Puasa hadir sebagai instrumen pencerahan terhadap jiwa yang dikotori oleh hegemoni nafsu yang mengejawantah dalam dua bentuk, yaitu hedonisme dan seksualitas. Nafsu konsumtif refleksi gaya hidup hedonis yang penuh keserakahan akan dunia, sementara nafsu seksualitas refleksi keangungan dan keangkuhan. Penaklukan keduanya atas akal sehat dan nurani menjadikan manusia mabuk kepayang, tidak mampu mengontrol panca indranya, mulutnya selalu mengeluarkan bisa beracun yang akan menyakiti siapa saja yang mendengar, matanya tertutup katarak keserakahan, telinganya tersumpal bisikan-bisikan setan, dan otaknya dipenuhi makar.
Manusia yang berada dalam hegemoni nafsu akan kehilangan banyak hal bernilai dalam dirinya. Kehilangan kasih sayang, sensitivitas nuraninya luntur, kepekaan sosialnya lumpuh, kontrol dirinya lemah, bahkan merasa cuek atas kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Boleh jadi kehidupan ekonominya makmur, karier politiknya melejit, status sosialnya tinggi, namun grafik iman dan takwanya terus menurun.
Puasa bukan masalah tidak makan, tidak minum, dan tidak menyalurkan seksualitas. Lebih dari itu, ia mensucikan hati, pikiran, lisan, dan perbuatan. Kata Bimbo, hati adalah cermin. Jika kita dekat, maka ia dekat. Jika kita menjauh, maka ia juga menjauh. Cermin yang kotor tidak akan memantulkan cahaya. Pun hati yang kotor oleh kemaksiatan tidak akan bisa menyinari pikiran, lisan, dan perbuatan. Meskipun melaksanakan puasa, namun puasanya adalah sia-sia, yang didapat hanya lapar dan dahaga.
Lalu, bagaimanakah ciri puasa yang bermakna? Puasa yang bukan saja bersifat jasmani tapi juga rohani. Ada beberapa indikator yang menunjukkan bagaimana kualitas puasa kita mampu mencerahkan kehidupan kita, baik personal maupun sosial.
Pertama, mampu merasakan kehadiran Tuhan. “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” (Q.S. al-Hadīd [57]: 4). Puasa adalah ibadah yang sangat personal, hanya pelaku dan Tuhannya yang tahu apakah seseorang menjalankan puasa ataukah tidak. Seseorang tidak berani melakukan hal-hal yang membatalkan puasa karena ia merasa Allah melihatnya. Inilah pencerahan utama yang selalu diulang setiap tahunnya. Berapa banyak orang yang ditemani Allah dalam hidupnya tapi ia sama sekali tidak merasakan kehadiran-Nya. Ajakan setan lebih ia turuti padahal Allah yang selalu bersamanya. Seperti seorang profesor yang kebingungan mencari di mana kaca matanya padahal ada di atas kepalanya.
Jika kita ingin melihat kualitas teman, maka lihatlah dengan siapa ia berteman. Perilaku kita juga banyak dipengaruhi oleh teman yang dalam hadis disebutkan bahwa orang yang dekat dengan penjual minyak wangi akan beraroma wangi pula. Sedangkan orang yang dekat dengan pandai besi, maka ia akan terkena asapnya yang tidak sedap. Lalu, bagaimana mungkin orang bisa berbuat kejahatan jika ditemani oleh Allah? Boleh jadi karena ia tidak pernah merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya, padahal Ia selalu bersamanya. Puasa mengingatkan kehadiran Allah (dzikr Allah) dalam jiwa setiap manusia dengan menahan lapar, dahaga dan seksualitas meskipun tidak ada orang lain melihatnya.
Kedua, meningkatkan kepekaan sosial. Meskipun kita memiliki segudang persediaan sembako namun kita tidak memakannya karena sedang puasa. Puasa mendidik perut kita merasakan rasa lapar dan haus, rasa yang sering dialami oleh mereka yang kurang beruntung. The real experience ini seharusnya membuat kepekaan sosial kita meningkat diiringi rasa syukur kepada Allah. Jangan sampai pada masa pandemi Covid-19 ini, di mana lembaga lembaga sosial berjibaku menjaga ketahanan pangan nasional tetap terjaga malah membuat kita lupa. Ketika ada diskon belanja di mall-mall kita berlagak laksana bos, tapi ketika disodori permintaan donasi kita pasang muka malang, bahkan ketika ada pembagian sembako kita mengaku kekurangan.
