Bakhrul Huda Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Tradisi Saling Memaafkan Jelang Ramadan

2 min read

Ramadan merupakan salah satu bulan terbaik yang memiliki privilige dan tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya. Ramadan adalah bulan diwajibkankannya puasa, awal kali diturunkannya al-Qur’an, bulan tadārus al-Qur’an, satu malam ibadah yang bernilai seribu bulan, ditutupnya pintu-pintu neraka dan dibukanya pintu-pintu surga serta terbelenggunya para setan.

Memasuki bulan mulia ini, banyak bertebaran di media sosial ungkapan permohonan maaf seorang Muslim kepada teman dan kolega. Walupun pada dasarnya praktik maaf-memaafkan tidak mengenal waktu atau bulan khusus. Andai ada perselisihan antar-sesama seyogianya hari itu juga seorang Muslim memohon maaf seraya membuat perdamaian (iṣlāḥ) sebelum tidurnya.

Hal ini sebagaimana hadis Nabi Muhammad dalam riwayat Bukhari: “man kānat ‘indahu maẓlamah li-akhīhi min ‘irḍihi aw min syay’in falyataḥallal minhu al-yawm…” (barang siapa yang di sisinya terdapat suatu hal dari hasil penganiayaan terhadap saudaranya, baik yang berkaitan dengan keperwiraan saudaranya atau suatu yang lain, maka hendaklah ia meminta kehalalan/maaf hari itu juga…). Hal demikian merupakan tuntutan yang juga tersurat dalam Q.S. al-A’rāf [7]: 33.

Keharusan untuk segera memohon maaf juga dapat kita ambil dari sabda Nabi Muhammad dalam riwayat Muslim: tu‘raḍu a‘māl al-nās fī kulli jum‘ah marratayn, yawm al-ithnayn wa yawm al-khamīs, fayughfaru li kulli ‘abdin mu’minin illā ‘abdan baynahu wa bayna akhīhi syaḥnā’… (amalan manusia di setiap pekan dilaporkan dua kali, yaitu di hari Senin dan Kamis, maka setiap hamba yang beriman akan diampuni kecuali seorang hamba yang antara dia dan saudaranya masih ada permusuhan…).

Sejauh ini saya belum menemukan ayat atau hadis yang secara jelas menyarankan perbuatan maaf terkhusus di bulan mulia ini. Lalu kenapa kita menekankan diri untuk saling meminta maaf menjelang Ramadan? Menurut saya hal ini karena efek permusuhan dapat mencegah kebaikan datang atau tindakan salah yang sudah dilakukan sebelum Ramadan bisa menghalangi kebaikan yang dilakukan pada bulan suci tersebut.

Baca Juga  Abdullah bin Ummi Maktum Sang "Lelaki Masjid"

Kita ingat bagaimana Allah swt. akan memberitahukan kepada kita kepastian persisnya malam Lailatul Qadar itu jatuh di hari apa di bulan Ramadan, namun karena ada dua sahabat yang saling debat kusir perihal waktu mulia tersebut, akhirnya informasi waktu riil Lailatul Qadar dirahasiakan oleh-Nya.

Dalam hal ini Bukhari menceritakan dalam Ṣaḥīḥ-nya, Nabi saw. bersabda: “kharajtu li-ukhbirukum bi laylat al-qadr, fa-talāḥā fulān wa fulān, farufi‘at wa ‘asā an yakūna khayran lakum…” (Saya keluar untuk memberitahu pada kalian tentang waktu persis datangnya Lailatul Qadar, tiba-tiba antar-fulan saling beradu argumen, lalu diangkatlah (informasi waktu Lailatul Qadar itu) dan semoga itu baik untuk kalian…).

Hadis ini menjadi pelajaran bagi kita sebagaimana yang diungkapkan ulama senior al-Azhar, antara lain Muhammad al-Ghazali, Muhammad Sayyid Thantawi, dan Ahmad Umar Hasyim dalam kitab Laylat al-Qadr, bahwa beradu argumen secara frontal dapat menghalangi datangnya informasi tentang kepastian malam Lailatul Qadar. Karenanya, sangat dianjurkan bagi setiap Muslim untuk saling menyayangi dengan perasaan cinta melebihi cinta kepada dirinya sendiri.

Jika ada permusuhan, segeralah berdamai. Seorang Muslim yang telah memutus tali persaudaraan kiranya ikatan tersebut dijalin kembali secara erat. Jangan sampai membiarkan permusuhan merusak kasih sayang dan hubungan di antara sesama manusia. Permusuhan dan perbedaan yang menimbulkan kebencian menyebabkan kebaikan sirna dari muka bumi. Sesungguhnya kebaikan dan keberkahan akan menyebar luas di muka bumi saat kita saling menyayangi dan meniadakan dosa permusuhan.

Hal ini sebagaimana riwayat Ibnu Majah: “asra‘u al-khayr tsawāban al-birru wa ṣilat al-raḥim wa asra‘u al-sharr ‘iqāban al-baghy wa qaṭī‘at al-raḥim” (kebajikan yang cepat mendatangkan pahala adalah berbuat baik dan silaturrahim dan keburukan yang cepat mendapati balasan adalah kezaliman dan memutus silaturrahim). Dalam riwayat Bayhaqi, Nabi saw. bersabda saat di Arafah: “inna al-raḥmah lā tanzilu ‘alā qawmin fīhim qāṭi‘ al-raḥim” (Sesungguhnya rahmat tidak akan turun pada suatu kaum yang memutus silaturrahim).

Baca Juga  Pentingnya Menyadari Bahaya Dosa yang Tak Tampak

Dengan demikian fenomena saling meminta maaf jelang memasuki bulan Ramadan merupakan adat baik yang dilestarikan oleh masyarakat tidak hanya di Indonesia, karena pun demikian terjadi di negara-negara Arab. Sekurang-kurangnya ada dua motif mengharap rahmat dan kebaikan di bulan suci, yaitu because motive (motif penyebab) dan in order to motive (motif tujuan). Kedatangan Ramadan yang menjadikan seseorang meminta maaf ini adalah because motive dan mengharap kebaikan penuh Ramadhan adalah in order to motive (motif tujuan). [MZ]

Bakhrul Huda Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *