Salah satu momen terindah dalam hidup saya adalah ngobrol dengan Virginia menjelang tidur. Selain cerita-cerita ringan dan riang, selalu ada tema menarik yang dipicu oleh pertanyaannya yang kerap tak terduga. Apa yang dipikirkan anak-anak kita sering tak terbayang oleh kita walaupun saat kecil dulu mungkin kita memiliki pemikiran yang kurang lebih sama.
Saya masih ingat dulu waktu kecil, saat menjelang tidur, ketika kamar sudah gulita karena seluruh lampu damar sudah dipadamkan (begitulah kebanyakan orang desa), saya sering memikirkan masalah-masalah eksistensial. Misalnya, mengapa saya diciptakan sebagai manusia? Menjadi manusia itu berat karena dituntut beribadah kepada Tuhan, yang kalau tidak, kita akan dimasukkan neraka.
Mengapa saya tidak diciptakan menjadi hewan saja, semisal ayam, agar tidak menanggung beban kewajiban yang penuh ancaman itu? Tapi sisi lain otak saya menolak, apa enaknya jadi ayam kalau pada akhirnya disembelih manusia untuk dimakan. Otak saya kemudian memutuskan: Lebih baik saya tidak pernah ada. Tidak ada berarti tidak menanggung kewajiban apapun dan tidak dituntut pertanggungjawaban apapun. Ketiadaan adalah pilihan terbaik. Itu kesimpulannya!
Di kesempatan lain, saya berpikir bagaimana Tuhan “bermula”. Ini adalah pemikiran yang sering muncul di benak saya saat kecil menjelang tidur. Jika alam semesta diciptakan Tuhan, lalu bagaimana Tuhan ada? Di seberang sana otakku menghafal ajaran “sekolahan” bahwa Tuhan tidak diciptakan, tidak bermula, dan tidak berakhir. Saya masih bersikeras bertanya, bagaimana Dia tiba-tiba ada. Bahkan istilah “tiba-tiba” ini pun mengandaikan dia memiliki awal. Jika dia memiliki awal, lalu sebelum Dia apa?
Saya lelah hingga tertidur. Besok pagi bangun dan mengawali kehidupan anak-anak seperti biasa: mandi, shalat subuh, bersiap ke sekolah, sore ke masjid untuk mengaji lagi, dan malamnya akan memulai tidur dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggangu itu lagi.
Saya tak pernah bercerita kepada siapapun tentang apa yang saya pikirkan itu. Saya malu bahwa itu hanyalah pertanyaan-pertanyaan bodoh anak kecil yang hanya akan menjadi bahan tertawaan. Tapi yang lebih penting adalah karena saya takut. Saya takut ketika pertanyaan itu saya utarakan ke ibu dan ayah, misalnya, mereka mungkin malah akan mengatakan bahwa saya berdosa. Padahal, semua kerisauan di atas kalau saya pikir-pikir ulang bermula dari konsep dosa-pahala yang menjadi kerangka pendidikan agama saya di waktu kecil. Di rumah, di sekolah, di masjid, di manapun tempat di mana ada pengajaran agama, kerangkanya adalah dosa-pahala, ancaman neraka dan balasan kenikmatan surga.
Tentu saja, ketakutan akan ancaman neraka jauh lebih melekat di benak saya daripada janji-janji kenikmatan surga yang waktu itu, bahkan di dalam situasi kemiskinan desa, terasa tidak ada yang istimewa. Iming-iming buah, madu, susu, sungai mengalir jernih, bidadari cantik, dsb, terdengar lebih cemen dari ancaman api membara yang meluluhlantakkan daging dan tulang-tulang kita, yang siksaan itu akan terus-menerus diulang tanpa akhir dan jeda.
Saya bukan anak yang berkembang di lingkungan eksklusif, juga bukan anak jenius, karena itu, saya yakin bahwa apa yang melintas di pikiran kanak-kanak saya pasti juga dialami oleh ribuan anak lain. Saya juga yakin bahwa pikiran-pikiran itu banyak dipendam sendiri daripada dibagi dengan orang-orang dewasa terdekatnya. Pikiran-pikiran ini lebih banyak ditekan kemudian masuk ke alam bawah sadar, dan akhirnya terlupakan.
