hati, lisan dan anggota badan, yakni hati yang berkeinginan untuk melakukan kebaikan, lisan yang menampakkan rasa syukur dengan memuji kepada Allah SWT serta anggota badan yang menggunakan nikmat-nikmat Allah swt dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Yang dimaksud syukur dengan anggota badan, seperti mata yakni dengan menutup aib yang dilihat. Syukur dengan telinga yaitu menutup dari segala aib yang didengar dan syukur dengan lisan yaitu menampakkan ridha atas segala yang datang dari Allah swt.
Dengan demikian, setiap umat islam dapat mencegah dirinya dengan komponen yang pertama yakni mengetahui dan meyakini bahwa apa yang dimiliki, datang dan yang terjadi pada dirinya sekarang merupakan nikmat yang datangnya dari Allah SWT. Sehingga, dari keyakinan dan pengakuan tersebut dapat menumbuhkan rasa bahagia dan senang kepada Allah dan dirinya sendiri yang dalam hal ini merupakan komponen yang kedua. Dalam hal ini rasa insecure tentunya akan menghilang sedikit demi sedikit karena timbul rasa percaya diri pada diri manusia.
Kemudian, pada komponen ketiga, ketika umat islam telah memiliki keyakinan dan kecintaan kepada Allah maka, secara otomatis hati individu tersebut tersentuh dan tergerak untuk berkeinginan melakukan kebaikan. Sehingga dari lisannya akan mengucapkan hal-hal baik yang dapat memberikan nilai kepercayaan pada dirinya. Tidak hanya itu, mereka akan melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sehingga, secara tidak langsung ia akan merasa bersyukur atas segala nikmat yang dimilikinya.
Kesimpulannya, rasa insecure bisa diredam dengan cara bersyukur karena dalam syukur, terutama syukur perspektif al-Ghazali memiliki tiga komponen yang dapat mengembalikan percaya diri yakni komponen yakin bahwa segala sesuatu dari Allah, yang nantinya akan berbuah rasa senang dan bahagia. Rasa senang dan bahagia tersebut berbuah amal yang dalam hal ini, individu akan melakukan hal-hal positif yang dapat meningkatkan percaya diri dan menghilangkan rasa insecure.