Akhol Firdaus Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Dosen UIN SATU, Tulungagung;

Potret Penghayat Kepercayaan dalam Pemilu 2024

2 min read

Kalangan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (berikutnya disebut Penghayat saja) dan penganut agama leluhur merupakan kelompok paling minoritas secara sosial politik, tetapi bukan berarti tidak diperhitungkan dalam konstelasi politik di Indonesia.

Sebaliknya, preferensi politik Penghayat justru membantu menggambarkan peta kekuatan politik di Indonesia, terutama bila para kontestan Pilpres hendak menghitung perspektif kelompok rentan yang memiliki ekspektasi sangat tinggi atas terwujudnya perlindungan terhadap keragaman agama/kepercayaan di Indonesia.

Ekspektasi tersebut biasanya akan dititipkan kepada calon Presiden dan Wakil Presiden yang dianggap memiliki kadar toleransi paling tinggi, atau dianggap mampu menjalankan amanat konstitusi dalam hal perlindungan dan keadilan bagi kelompok minoritas agama/keyakinan di Indonesia.

Sejak Pemilu pertama, tahun 1955, kalangan Penghayat dan pemeluk agama leluhur umumnya dikategorikan sebagai kelompok nasionalis  yang preferensi politiknya sering dihadap-hadapkan dengan kelompok Islam atau santri. Pandangan ini tentu tidak sepenuhnya benar, bahkan semakin susah dibuktikan kebenarannya. Semakin hari keberadaan Penghayat makin mengalami peleburan dengan kelompok-kelompok sosial keagamaan lain.

Betapapun kalangan ini bisa dikategorikan sebagai kelompok nasionalis, namun keberadaannya tidak bisa ditafsirkan bersifat homogen, tidak bisa pula dilihat dengan kacamata monokausalitas, dalam pengertian mereka dipandang memiliki preferensi politik tunggal. Kalangan Penghayat dan pemeluk agama leluhur sama dinamisnya dan progresifnya dibandingkan dengan kelompok-kelompok pemilih lain dari kategori agama/keyakinan berbeda.

Menarik melihat hasil survei Litbang Kompas yang melihat profile pemilih berdasarkan usia, pendidikan, status sosial ekonomi, dan agama/kepercayaan. Ulasan saya ini tentu saja hanya akan melihat profile pemilih dari latar belakang agama/kepercayaan saja, terutama hanya akan melihat dinamika kalangan Penghayat dan pemeluk agama leluhur.

Berdasarkan hasil survei tersebut, 50 persen suara kalangan Penghayat dan pemeluk agama leluhur masuk ke pasangan calon (paslon) nomor 02, Prabowo-Gibran; sementara itu, 26,3 persen masuk ke Paslon nomor 03, Ganjar-Mahfud; dan sisanya, 7.9 persen masuk ke Paslon nomor 01, yakni pasangan Anies-Muhaimin. Sedangkan angka tidak memilih mencapai 15.8 persen.

Baca Juga  Masih Soal Diskriminasi Jalur Hafal Alquran

Ini merupakan data anomali yang mewarnai hasil Pilpres tahun 2024. Dukungan kalangan Penghayat dan pemeluk agama leluhur kepada Paslon nomor 01 tergolong cukup tinggi bila dibandingkan dengan kelompok agama minoritas lainnya.  Sebut saja misalnya, umat Hindu tidak memberi satupun suara kepada Paslon nomor 01. Angka dukungan kelompok ini secara berimbang diberikan kepada Paslon 02 (47.5 persen) dan Paslon 03 (43.2 persen).

Begitu juga, baik umat Kristen maupun Katolik, masing-masing hanya menyumbang angka 1.7 persen kepada Paslon nomor 01. Dukungan Kristen kepada Paslon nomor 02 mencapai 56,9 persen, dan 32.9 persen kepada Paslon nomor 03. Hampir mirip, kalangan Katolik juga menyumbang dukungan kepada Paslon nomor 02 mencapai 64.9 persen, dan sisanya, 29.3 persen kepada Paslon nomor 03.

Intinya, dukungan kalangan Penghayat terhadap Paslon nomor 01, tergolong cukup baik dibandingkan dengan kelompok-kelompok agama minoritas lain. Padahal, sebagai kelompok yang sering dihadapkan dengan kekuataan politik Islam, kalangan Penghayat dan pemeluk agama leluhur seharusnya sama sikapnya dengan kelompok-kelompok agama (minoritas) lainnya.

Data tersebut selain membuktikan bahwa preferensi politik kalangan Penghayat ternyata sangat beragam, juga sekaligus menggambarkan bahwa sebenarnya dalam tubuh Penghayat sendiri tidak ada masalah yang serius terkait dengan profil Capres dan Cawapres yang diidentifikasi mengusung politik identitas.

Seperti banyak dilewatkan oleh para ahli bahwa, dalam tubuh Penghayat Kepercayaan sesungguhnya ada keragaman yang menggembirakan sehingga kalangan ini tidak selalu bisa dibaca secara hitam-putih, terutama dalam hal-ihwal politik.

Melampaui keragaman tersebut, Penghayat Kepercayaan dan para pemeluk agama leluhur tetap menaruh harapan tertinggi mereka kepada Paslon 02 dalam urusan kepercayaan bahwa Paslon tersebut mampu mewujudkan ekspektasi mereka terkait jaminan atas hak beragama/berkeyakinan.

Baca Juga  Huluisasi dan Hilirisasi Integrasi Keilmuan di PTKI [Bagian 1]

Menariknya lagi, hal ini bukan sesuatu yang eksklusif milik Penghayat. Ada tren yang sama diantara pemilih dengan latar belakang agama/kepercayaan yang berbeda-beda dalam memberikan dukungan pada Paslon 02.

Semua pemilih berdasarkan kategori agama, memberikan dukungan yang sangat tinggi kepada Paslon 02. Diantara semua agama/kepercayaan, mungkin hanya kalangan Muhammadiyah yang memberikan dukungan tertinggi kepada Paslon nomor 01.

Bagi kalangan Penghayat sendiri, keragaman apapun yang terjadi di internal mereka selalu bisa diseleraskan oleh kesamaan pandangan dunia (world view) mereka dalam melihat hubungan primordial dirinya dengan negara.

Bisa dikatakan, inilah kelompok sosial keagamaan yang membangun identitasnya melalui keterlibatan total dalam menjaga dan merawat kebangsaan Indonesia di atas pondasi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Penghayat adalah satu dari sedikit kelompok yang memiliki kadar penerimaan tertinggi pada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Penerimaan total ini bahkan diekspresikan dalam totalitasnya menjaga kebangsaan Indonesia tetap terawat sebagai rumah yang ramah bagi segenap keberagaman. [AA]

Akhol Firdaus Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Dosen UIN SATU, Tulungagung;