Ketika saat ini saya menjadi orang tua, saya tidak ingin membiarkan anak saya menanggung kegalauan-kegalauan itu sendiri. Saya menyiapkan diri saya untuk menjadi teman akrab sehingga setiap saat dia tanpa ragu membicarakan kerisauannya, termasuk hal-hal yang bagi kebanyakan orang tua dianggap sebagai tabu teologis. Saya ingin membiacarakan hal-hal seperti itu dengan anak saya dengan riang gembira.
Tadi malam, saat saya menemaninya menjelang tidur, tiba-tiba dia bertanya, “Papa pernah nggak berpikir, mengapa kita ada?” Pertanyaan itu seketika mengingatkan diri saya sendiri waktu kecil. Saya katakan padanya bahwa itu adalah hal yang sering melintas dalam pikiran saya saat kecil.
Kami kemudian terdiam. Saya ingin menjelaskan padanya tentang filsafat eksistensialisme, bahwa pertanyaan yang tepat terkait dengan keberadaan kita bukan tentang mengapa kita ada, tapi mau dimaknai apa keberadaan kita. Tapi saya urungkan.
Ada jeda waktu beberapa saat sebelum dia memulai dengan pertanyaan lain. “Saya sampai sekarang masih bingung dengan teori big bang. Dikatakan bahwa semesta ini bermula dari materi awal berupa titik yang sangat kecil kemudian meledak dan mengembang. Di mana titik itu, dan kapan?”, tanyanya.
Saya tahu, teori big bang ada di dalam buku-buku sains yang dibacanya. Sekalipun nilai IPA-nya di sekolah tidak istimewa, sejak kecil salah satu buku yang paling sering dibacanya adalah buku sains. Saya memanjakannya dengan buku-buku yang dia ingin baca, sekalipun saya tahu tidak semua buku yang dibelinya dibaca tuntas.
Saya tidak ingin menjelaskan kepadanya dengan penjelasan-penjelasan filosofis yang jelimet, bahwa ruang dan waktu adalah cara rasio kita mengabstraksi gerak dan materi. Hilangkan materi, maka sim salabim, ruang dan waktu menjadi tidak ada.
Waktu tidak lebih dari cara kita menandai gerak materi. Gerakan materi yang bersifat siklis membuat rasio merumuskan tentang hari. Waktu sehari in kemudian dibagi-bagi lagi menjadi jam, menit, detik, dan seterusnya, dengan cara membuat arloji di mana perputaran jarumnya adalah analogi dari gerak siklus materi di alam. Dari sini kemudian dirumuskan tentang waktu yang bergerak maju yang disandarkan pada gerak pertumbuhan materi, misalnya manusia lahir sebagai bayi kemudian tumbuh menjadi dewasa, dan akhirnya menua dan mati. Rumusan waktu ini sepenuhnya adalah analogi deretan materi dari satu ujung ke ujung lain. Waktu dirumuskan persis seperti rangkaian titik-titik yang membentuk sebuah garis lurus, bermula dari titik 0 (nol) menuju ke takterhinggaan.
Sementara, ruang adalah jarak antar-materi. Sama sekali tidak bisa dibayangkan ruang tanpa ada materi. Ruang bukanlah sebuah “hall kosong” di mana materi di letakkan di dalamnya, karena “hall” itu sendiri adalah materi.
Jadi, ruang dan waktu sepenuhnya adalah kategori yang dirumuskan oleh rasio dalam memahmi materi itu sendiri. Ruang adalah aspek “material” materi, sedang waktu adalah aspek “spiritual”-nya. Dengan kata lain, ruang dan waktu adalah cara kita mengabstraksi materi. Karena ruang dan waktu melekat pada materi, maka ketika materi tidak ada, lenyap pula apa yang disebut dengan ruang dan waktu itu.
Tapi saya tidak mungkin menjelaskan filsafat ruang waktu seperti itu ke anak SMP kelas dua. Saya menjelaskan berdasarkan buku sains yang dibacanya, seperti ini: “Kapan titik awal big bang, Virginia bisa membaca kembali buku sains yang menjelaskan berapa usia semesta saat ini. Ilmuwan sudah bisa merumuskan usia semesta berdasarkan kecepatan perkembangan semesta. Dari sini ilmuwan menentukan kapan titik awal big bang.”
