Umat Islam di seluruh dunia merasakan suasana berbeda pada Ramadan 1441 H kali ini. Wabah covid-19 memaksa umat Islam untuk tidak lagi merayakan atmosfer berdesak-desakan mencari shaf salat di masjid-masjid, meski hanya di awal bulan—kecuali di sedikit masjid seperti Masjidil Haram dan Masjid Nabawi barangkali, yang di akhir bulan justru makin penuh sesak. Kali ini, perlombaan berpeluh penuh sesak itu terempas oleh perang melawan wabah covid-19.
Arab Saudi termasuk negara yang paling awal menerapkan penutupan sementara salat berjamaah di masjid-masjid. Mendahului Indonesia. Sebagai negara monarkhi, tak ada perdebatan sama sekali saat Pemerintah mengumumkan penutupan masjid. Dimulai 17 Maret 2020, Pemerintah Arab Saudi menangguhkan pelaksanaan salat berjamaah dan salat Jumat di seluruh masjid di Arab Saudi, kecuali Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Pada 19 Maret 2020, Pemerintah Arab Saudi menutup Masjidil Haram dan Masjid Nabawi untuk publik: salat berjamaah di kedua masjid ini tetap dilaksanakan oleh imam dan jamaah terbatas, hanya para petugas khusus.
Meski masjid ditutup, azan tetap terus dikumandangkan oleh para muadzin masjid-masjid, sesuai jadwal waktu salat. Hanya saja, lafal hayya ‘ ala al–salāh dan hayya ‘ala al-falāh diganti menjadi al–salātu fī buyūtikum (salat di rumah kalian masing-masing). Begitu sejak awal masa lockdown hingga sekarang.
Di Saudi, pada Ramadan tahun-tahun sebelumnya, azan isya selalu dikumandangkan 2 jam setelah azan magrib. Jarak 2 jam magrib-isya seperti ini sebenarnya bukan “waktu syariat”, tapi—barangkali—untuk memberikan kesempatan agar warga memiliki waktu yang cukup untuk menikmati buka puasa. Agar mereka memiliki cukup waktu untuk berburu salat jamaah isya dan tarawih bersama imam di masjid-masjid.
Tahun ini, azan isya dikumandangkan menyesuaikan waktu syariat. Mungkin karena tidak ada tarawih di masjid-masjid. Hanya arloji Alfajr (perusahaan penyedia jam dengan jadwal waktu salat) yang tetap meperlihatkan jarak waktu azan isya dan azan magrib sejauh 2 jam. Sistem yang tertanam di produk Alfajr ini rupanya belum mengenal wabah covid-19.
Bagi pegawai KBRI Riyadh seperti saya dan semua WNI yang tinggal di Riyadh, Ramadan tahun ini terasa jelas berbeda. Pelayanan, pelindungan, dan kerja sama antar-WNI semakin terlihat. Banyak WNI datang dari berbagai sudut kota di Riyadh—juga kota-kota lainnya di utara, timur, dan selatan Provinsi Riyadh (barat Riyadh lebih banyak ditangani KJRI Jeddah)—untuk menyampaikan keluhan atas dampak dari wabah covid-19. Mulai dari gaji tidak dibayar, kepulangan ke tanah air tertahan, kelaparan, hingga dicampakkan oleh sponsor atau pemberi kerja dengan alasan kesulitan ekonomi akibat kebijakan terkait covid-19.
Well, sebenarnya keluhan-keluhan tentang itu tidak hanya muncul sekarang. Sebelum wabah covid-19 pun aduan tentang hal-hal itu juga setiap hari muncul. Namun, akibat COVID-19 ini, jumlahnya menjadi berlipat ganda. Alhasil, keringat para pelayan WNI di bulan Ramadan ini bercucuran lebih deras.
Pemerintah RI melalui KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah menerjunkan tim untuk mendata dan mendistribusikan bantuan bahan pokok bagi WNI terdampak COVID-19. Para kelompok warga madani juga tak kalah gesit membantu sesama. Meski demikian, jumlah WNI legal yang lebih dari 350 ribu jiwa di Arab Saudi tetap menyisakan aduan-keluhan-ketidakpuasan atas turun tangannya Pemerintah RI dan warga madani itu.
Di luar itu, ada banyak WNI yang menetap di Arab Saudi dengan tidak mengantongi iqomah atau visa yang semestinya. Sebagian pihak bahkan berani menyebut 2 atau 3 kali lipat dari pemegang izin tinggal resmi. Mungkin, bisa jadi jumlah keseluruhan WNI yang tinggal di Arab Saudi berkisar 1 juta jiwa. Itu bukan hal yang tidak masuk akal.
KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah tahu betul bahwa akan terus ada keluhan, mungkin juga cercaan, yang mengiringi kerja keras upaya-upaya membantu para WNI di Saudi. Namun, hal itu tak lantas menurunkan semangat. Selalu teringat: ini bulan Ramadan, insyaallah pahala akan terus dilipatgandakan. Di siang hari, para petugas KBRI berkeliling mendatangi tempat-tempat di mana ada WNI yang membutuhkan bantuan, sementara di malam hari waktu istirahat mereka ditemani tugas membalas begitu banyak pertanyaan, keluhan, konsultasi, atau kiriman share location.
Ramadan kali ini, mungkin aktivitas baca Alquran, baca salawat, berzikir, dan salat sunah berkurang. Namun, tugas-tugas kemanusiaan dan pelayanan terhadap WNI barangkali bisa menjadi kebaikan yang akan dicatat dan dilipatgandakan. Bukankah salah satu esensi puasa Ramadan adalah berempati dan merasakan kesusahan yang orang lain rasakan? (AS)