Ketiga, meningkatkan kasih sayang. Al-Rahmān al-Rahīm adalah sifat Allah yang dilekatkan kepada manusia sebagai juru damai di muka bumi. Seseorang yang memiliki rasa kasih sayang memiliki sifat kemanusiaan yang tinggi. Ia akan welas asih terhadap sesama makhluk, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Ia akan memandang orang lain dengan kacamata rahmān rahīm tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, strata sosial, bahkan agama. Bagian dari sifat kemanusiaan yang rahmān rahīm itu adalah akhlak dalam berinteraksi dengan orang lain dengan santun, bertutur bahasa yang lembut, tidak menyakiti orang lain. Welas asih yang sesungguhnya bukan hanya dalam hal berbagi harta benda, tetapi bagaimana memanusiakan manusia, mengangkat harkat kemanusiaan orang lain.
Bahkan Rasulullah dalam hadis Bukhari dan Abu Dawud menyatakan bahwa seseorang yang tidak bisa menjaga lisan dan perbuatannya, maka Allah tidak merasa perlu dengan lapar dan dahaganya dalam berpuasa. Bahkan dalam perbuatan yang mulia sekalipun jika rahmān rahīm tidak menjadi pilar penyangganya juga akan sia-sia. Seperti sedekah dengan motif merendahkan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia…. (Q.S. al-Baqarah [2]: 264).
Puasa menuntut kita memandang orang lain dengan mata rahmān rahīm, sehingga yang keluar dari mulut dan perbuatan kita adalah pancaran kasih sayang yang menyelamatkan orang lain sebagai bukti dari keimanan kita mencerahkan hidup kita.
Keempat, sarana mengenal diri sendiri. Suatu sore bulan Ramadan, Rasulullah SAW berkata kepada para sahabat bahwa nanti malam adalah Lailatul Qadar. Malam itu para sahabat banyak menjalankan ibadah sampai waktu salat malam tiba. Pada sepertiga malam terakhir mereka salat tarawih di masjid ketika tiba-tiba hujan turun sangat lebat. Mereka tidak meninggalkan tempat sujudnya sehingga baju mereka basah karena atap masjid terbuat dari daun kurma yang tidak rapat, dan badan belepotan dengan lumpur yang meleleh dari dinding masjid yang direkatkan dengan tanah. Lantai masjid pun juga masih terbuat dari susunan batu yang diratakan dengan tanah. Selesai salat mereka pulang sebentar untuk berganti pakaian dan makan sahur, terus kembali ke masjid untuk salat subuh. Hari itu Rasulullah tidak menjelaskan apapun dan para sahabat juga tidak bertanya apapun.
Para ulama menafsiri peristiwa tersebut sebagai puncak pengalaman spiritual puasa. Puncak spiritualitas ini diraih ketika seseorang menyadari akan eksistensinya sebagai manusia yang berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah seperti para sahabat yang belepotan tanah ketika sujud. Dalam bahasa para wali tanah Jawa, orang akan memperoleh hikmah kebijaksanaan ketika dia menyadari sangkan paraning dumadi, dari mana kita berasal, untuk apa kita diciptakan, dan kemana kita akan kembali, dari Allah kita dikirim ke bumi dan kepada Allah kita akan kembali. Atau dalam bahasa sufi, man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, barang siapa mengenali jati dirinya maka dia telah mengenali Tuhannya.
Dengan demikian, puasa melatih seseorang untuk menghayati siapa dirinya, untuk apa diciptakan dan kemana akan kembali. Simbol ritual dalam hal ini adalah disunahkannya iktikaf (berdiam diri di masjid), tentu untuk berzikir, muhāsabah diri, istighfar memohon ampun kepada Allah. Puasa mengenalkan manusia akan kelemahan dan kekurangan diri, menunjukkan kekuasaan dan ke-Mahasempurna-an Allah, Tuhan alam semesta.
Karena itulah, jangan sampai puasa kita menjadi puasa jasmani yang sia-sia belaka, yang hanya menggugurkan ketentuan fiqh menahan lapar dan dahaga, namun harus puasa yang mampu mencerahkan rohani, menggapai puncak spiritualitas berupa kebijaksanaan hidup. Puasa yang secara esensi menumbuhkan kemanusiaan, akhlak mulia, kepedulian sosial, rasa kasih sayang, tahu diri, dan selalu merasa ditemani Allah sebagai buah dari takwa. Puasa adalah pencerah jiwa. [MZ]