Memang, secara doktriner, Islam, bagi sebagian pemeluknya, dipandang sebagai sebuah sistem nilai dan ajaran yang sudah sempurna. Tetapi seperti terlihat dalam perjalanan sejarahnya, Islam tak selalu dapat sepanjang waktu memainkan peran ideal sebagai determinan bagi para pemeluknya untuk memahami realitas, atau sebagai objek perubahan sosial dan kultural.
Kenyataannya, disebabkan tuntutan zaman yang berubah, sering terdapat ketegangan teologis antara keharusan memegangi doktrin dan keinginan untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut. Hal ini pada gilirannya tidak hanya menciptakan tantangan psikologis bagi mereka yang peduli terhadap posisi Islam vis a vis realitas sosial, tetapi juga konflik teologis, intelektual, sosial di antara kaum Muslim secara keseluruhan.
Dengan demikian, Islam yang mengandung doktrin atau ajaran yang bersifat universal tadi pada tingkat sosial tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan lain, yakni perubahan. Menurut ajaran Islam sendiri, perubahan sering dikatakan sunnatullah, yang merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara keseluruhan. Semua manusia, kelompok masyarakat, dan lingkungan hidup, mereka mengalami perubahan secara terus menerus.
Di sinilah, wilayah agama sering mengalami fait accompali; ia didesak antara keharusan untuk terlibat dalam perubahan sosial dan budaya yang dialami oleh para pemeluknya di satu pihak, sementara di pihak lain ia dituntut untuk mempertahankan nilai keramat yang dikandung dalam Kitab Sucinya.
Tawar menawar antara agama (Islam) sebagai sebuah sumber nilai dengan realitas sosial yang selalu berubah inilah yang pada urutannya menghasilkan nilai singkretisme sebagai akibat dialog azali manusiawi. Salah satu solusi yang dapat ditawarkan untuk meredam ketegangan itu, kata Arkoun, umat Islam harus dengan berbesar hati mengawinkan antara Nalar Islami dengan Nalar Modern.
Yang dimaksud dengan Nalar Islami oleh Arkoun kira-kira adalah, semangat keagamaan dan tempat penting yang diduduki angan-angan sosial dalam masyarakat Muslim. Sedangkan Nalar Modern adalah rasionalitas dan sikap kritis yang memungkinkan untuk memahami agama dengan cara yang lebih mendalam dan membongkar ketertutupan dan penyelewengan atas nama keyakinan.
Dengan nalar modern, kira-kira kata Arkoun, dimungkinkan dapat dengan mudah memahami pergeseran nilai-nilai yang dianggap suci berubah menjadi nilai-nilai yang profane (bersifat keduniaan) dan nisbi setelah masuk ke dalam ruang budaya manusia. Bertemunya pesan keilahian di dalam wadah sosio-kultural, menjadikan nilai keramat itu sebagai sistem kebudayaan yang tidak lagi bersifat sakral atau normatif. Sebab telah terjadi pergeseran dari sesuatu yang a–historis milik Tuhan menjadi milik manusia yang historis. Ibarat mata uang logam yang memiliki dua gambar. Keduanya tak bisa dipisahkan namun mudah untuk dibedakan.
Pembelaan nilai-nilai keramat secara buta dalam konteks gerak-gerik sosiologis, seringkali dapat memunculkan pengerasan pemikiran. Sebaliknya, terlalu menjadikan buku sosiologis-empirik sebagai acuan kebenaran sebuah nilai adalah juga pengabaian terhadap nilai-nilai abadi. Pemilihan antara agama dalam pengertian wahyu Tuhan yang normatif dengan budaya yang historis, memang harus diakui sebagai pekerjaan yang memerlukan times respons yang panjang.
Pengerasan pemikiran yang oleh banyak orang disebut dengan gerakan sempalan (fundamentalis?) Agaknya bisa jadi bermula sebagai akibat logis dari pemahaman keagamaan yang tidak seimbang antara pemegangan terhadap sakralitas wahyu dan realitas sosial yang berubah. Pengketatan terhadap sakralitas wahyu seringkali membawa kepada semangat untuk membela Tuhan secara over convidence. Pembelaan terhadap Sang Pencipta dengan menghilangkan hak hidup si makhluk seperti peperangan suci antar pemeluk agama yang berbeda adalah, ironisme yang secara kemanusiaan sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Pembelaan bentuk inilah yang oleh Nietzsce disebut dengan moral budak yang seluruh hidupnya, dihabiskan hanya untuk ngurusi atau membela Tuhan. Padahal, kata Gus Dur, Tuhan tak perlu dibela. Memang, perseteruan antar agama seperti yang terjadi di beberapa Negara atau di pelosok tanah air tidaklah semata didorong oleh pandangan teologis.
