Kehendak Politik Akademik
Pekerjaan tersisa adalah pelembagaan integrasi keilmuan dalam penyelenggaraan akademik di PTKI. Faktanya, selama ini tidak tampak ikhtiar yang serius dalam memperkuat integrasi keilmuan sebagai distingsi keilmuan. Ukuran keseriusan itu ada tiga. Pertama, keberpihakan yang kuat terhadap integrasi keilmuan melalui politik anggaran (politics of budgeting) dengan menyediakan anggaran yang memadai untuk memfasilitasi penyelenggaraan integrasi keilmuan dimaksud.
Percepatan kelengkapan infrastruktur melalui pembangunan fisik kampus memang membanggakan, dan itu patut disyukuri. Tapi, politik anggaran tidak boleh berhenti itu, melainkan harus melanjutkannya secara seksama ke dalam percepatan kelengkapan suprastruktur kampus. Cakupannya meliputi pembangunan tata pikir (mindset) hingga tradisi akademik yang kondusif dan supportif terhadap percepatan pengembangan tradisi integrasi keilmuan di kampus PTKI.
Pembangunan suprastruktur ini memang tidak popular dan cenderung tidak bisa dijadikan sebagai ukuran kesuksesan sebuah amanah jabatan dibanding pembangunan infrastruktur. Artinya, pembangunan suprastruktur tidak memberikan insentif yang besar nan signfikan untuk pencitraan diri untuk sebuah amanah jabatan dibanding pembangunan infrastruktur. Namun demikian, hal itu tidak boleh melengahkan kita semua kepada marwah dan martabat kampus PTKI melalui integrasi keilmuan yang menjadi distingsi kelembagaan akademik dibanding lainnya dimaksud. Pelembagaan tradisi akademik integrasi keilmuan harus menjadi bagian dari nafas penyelenggaraan akademik di kampus PTKI.
Kedua, tingkat sinergi yang kuat-bersambung pada desain penyelenggaraan pembelajaran, riset dan pengabdian pada masyarakat. Integrasi keilmuan tidak boleh hanya menjadi wacana kosong-abstrak yang berkembang mengiringi dinamika dan atau perkembangan fisik maupun kelembagaan kampus PTKI. Selama ini memang bisa dicatat bahwa integrasi keilmuan banyak dikembangkan sebagai sebuah gagasan pada level filosofis. Substansi itu lebih banyak dibahas sebagai materi filsafat keilmuan hingga cakupannya pun dalam babakan yang cukup panjang tidak pernah keluar dari jebakan filosofis (philosophical trap). Tidak sedikit di antara akademisi PTKI yang tidak mampu keluar dari jebakan itu.
Diskusi pengembangan integrasi keilmuan pada level filosofis memang menjadi kewajiban, karena justeru pada titik inilah gagasan mengenai integrasi keilmuan itu seharusnya dimulai. Namun demikian, energi akademik PTKI tidak boleh hanya berhenti, lalu berkutat, pada perdebatan dan atau wacana di wilayah akademik ini. Ada bagian lain yang tidak kalah pentingnya untuk dijalankan, yakni bagaimana menjadikan integrasi keilmuan sebagai sumbu yang mensinergikan pembelajaran, riset dan pengabdian pada masyarakat yang menjadi tugas suci perguruan tinggi, khususnya di lingkungan PTKI.
Gagalnya kita menerjemahkan wacana filosofis integrasi keilmuan ke dalam desain pembelajaran secara terpadu dengan riset dan pengabdian pada masyarakat membuat PTKI masih cenderung gagap dalam melembagakan tradisi integrasi keilmuan ke dalam praktik penyelenggaraan akademik. Integrasi keilmuan masih cenderung menjadi materi perdebatan filosofis, khususnya tentang perlu tidaknya, dan atau wilayah garapnya apakah ontologi, epistemologi ataukah aksiologi. Artinya, harus ada pelembagaan nilai integrasi keilmuan tersebut ke dalam setiap kegiatan akademik di perguruan tinggi, dan karena itu pelembagaan dimaksud harus menyentuh tri dharma perguruan tinggi untuk kepentingan internalisasi integrasi keilmuan tersebut.
Ketiga, kehadiran sebuah lembaga yang secara khusus diberi kewenangan dan tugas untuk menangani integrasi keilmuan memang penting, tapi hal itu tidak menjadi keharusan. Kehadiran sebuah lembaga tersendiri dimaksud adalah opsi yang secara struktural memiliki kekuatan memaksa untuk mengelola tanggung jawab integrasi keilmuan. Tapi, opsi lain bisa saja diambil dengan menjadikan integrasi keilmuan sebagai program atau isu strategis lintas unit kerja (cross-cutting issue) yang mengilhami setiap kegiatan akademik. Opsi kedua ini merupakan bentuk pengarusutamaan isu integrase keilmuan di setiap langkah akademik yang dijalankan sebuah perguruan tinggi Islam.
Terlepas dari kedua opsi kebijakan kelembagaan di atas, integrasi keilmuan harus kuat mentradisi dalam praktik penyelenggaraan pembelajaran, riset, dan pengabdian kepada masyarakat. Untuk itu, peta jalan (road map) integrase keilmuan harus dibentangkan. Lalu, rencana bisnis perguruan tinggi (university business plan) yang mewadahi proyeksi pembangunan pendidikan tinggi di sebuah kampus harus ditancapkan dengan menjadikan integrasi keilmuan sebagai salah satu isu penting yang harus menjadi prioritas.
Integrasi keilmuan bukan melunturkan karakter disiplin keilmuan. Alih-alih, integrasi keilmuan memperkuat posisi akademik disiplin keilmuan dengan mendialogkannya dengan disiplin keilmuan lain sesuai dengan semangat, prinsip dan nilai Islam. Eksperimentasi para ilmuwan Muslim pada peradaban masa lalu penting menjadi penggerak semangat integrasi keilmuan, namun tantangan masa depan yang penuh perubahan yang tak terperikan sebelumnya penting untuk menjadi pertimbangan utama dalam kerja integrasi keilmuan di PTKI. Sinyalemen akan munculnya normalitas baru (new normal) pasca pandemi covid-19 membuka kesempatan lebar bagi integrasi keilmuan untuk melakukan eksperimentasinya dalam memenuhi kebutuhan zaman. []