Tak selamanya umat manusia dapat menikmati segarnya udara pagi. Pagi hari yang kerap diidentikkan dengan sebuah awal hari baru yang penuh harapan, seketika sirna ketika terdengar bunyi ledakan bom di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung pada Rabu (7/12) lalu. Berdasarkan pemberitaan media arus utama, bom tersebut adalah sebuah teror bom bunuh diri yang meledak pada pukul 08.20 WIB saat angggota kepolisian setempat tengah melaksanakan apel pagi.
Kapolda Jawa Barat, Inspektur Jenderal (Irjen) Suntana mengatakan bahwa dari aksi teror bom bunuh diri tersebut, sedikitnya 11 orang luka-luka dan seorang polisi meninggal dunia. Sungguh merupakan fakta yang membuat hati pilu. Negara ini masih belum usai menghadapi virus-virus ekstremisme hingga terorisme. Di tengah kisruh ricuhnya RKUHP, bayang-bayang krisis iklim yang semakin jelas di depan mata, kini negeri ini masih harus melanjutkan nafas perjuangannya melawan terorisme.
Siapakah pelaku bom bunuh diri yang tega menghabisi nyawa sendiri dan orang lain itu? Menurut fakta yang diungkap oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, pelaku aksi teror bom bunih diri di Polsek Astana Anyar tersebut ialah seorang mantan narapidana terorisme atau eks-napiter.
Ia adalah Agus Sujatno, pemilik nama alias Abu Muslim, yang sempat ditahan di Lapas Kelas II A Pasir Putih, Nusakambangan. Ia terafiliasi dengan JAD (Jamaah Ansharut Daulah). Listyo Sigit juga mengatakan bahwa Agus Sujatno merupakan salah satu eks-napiter yang masih dalam kategori ‘merah’ karena upaya pendekatan deradikalisasi yang telah dilakukan kepadanya belum tuntas sepenuhnya.
Agus Sujatno dinyatakan bebas pada bulan Maret 2021 lalu setelah sebelumnya mendekam di penjara selama empat tahun karena kasus terorisme yang ia lakukan. Identitasnya berhasil diungkap oleh kepolisian berkat teknologi pengecekan sidik jari dan face recognition yang hasilnya identik dengan dirinya.
Fakta bahwa seorang eks-napiter kembali melakukan aksi teror setelah bebas dari jeratan hukum, membuat sebagian pihak gusar. Karena meski diketahui sudah atau sedang menjalani deradikalisasi, tetapi kemudian menjadi pelaku aksi teror kembali. Dalam konteks kasus ini, sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia, sebuah kritik datang dari pengamat terorisme, Al Chaidar yang mengkritik kurangnya kajian akademik yang ada dalam program deradikalisasi. Menurutnya, seharusnya pemerintah turut melibatkan lebih banyak pihak seperti tokoh agama yang pemikirannya tidak radikal. Menurutnya, jaringan pelaku teror akan lebih mudah menerima penjelasan dan nilai-nilai dari para tokoh agama dibandingkan menerimanya dari pemerintahan.
Eks-Napiter Kembali Jadi Pelaku Aksi Teror Bom: Masih Relevankah Deradikalisasi?
Diskursus mengenai deradikalisasi yang dipertanyakan efektivitasnya nampaknya mulai sampai kepada masyarakat, khususnya pengguna internet. Saat sedang scroll timeline sosmed, saya menemukan komentar seorang netizen yang mengatakan bahwa deradikalisasi hanya buang-buang anggaran negara dan tidak berguna. Selain itu netizen tersebut juga turut mengutuk para eks-napiter. Masalahnya, mungkin informasi mengenai suksesnya deradikalisasi bagi para eks-napiter tidak terdengar oleh masyarakat luas. Namun sekali atau dua kalinya ada eks-napiter yang melakukan aksi teror kembali, justru cepat sekali sampainya.
Hal ini tentunya menjadi indikasi yang semakin mengkhawatirkan. Mengapa demikian? Eks-napiter selama ini sudah memiliki banyak cap negatif yang tersemat pada dirinya. Mereka kerap dicap sebagai pendosa tak terampuni, yang tak pantas hidup, dianggap sebagai sampah masyarakat, dan selusin label negatif lainnya. Penolakan masyarakat serta stigma buruk yang melekat pada mereka, tentu sangat berdampak pada laku kehidupan mereka. Banyak yang kesulitan mengakses pekerjaan yang layak, sulit mengakses fasilitas publik hingga dikucilkan dari masyarakat. Tak jarang dari mereka kembali terjebak dalam pusaran narasi kebenaran tunggal terorisme.
Terjadinya aksi teror yang dilakukan oleh eks-napiter tidaklah lantas mencoreng nama deradikalisasi. Tidak pula lantas menegasikan relevansi deradikalisasi itu sendiri. Deradikalisasi tetap menjadi hal yang vital dalam penanganan pasca teror. Yang kemudian harus lebih digali lagi adalah bagaimana efektivitas dari deradikalisasi itu sendiri? Pengkajian ulang mungkin diperlukan jika memang program deradikalisasi yang telah ada sejauh ini dirasa masih kurang efektivitasnya. Namun jangan sampai justru menjadi alasan untuk menghapus upaya pendekatan deradikalisasi yang selama ini telah berjalan.
Ini adalah tugas pemerintah, meliputi BNPT, POLRI, DENSUS88 hingga jaringan lembaga lainnya untuk kembali mengevaluasi dan memperkuat program deradikalisasi. Hilangnya nyawa akbat ulah terorisme tentu sudah sepatutnya menjadi cambuk untuk terus merumuskan langkah penanggulangan serta pencegahan teror secara lebih gencar. Jangan sampai kepercayaan masyarakat malah semakin menurun terhadap upaya deradikalisasi, sehingga menyebabkan penolakan hingga persekusi yang lebih masif terhadap eks-napiter lainnya.
Simalakama Eks-Napiter dan Mengapa Kita Harus Peduli
Tentu semua orang setuju jika aksi teror dalam bentuk apapun adalah tindakan keji yang amat tidak manusiawi. Tentu pelakunya juga sosok yang keji, hingga tega melancarkan aksi teror kepada manusia lainnya. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah bagaimana selanjutnya para teroris yang tertangkap dan telah menjalani hukuman kemudian bisa kembali lagi ke dalam masyarakat.
Tentu bayang-bayang rasa was-was dan tidak aman mungkin akan membayangi bagi masyarakat yang mengetahui bahwa ada tetangganya yang merupakan seorang eks-napiter. Namun bukan berarti kita sebagai masyarakat Indonesia bisa begitu saja abai dengan keberadaan mereka. Justru kita, masyarakat negara itu sendiri yang harus turut peduli dengan keadaan mereka.
Dalam suatu forum yang saya ikuti beberapa waktu lalu, saya mendengarkan sekelumit kisah dari seorang eks-napiter yang telah menemukan ‘jalan kembali.’ Identitas forum dan orangnya akan saya rahasiakan, namun saya akan membagikan sedikit kisahnya. Ia bercerita bahwa alasan mengapa akhirnya terjebak paham ekstrem adalah karena ingin mengubah sistem negara ini. Ia mengaku terpapar paham-paham radikal nan ekstrem melalui halaqah-halaqah dan pertemuan secara langsung.
Satu pengakuan yang cukup membuat saya turut sedih adalah bahwa faktor terbesar ia terjebak narasi kebenaran tunggal terorisme adalah tentang dirinya yang membatasi diri. Ia hanya mau menerima kebenaran tunggal dari kelompoknya sendiri. Sekali lagi, eksklusivisme beragama bisa menjadi awal suburnya ekstremisme dan terorisme. Kini setelah dirinya menjalani program deradikalisasi dan berbagai proses panjang ‘pemulihan’, ia mengaku bisa menjadi lebih jernih melihat kesalahan yang telah ia lakukan.
Para eks-napiter bukannya tidak mau kembali ke ajaran agama yang rahmah, tetapi terkadang ketika mereka sudah bertekad untuk kembali, namun yang didapat justru penolakan oleh masyarakat. Jika eks-napiter tidak bisa menahan diri menghadapi cemoohan, cibiran dan penolakan dari masyarakat, peluang mereka untuk kembali terjerumus kepada kelompok ekstrem semakin besar. Tentu akan menjadi persoalan baru jika mereka kembali lagi kepada kelompok teror, yang akan membuat kerja-kerja deradikalisasi semakin berat.
Inilah tugas kita sebagai masyarakat Indonesia bahwasanya kita perlu peduli dan mendukung pemulihan eks-napiter yang telah menjalani deradikalisasi. Bersama-sama, masyarakat perlu membantu agar eks-napiter tidak kembali terjerumus dalam pusaran kesalahan yang sama. Lingkup masyarakat kecil seperti desa bisa mengupayakan agar eks-napiter di daerahnya bisa terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan positif warga. Menerima eks-napiter yang telah ‘bertobat’ adalah langkah awal yang harus kita lakukan. Semata-mata untuk menjaga masyarakat kita bersama.