Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan [bagian 1] sebelumnya.
*****
Kelima, petugas sterilisasi perlu tetap menerapkan prinsip sopan santun dalam bertugas. Pasien Covid-19 bukan hama yang harus dibasmi, tetapi warga masyarakat yang harus diayomi. Pasien harus diperlakukan dengan baik supaya cepat sembuh. Dihilangkan ketegangan dan kecemasan agar imunitasnya terjaga, bukan diciptakan situasi mencekam dan menjengkelkan sehingga berpengaruh pada kesehatan mentalnya. Mestinya petugas sterilisasi bisa bertamu dengan baik dan bertanya pada penghuni rumah tempat mana saja yang harus disterilkan.
Keenam, menurut saya, jika infrastruktur dan fasilitas (baik gedung maupun kesehatan) kurang memadahi maka karantina rumah lebih baik bagi pasien OTG yang sehat, karena secara psikologis lebih tenang, tentram, dan tidak melemahkan imunitas. Gugus Tugas Covid 19 perlu mengevalusi area karantina supaya tujuan akhir dari karantina yaitu tidak menyebarnya wabah dan sehatnya pasien. Fasilitas karantina bagi pasien Orang Tanpa Gejala (OTG) yang sehat bukannya lebih aman jika karantina rumah? Selain sesuai undang-undang juga menjamin secara psikologis lebih baik bagi pasien.
Seperti iklan di TV yang saya lihat, masyarakat yang mengawasi, jika sakit maka menghubungi puskesmas/rumah sakit. Jika ada beberapa rumah maka bisa karantina lingkungan. Bukankah dalam penjelasan UU karantina yang dimaksud dengan area adalah tempat atau lokasi yang dapat berupa wilayah rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW), kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, atau wilayah lainnya yang ditentukan berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi dan/atau pengujian laboratorium.
Sebagaimana ketentuan umum pada bab VII tentang Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di Wilayah, idealnya harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Efektifitas tentu terkait dengan kesembuhan pasien, sedangkan sumberdaya terkait dengan kesiapan tenaga medis. Jika hanya mengontrol tensi dan suhu badan bagi pasien OTG yang sehat tentu cukup pegawai puskesmas untuk karantina rumah.
Ketujuh, perlu dibuatkan SOP dalam kegiatan karantina yang bisa dibaca dan dipegangi oleh pasien karantina, khususnya yang ditempatkan dalam area karantina seperti Rusunawa. Hal ini penting karena pasien butuh kepastian akan proses tindakan yang dialami. Apakah sudah ada dan pasien yang tidak paham, kita tidak tahu. Keluhan pasien karantina akan kejelasan nasibnya karena tidak ada tempat untuk mengadu. Karenanya, perlu ada humas yang menjembatani keluhan pasien dengan pejabat yang berwenang. Misalnya, durasi SWAP pertama dan kedua kenapa tidak sama antar penghuni karantina menimbulkan kecemasan bagi pasien.
Kedelapan, dalam tracing atau penelusuran riwayat kontak pasien, hendaknya petugas lebih jeli, bukan hanya menerima nama yang diajukan perangkat desa. Karena justru perangkat desa yang lebih sering kontak dengan pasien, tetapi tidak di-rapid maupun di-swap. Pasien tentu merasa tidak enak kalau harus menunjuk tetangga siapa saja yang pernah kontak dengannya, mestinya petugas memiliki strategi tracer yang berkeadilan dan keamanan bagi warga lainnya.
Kesembilan, perlu kejelasan tindakan medis yang terukur. Informasi yang saya terima dan berkembang di masyarakat berdasarkan keterangan di televisi dan media online, bahwa masa inkubasi virus Corona adalah 14 hari, setelah itu jika pasien tetap sehat maka imunitasnya meningkat dan virus melemah bahkan mati. Maka durasi karantina perlu dikomunikasikan dengan pasien berdasarkan fakta medis yang akurat dan valid. Informasi bahwa ada pasien yang telah dikarantina sampai beberapa bulan cukup mengherankan dan meresahkan masyarakat. Apalagi kasus Tulungagung, menurut berita ditemukan ratusan reagen swap yang rusak (news.detik.com, 18 Juni 2020. 20.05 wib) dan ini menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kesehatan.
Sepuluh, pemerintah daerah khususnya Gugud Tugas Covid-19 perlu lebih giat memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa Covid-19 bukanlah aib, tapi penyakit yang bisa sembuh dengan penanganan yang tepat. Membangun solidaritas dan rasa empati bagi pasien, keluarga pasien dan warga disekitar pasien. Mungkin mereka tidak memerlukan sembako karena ekonominya sudah baik, namun membutuhkan dukungan mental dan moral supaya kuat menghadapi musibah. Lebih-lebih jika pasien adalah kelompok ekonomi lemah, maka solidaritas perlu terus dibangun, karena empati bukti masih punya hati.
Kesebelas, ormas keagamaan dan lembaga-lembaga sosial hendaknya tidak hanya membantu para masyarakat terdampak wabah Corona, tetapi juga melakukan advokasi terhadap pasien Covid 19 agar memperoleh hak-haknya, baik perlakukan yang humanis, maupun tindakan medis yang jelas dan transparan. Apalagi kasak-kusuk di media sosial tentang besarnya biaya perawatan pasien covid 19 merebak bak cendawan di musim hujan.
Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor hk.01.07/menkes/238/2020 tentang Petunjuk Teknis Klaim Penggantian Biaya Perawatan Pasien Penyakit Infeksi Emerging Tertentu Bagi Rumah Sakit yang Menyelenggarakan Pelayanan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) adalah perangkat hukum yang dijadikan dasar rumah sakit untuk merawat pasien. Setelah membaca Kemenkes tersebut mestinya masyarakat menyadari bahwa biaya perawatan yang tinggi akan membebani negara, karenanya menumbuhkan kesadaran akan kesehatan supaya anggaran negara tidak habis untuk menangani Covid-19. Namun kecurigaan masyarakat akan kecurangan juga wajar karena bidaya korupsi masih menjadi persoalan berat di negara ini. Karenanya tidak ada salahnya jika masyarakat lewat ormas, LSM dan anggota dewan ikut mengawasi supaya tidak terjadi kecurangan.
Sebagai orang yang kurang dalam pemahaman hukum dan medis, saya berharap koreksi dari para praktisi hukum, para medis dan Gugus Tugas Covid-19 yang membaca tulisan ini. Dengan harapan penanganan Covid-19 tidak menimbulkan gejolak dan konflik yang malah melemahkan imunitas masyarakat. Semoga para pejuang Covid-19, baik tenaga medis, gugus tugas di bergagai level dan para relawan, diberi kekuatan dan kesehatan untuk terus bekerja mengendalikan Covid-19, agar kita semua segera terbebas dari pandemi dan hidup normal kembali. []