Pandangan teologis acapkali tidak selalu parallel dengan tindakan di lapangan. Ada banyak faktor yang berkelindan diseputar lahirnya peperangan suci. Penampakan simbol-simbol keagamaan secara kasat mata seperti identitas pakaian dan kalimat-kalimat verbal seringkali mengecoh masyarakat bahwa seakan-akan agama berperan dan bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan itu.
Polarisasi kelompok agama dan ketegangan adalah hal yang lumrah terjadi. Namun, di balik penampakan fisikal itu, diduga telah terjadi kemiskinan ekonomi dan mismanajemen politik serta krisis sosial yang melatarbelakanginya. Beberapa penelitian terhadap kasus-kasus kekerasan yang diduga berbasis agama, tidak selalu menunjukkan hubungan paham keagamaan dengan pemberontakan.
Dalam paham keagamaan Islam, dalam arti aliran-aliran keagamaan yang ada, memang ada kelompok-kelompok yang memilih cara penyelesaian masalah-masalah sosial dengan agak ekstrem. Pilihan ini diyakini mereka sebagai pilihan yang tepat sesuai dengan keyakinannya dan tuntutan keadaan. Karena itu, generalisasi terhadap prototype Islam sebagai agama keras adalah gegabah kalau malah bukan konyol.
Nah, munculnya gerakan radikal dalam Islam, jika mengikuti dinamika-dialektis yang secara terus menerus berlangsung, menjadi lumrah akibat pergumulannya dengan varian kultur, pengalaman, pengetahuan, keyakinan, dan lain-lain. Menurut catatan Fazlur Rahman, munculnya gerakan radikal dalam Islam, sepanjang yang dapat direkam oleh sejarah bermula dari masuknya urusan politik ke dalam wilayah keagamaan yang untuk pertama kalinya, digoncangkan oleh pergolakan-pergolakan yang terjadi selama kekhalifahan Utsman dan Ali.
Pada masa itu tingkat kepentingan politik kian meninggi yang pada gilirannya melahirkan aliran-aliran teologis. Proses-proses politik semacam itulah yang kemudian, dalam awal sejarah pertumbuhan umat Islam, memunculkan kaum Khawarij yang dikenal dalam sejarah sebagai golongan radikal, baik dari pandangan politik maupun agama. Landasan doktrinal kaum Khawarij dalam melihat persoalan politik dan agama pada waktu itu ialah al-Qur’an surat al-Maidah: 44 yang artinya: “Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir”. Khawarij mengambil ayat ini sebagai pengabsahan atas sikap dan semboyannya: La Hukma Illa Allah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah).
Pada tingkat yang paling ekstrem dan radikal, sebagian kaum Khawarij sampai kepada pendapat, bahwa orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka adalah musyrik dan karenanya harus diperangi dengan dalih atas nama hukum Allah. Fazlur Rahman mengidentifikasi kaum Khawarij ini sebagai gerakan teologi sempalan, yang sangat fanatik tanpa kompromi dan selalu melancarkan perang suci (jihad?) kepada musuh-musuhnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, konflik politik dan perdebatan teologis ini semakin kompleks. Disintegrasi politik dan konflik pemahaman keagamaan yang dimunculkan oleh aliran-aliran kalam tak bisa lain, kecuali menghantarkan umat Islam ke arah disintegrasi sosial dan politik. Dan perlahan tapi pasti, umat Islam semakin terjerumus ke dalam kemunduran dan keterbelakangan.
Dalam situasi kemunduran itulah kemudian Barat hadir di berbagai wilayah umat Islam, baik secara militer, kebudayaan, politik, teknologi, dan ekonomi. Di sinilah, dapat diduga terjadinya awal dari proses marjinalisasi umat Islam sehingga menjadi terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan. Jadi, sampai di sini, ada dua sebab bagi lahirnya Islam garis keras; pertama kondisi internal umat Islam itu sendiri.
Kedua, kondisi eksternal, yaitu munculnya peradaban Barat (sekuler) yang dianggap oleh Islam garis keras sebagai biang keladi bagi hancurnya kemunduran umat Islam. Mereka yang berpandangan seperti ini sangat antipati terhadap Barat. (mmsm)