Ahmad Inung Budayawan yang Tinggal di Sidoarjo

Cerpen: Kepedihan yang Indah [Bag 1]

2 min read

Malam ini segalanya akan segera diputuskan. Aku berani mengatakannya atau tidak. Setelah ini, semua orang akan mengejar impiannya sendiri-sendiri. Aku sendiri memutuskan untuk kuliah di Bandung. Memang tak pernah ada jaminan apakah setelah aku menyatakan perasaanku kepadanya aku akan menjalani hidup bersamanya atau tidak. Tapi rasanya tidak mungkin meninggalkan kota ini hanya dengan separuh hati.

Aku yang biasanya sangat terbuka dengan mama, kali ini terasa sangat malu. Berhari-hari aku dilanda kebimbangan. Jelas mama bisa melihatnya karena beberapa kali dia bertanya apa yang sedang terjadi padaku.

Setelah berdandan rapi untuk berangkat ke pesta perpisahan bagi siswa-siswa yang baru saja lulus ujian akhir, aku akhirnya menemui mama yang saat itu duduk di ruang tengah.

“Ma, Doni mau ngomong.”

“Apa? Mau pake mobilnya mama? Gak boleh, belum punya SIM,” sahutnya dengan suaranya yang kalem dan senyum yang terulas di bibir, seperti biasanya.

“Enggak, Ma. Doni pakai motor aja kok”

“Mau ngomong apa?” tanya mama sambil tangannya memberi isyarat agar aku duduk di sampingnya. Setelah duduk di sampingnya, aku hanya diam.

“Lho katanya mau ngomong, kok malah diam?”

Aku tetap diam. Mataku justru melihat ke layar televisi yang entah sedang menayangkan acara apa. Setelah agak lama terdiam, aku menoleh ke mama dan bertanya, “Bolehkah aku pacaran?”.

Seketika mata mama berbinar dan senyumnya merekah. “Gadis yang gambar sketsanya kamu pajang di kamarmu itu?” tanya mama. Aku mengangguk.

“Kamu sudah mengatakan kepadanya?” tanya mama lagi. Aku menggeleng.

“Mengapa?”

Aku hanya diam. Gimana caraku mengatakan ke mama bahwa aku ketakutan mengatakan cinta pada gadis yang selama tiga tahun sketsa wajahnya terpajang di dinding kamarku. Bagaimana mengatakan ke mama bahwa aku malu kalau nanti ditolak. Bagaimana aku mengatakan ke mama kalau…kalau…kalau….

Baca Juga  Tafsir al-Baqarah Ayat 156: Hakikat Ungkapan 'Innalillah'

“Boy, dengarkan hatimu dan jujurlah. Kalau kamu merasa mencintainya, nyatakan perasaanmu ke dia dan biarkan dia memutuskan untuk menerima cintamu atau menolaknya. Apapun jawabannya, hormati dia, bukan hanya karena dia berhak melakukannya, tapi juga karena dia adalah wanita yang kamu cintai. Tidak bermoral kalau kamu menyakiti wanita yang kamu cintai,” kata mama sambil mengelus-elus pundakku.

Seperti biasanya, suara mama selalu meneduhkanku. Aku hanya terdiam sambil mataku melihat ke sudut ruangan. Mama tahu persis ada kebimbangan di diriku.

“Kamu tahu, Nak, penyesalah terbesar?” Kali ini nada suaranya sedikit bergetar. “Penyesalan terbesar adalah ketika seseorang tidak berani menyatakan cintanya, dan bertahun-tahun kemudian, saat semua situasi tak memungkinkan lagi, dia masih merasakan getaran cinta itu. Penyesalan ini akan menggenang menjadi kepedihan kalau kamu kemudian tahu bahwa sesungguhnya dia juga mencintaimu dan saat itu tiap detik dia berharap mendengar kata-kata ‘aku mencintaimu’ dari bibirmu.”

Aku menghela nafas. Mama terus menatapku. Aku memercayai kata-kata mama karena bisa jadi banyak wanita yang jelas melihat kilatan cinta dari mata seorang laki-laki tapi laki-laki itu begitu pengecutnya hingga tidak pernah berani mengutarakannya.

“Ya, Ma,” kataku sambil memaksakan tersenyum. Jelas mama tahu persis bahwa senyumku sama sekali tidak menunjukkan hilangnya kekhawatiran di hatiku. Aku tak mungkin bisa bohong. Bagaimana mungkin aku bisa membohongi mama.

Dia melepaskan tangannya dari pundakku. Membenahi krah bajuku yang aku yakin tidak ada yang salah. Mama hanya ingin menunjukkan perhatiannya kepadaku.

“Sayang, dengarkan mama!” Kali ini suaranya menegas. “Sakitnya sakit adalah jika suatu hari nanti kamu bangun dari tidurmu dan kamu mendapati bahwa orang yang tidur di sisihmu bukanlah orang yang kamu cintai. Sekuat apapun keinginanmu untuk menemui kekasih hatimu dan mengutarakan cintamu, tidak ada pintu yang bisa engkau masuki karena semuanya sudah terlambat.”

Baca Juga  Tentang Korelasionisme: Catatan Kecil untuk Goenawan Mohamad

Aku melihat ada kilatan tertentu di matanya sekalipun aku tak tahu apa itu. Sekalipun nada suara mama masih sekalem biasanya, dia tidak bisa menutupi suaranya bergetar. Aku berpikir apakah papa bukan laki-laki yang dicintainya? Apakah mama memendam kepedihan rindu dan cinta pada laki-laki lain dari masa lalunya? Apakah mama pernah sangat berharap mendengar ucapan cinta dari seorang laki-laki tapi karena kepengecutan laki-laki hingga tak berani menyatakan cintanya? Kalau ya, betapa pedih hatinya karena harus hidup dalam sebuah pernikahan yang sedemikian sempurna. Lebih baik baginya hidup dalam pernikahan yang kacau karena ada alasan untuk mengakhirinya. Dia bertahan atas nama kesetiaan dan kesakralan pernikahan, dan mungkin juga karena adanya aku sebagai anaknya.

Spontan aku memeluknya. Mama yang biasa ketika aku memeluknya balas memelukku dan mengusap-usap punggungku, kali ini memelukku sangat erat. Aku katakan padanya,”Aku akan jujur pada Nina, Ma.” Sambil melepaskan pelukannya, mama menatap mataku lekat sambil berkata, “Berangkatlah, katakan pada Nina-mu. Pakailah mobil mama.”

[Bersambung]

Ahmad Inung Budayawan yang Tinggal di Sidoarjo