Ahmad Ainur Rohim Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Sufisme Jawa

2 min read

Tasawuf atau sufisme merupakan merupakan suatu ajaran yang tidak dapat dipisahkan dari agama Islam. Islam sendiri bukanlah suatu fenomena sejarah, melainkan suatu kesadaran yang memiliki makna penyerahan diri dan ketundukan. Sedangkan tasawuf merupakan inti dari ajaran Islam yang dapat membantu para penganut agar dapat mencapai tingkat kesadaran yang paling tinggi.

Dalam ajaran tasawuf, seseorang akan diajarkan bagaimana cara mengenal dan merasakan kehadiran Tuhannya dalam setiap aspek dalam kehidupan. Sedangkan dalam keilmuan Barat, tasawuf disebut dengan istilah mistisisme Islam sebab menurut mereka tasawuf merupakan suatu aspek yang memiliki keterikatan dengan metode dan teknik kerohanian yang bersumber dari wahyu dan hadist Nabi.

Tasawuf ialah ajaran yang berasal dari negara Arab. Masuknya tasawuf ke Indonesia khususnya tanah Jawa dibawa oleh para ulama. Namun meski demikian, tidak serta merta diterima oleh masyarakat Jawa sebab pada zaman dulu masyarakat telah memiliki keyakinan yang berkembang dengan baik. Melacak mengenai sufisme Jawa bukanlah suatu perkara yang mudah sebab di dalamnya terdapat unsur yang saling berinteraksi dan menyatu dengan sinkretik.

Berbicara mengenai hakikat sufisme Jawa secara tidak langsung juga mengharuskan untuk memahami dasar sufisme Islam dan akar dari adanya ajaran mistik Hindu Budha, yang mana ajarannya lebih dahulu diserap dan diterima oleh masyarakat Jawa. Namun antara sufisme Islam dengan ajaran mistik merupakan 2 hal yang saling berkaitan apabila membahas mengenai sufisme Jawa, sebab kedua hal tersebut memiliki jejak yang sangat bersejarah.

Sufisme Jawa merupakan suatu ajaran yang berusaha mempertemukan antara khazanah Jawa dengan khazanah santri. Dimana dalam ajaran tersebut berusaha menyerap ajaran yang ada dalam sufisme Islam dan mecari titik temu yang sesuai dengan tradisi mistik kejawen. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan sisi kerohanian masyarakat Jawa dan juga berusaha mempertahankan etika yang diajarkan oleh ilmu kajawen.

Baca Juga  Fatwa MUI: Haram Golput pada Pemilu 2024

Adanya penyatuan antara sufisme Islam dengan tradisi mistik kejawen merupakan sebuah upaya untuk memelihara dan melestarikan budaya yang telah berkembang di Jawa serta upaya untuk meningkatkan stabilitas sosial budaya dengan berbagai karya yang dapat digunakan sebagai jembatan untuk membedakan antara budaya di lingkungan kejawen dengan budaya yang berkembang di lingkungan pesantren.

Ajaran sufisme Jawa ialah suatu ajaran yang berusaha mengembangkan berbagai konsep yang diperoleh dari hasil perenungan dan penghayatan mistik. Meskipun pada saat itu ajaran para sufi telah berkembang luas hingga menghasilkan berbagai karya tulis dengan nuansa cinta kepada Tuhannya, namun bukan berarti ajaran tasawuf mengapus secara keseluruhan ajaran mistik yang telah berkembang dan mendarah daging terlebih dahulu.

Pembawaan dalam penyebaran tasawuf yang terkesan sopan membuat masyarakat Jawa perlahan mula menerima, bahkan ada juga beberapa karya Jawa yang mengadopsi ajaran tasawuf seperti ajaran serat suluk, primbon, dan juga serat wirid. Pada dasarnya teori sufisme Jawa sangat kompleks dan beragam, namun yang paling mudah dijumpai yaitu terletak pada tradisi lisan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa.

Adapun gagasan sufisme Jawa yang paling masyhur hingga saat ini yaitu “manunggaling kawulo gusti”. Gagasan ini muncul pada era kekuasaan kerajaan Demak yang mana pada saat itu telah berhasil dipengaruhi oleh sufisme Islam. Dalam sufisme Islam, ajaran tentang “manunggaling kawulo gusti” lebih dikenal dengan istilah insan kamil (manusia yang sempurna). Sejatinya kedua ajaran tersebut sama-sama menjelaskan tentang suatu ajaran pembebasan manusia yang mutlak sebagaimana kemutlakan yang dimiliki oleh Tuhan itu sendiri.

Secara historis, sufisme Jawa telah berkembang sejak pasca kemerdekaan Indonesia dalam bentuk aliran tarekat. Sufisme Jawa dalam arti mistik Islam kejawen tidak bisa dirasakan oleh semua kalangan, sebab ajaran tentang fana’ dan ma’rifat kepada Tuhan yang Maha Tunggal sangat sulit diterima oleh orang yang masih minim pengetahuan. Dapat dipahami bahwasannya, baik dalam sufisme Jawa maupun sufisme Islam sama-sama membutuhkan proses dan pengetahuan yang panjang agar dapat sampai pada maqam ma’rifat.

Baca Juga  Kutemukan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam Satu Atap (3)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwasannya sufisme Jawa merupakan bagian dari konsep kebatinan yang masih erat kaitannya dengan berbagai ajaran dalam Islam. Di sisi lain masyarakat Jawa juga berusaha memadukan berbagai unsur yang ada dalam mistik kejawen dengan ajaran sufisme dalam Islam agar ajaran yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat Jawa tidak keluar dari ajaran inti agama Islam, yaitu al-Qur’an dan hadist nabi.

Jika dipahami dengan baik, maka dapat dipahami bahwasannya inti dari ajaran sufisme mistik Jawa dengan sufisme Islam yaitu sama-sama untuk dapat menjalin hubungan langsung dengan Allah SWT dan segala hal ghaib dengan menggunakan jalan meditasi atau berdiam diri di tempat yang sepi. Hanya saja terkadang antara satu orang dengan orang yang lain memiliki jalan dan ritual yang berbeda-beda meskipun titik yang dituju sama.

 

Ahmad Ainur Rohim Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya