Ramadan tahun ini sungguh sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kali ini, Ramadan dilalui hanya dengan mendengar azan tanpa bergerak menuju ke sumbernya. Karena, Kerajaan Maroko sejak 20 Maret 2020 lalu telah menerapkan al-hajr as-sihhi atau lockdown (kuncitara) sampai 20 Mei 2020 mendatang. Saya sebagai Warga Negara Indonesia yang telah menempuh studi dan tinggal di Maroko kurang lebih selama 10 tahun (sejak 2010) sangat merasakan perbedaan tersebut.
Pada bulan Ramadan sebelumnya, salat lima waktu di masjid-masjid Maroko selalu ramai dan volumenya meningkat di setiap bulan Ramadan. Apalagi salat tarawih, khususnya, menjelang akhir bulan Ramadan, masjid menjadi semakin sesak. Sama halnya dengan di Indonesia, semakin menuju akhir Ramadan, semakin ramai pula terminal dan mall-nya. Eh..
Di Maroko, jangan membayangkan masyarakatnya bisa memilih–apalagi berdebat–untuk ikut jemaah tarawih dan witir antara 11 rakaat atau 23 rakaat seperti lazimnya di Indonesia. Karena, mereka para maghāribah (sebutan bagi orang-orang Maroko) melaksanakan tarawih dan witir dengan jumlah 19 rakaat.
Loh kok bisa?
Rinciannya sebagai berikut, para maghāribah setelah salat isya—tanpa salat sunnah bakdiah dan wiridan—langsung salat tarawih 8 rakaat dengan formasi per-dua rakaat sekali-salam. Kemudian setelah itu ditutup dengan pembacaan doa bersama. Bagi yang tidak mau ikut berdoa, biasanya, mereka bisa pulang lebih awal. Di sini, bukan hal yang aneh jika setelah salat dua rakaat atau empat rakaat tarawih, seseorang lalu keluar meninggalkan masjid.
Salat tarawih kemudian berlanjut lagi sebanyak 8 rakaat dan di tambah dengan witir (formasi 2 plus 1 rakaat). Uniknya, tarawih “ronde” kedua ini justru dilaksanakan kira-kira 1 jam sebelum Subuh, sekitar pukul 02.30 dini hari. Jumlah jemaah pada sesi kedua ini pun biasanya hanya seperempat dari jumlah jemaah tarawih sesi. Sang imam tarawih di masjid seluruh Maroko rata-rata membaca 1 juz setiap malam; setengah juz setelah Isya’ dan setengah juz lagi sebelum Subuh.
Imam tarawih di masjid-masjid Maroko biasanya berbeda dari iman harian yang mengimami salat lima waktu. Kerajaan Maroko, dalam hal ini Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman, mengutus para imam muda untuk disebar dan ditugaskan ke masjid-masjid, didampingi imam masjid tetap yang bertugas untuk mengimami salat lima waktu. Mereka diangkat dan dijamin oleh negara.
Pengalaman ini tentu sangat berharga bagi saya, betapa perbedaan bilangan rakaat tarawih dan witir ternyata mempunyai variasi yang cukup beragam. Berbeda dengan yang saya ketahui sebelumnya, ketika masih berada di Indonesia, yang hanya mengenal 2 model–antara 11 dan 23 rakaat–dalam salat tarawih dan witir.
Terlebih lagi, perbedaan tersebut sempat memicu perdebatan dalam masyarakat Indonesia, khususnya pada era 1980-90an. Bagi saya, perbedaan tersebut tentu tidak masalah, tapi menjadi bermasalah ketika masing-masing pihak saling menyalahkan, bahkan menuduh pihak yang lain tidak sesuai dengan Sunnah Nabi. Padahal, kenyataannya, para sahabat Nabi bervariasi dalam menentukan rakaat salat tarawih ataupun witir, dan mereka tidak gaduh.
Di sisi lain, selama bulan Ramadan, banyak kuliner khas Maroko bisa didapatkan di lapak para pedagang kaki lima di pinggir jalan. Para pedagang kaki lima dadakan ini menjajakan dagangannya, seperti sup harira, kue manis syabbakia, baghrir, milwi, briwat, harsya, dan syahmah.
Sedangkan, jika memilih untuk berbuka di kafe, pemilik kafe menyediakan menu komplit yang biasanya dilengkapi dengan telur rebus, kurma dan orange juice dingin tanpa “es batu” karena di Maroko tidak ada tradisi memproduksi es batu.
Yang menarik lagi dari Maroko adalah kepercayaan masyarakat terhadap lailatul qadar. Orang-orang Maroko sejak dulu hingga kini memercayai bahwa malam seribu bulan itu jatuh pada malam 27 Ramadan. Oleh karena itu, pada malam itu masjid-masjid di seantero Maroko penuh sesak dibanjiri oleh para jemaah tarawih.
Hal ini tentu berbeda dengan kepercayaan masyarakat muslim Indonesia. Para maghāribah sejak awal sudah menyakini kapan persitiwa malam Lailatul Qadar akan terjadi, sementara di Indonesia, masyarakatnya percaya bahwa peristiwa tersebut terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Soal kepastian terjadinya, mereka meyakini bahwa itu merupakan rahasia Allah.
Pada saat menjelang hari raya Idul Fitri, suasana di Maroko tidak terlalu ramai dan meriah. Tak ada takbiran yang ramai berkumandang masjid-masjid. Tidak ada pula tradisi takbir keliling seperti yang terjadi di Indonesia. Takbir hanya berkumandang di masjid-masjid pada pagi hari 1 Syawal, ketika para jemaah mulai berdatangan ke masjid untuk melaksanakan salat Idul Fitri. Pun demikian dengan tradisi mudik yang tidak terlalu kentara.
Tradisi mudik di Maroko justru terjadi pada saat menjelang perayaan Idul Adha. Masing-masing kepala keluarga di sana membeli domba. Banyak orang yang pulang kampung dan memilih berkumpul dengan keluarga untuk merayakan penyembelihan hewan kurban di rumah masing-masing. Pemerintah juga menetapkan libur nasional dalam merayakan Idul Adha selama sepekan.
Namun, seperti halnya yang terjadi di negara-negara lain, Ramadan kali ini benar-benar terasa “ganjil.” Salat tarawih tak bisa dilakukan di masjid. Pun demikian dengan tradisi dan kegiatan-kegiatan lain yang mengundang keramaian. (AS, AA)