“Pukul berapa ledakan awal terjadi?” kejarnya.
“Tidak ada yang tahu. Sains hanya bisa memperkirakan kapan titik awal ledakan terjadi, tapi tidak sampai detail jam dan menitnya,” jawab saya.
Saya kemudian melanjutkan menjawab pertanyaannya tentang di mana materi awal yang berupa titik itu. Saya menjelaskan bahwa ruang terbentuk berbarengan dengan keberadaan materi. Materilah yang membentuk ruang. Tidak ada ruang tanpa materi. Sekalipun agak jelimet, tapi penjelasan tentang ruang lebih mudah diterima daripada penjelasan tentang waktu yang lebih abstrak.
Kami kemudian terdiam. Saya menduga-duga apa yang sedang berkecamuk di benaknya. Saya membayangkan dia bertanya-tanya apa yang ada sebelum materi awal itu ada. Jika materi awal itu bermula, apakah ia bermula di dalam waktu? Kalau ia bermula di dalam waktu, berarti sudah ada materi sebelumnya karena tidak mungkin membayangkan waktu tanpa adanya ruang, dan tidak mungkin membayangkan ruang dan waktu tanpa adanya materi. Tapi kalau cara berpikirnya seperti ini, maka kita akan bergerak mundur tanpa batas.
Tidak mungkin memikirkan masalah kosmologis tidak pada akhirnya tergoda untuk melompat ke masalah keberadaan Tuhan. Untuk mengakhiri gerak mundur tanpa batas ini, biasanya orang akan meletakkan Tuhan sebagai agen awal dari keseluruhan proses ini. Aristoteles merumuskannya sebagai unmoved mover (penggerak yang tak bergerak). Tapi bahkan ketika Tuhan kita jadikan batas akhir dari kerisauan rasio kita tentang keberadaan semesta ini pun, tetap tak bisa menghalangi pikiran kanak-kanaknya untuk digoda kerisauan seperti yang saya rasakan saat kecil.
Kami hanya diam. Tapi jelas itu bukan akhir obrolan kami saat itu. Dia memecah kesunyian sesaat itu dengan pertanyaan, “Pa, menjadi ateis itu berdosa nggak?”.
Seingat saya, dia sudah dua kali bertanya tentang ateisme ini. Seperti jawaban saya sebelumnya, saya tidak membuat tekanan apapun kepadanya. Pertanyaan itu jelas pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang theis (setidaknya, anak yang kadung terindoktrinasi ateisme), karena apa signifikansinya seorang ateis bertanya apakah ateisme sebuah dosa. Konsep dosa dan pahala hanya lahir dari sebuah keyakinan bahwa ada satu Zat Maha Kuasa yang mewajibkan atau melarang manusia untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang pelanggaran atas aturan tersebut dianggap sebagai dosa yang diancam dengan siksa.
Saya menjawab, “Orang ateis dianggap sebagai pendosa itu kan menurut orang theis. Bagi orang yang meyakini Tuhan itu ada, orang yang mengingkari keberadaan Tuhan dianggap berdosa.”
Dia terus mengejar saya dengan pertanyaan, “Bolehkah saya menjadi ateis.” Saya jawab, “boleh”.
“Gimana kalau dimarahi mmm….?”
Tetap dengan nada suara yang sama, saya memotongnya sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. Saya katakan padanya:
“Setiap orang pada akhirnya akan hidup sendiri. Setiap orang pada akhirnya akan membuat keputusan sendiri dalam hidupnya. Sedekat apapun seseorang dengan orang lain, termasuk dengan orang tuanya, mereka tidak selamanya hidup bersama. Orang lain, tidak peduli siapapun orang itu, boleh memberi masukan ke kita, tapi kitalah yang pada akhirnya membuat keputusan dalam hidup kita.”
Obrolah dilanjutkan dengan cerita-cerita ringan. Kami memulai tidur dengan riang. Tak ada yang saya inginkan selain memandangi wajah anak saya tidur dengan bibir yang mengguratkan senyum. Saya tahu, besok pagi dia akan menyanyi dan menari-nari lagi di depan saya seperti biasanya. Ah, anak-anak, engkau berhak untuk tumbuh tanpa beban kerisauan dan ketakutan. [MZ]