Ahmad Inung Budayawan yang Tinggal di Sidoarjo

Dibayar Tuntas di Padang Arafah

2 min read

Sebagai petugas yang ditempatkan di kantor Daerah Kerja (Daker) Makkah, saya memiliki sedikit privilege saat wukuf di Arafah, yaitu bisa menggunakan toilet VIP yang disediakan untuk para pejabat dan rombongan amirul haj. Apa yang disebut dengan toilet VIP ini adalah toilet portable yang dipasang di belakang tenda tamu VIP, sehingga mereka tidak ngantri dengan para jamaah lain. Itu saja.

Seperti yang lain (berdasarkan obrolan di antara kami), siklus BAB kami selama di Arab Saudi ikut-ikutan jetlag. Kalau biasanya BAB rutin di pagi hari, selama di Arab Saudi keinginan BAB bisa datang tanpa mengenal waktu. Nah, ini yang tidak jarang buat masalah, terutama ketika keinginan BAB datang tak tepat waktu.

Saat wukuf Arafa tengah hari, keinginan BAB itu datang tanpa kompromi. Saya mencoba menahannya karena cuaca yang sangat panas di luar tenda. Tapi keinginan itu sudah tak tertahankan. Bahkan ada indikasi “barangnya” sangat lembek seperti bubur yang kebanyakan air. Akhirnya saya lari terbirit-birit ke toilet VIP. Saya sungguh merasa beruntung menjadi “petugas elit” yang punya akses ke toilet para pejabat tinggi dan orang-orang penting. Tidak terbayang jika harus antri dengan para jamaah. Mungkin sudah dleweran sebelum membuka pintu toilet.

Begitu masuk, langsung buka kain ihram sret, duduk plek, dan brottt!. Semua berjalan begitu cepat. Lega sekali. Sambil menikmati kelegaan di toilet VIP, saya ingat tulisan di pantat truk, “Tuhan tidak menyukai hambanya yang tidak sat set dalam bekerja.” Saya membayangkan tulisan itu sambil senyum-senyum sendiri. Saya cukup bangga dengan aktivitas sat set saya di toilet. Hebat!

Setelah selesai, saya langsung ambil jet shower untuk membersihkan bagian belang dan depan (BAB otomatis pipis juga khan). Begitu jet shower saya tekan, wush…airnya keluar dengan sangat kencang. Seketika saya terpekik “Aduh mboook”. Rupanya air yang keluar sangat panas. Panasnya seperti air panas dispenser yang bisa dipakai masak pop mie.

Baca Juga  [Resensi Buku] Mengembangkan Pendidikan Multikultural untuk Demokrasi dan Keadilan Sosial

Saya baru sadar bahwa air ini berasal dari tandon luar yang terpanggang sinar matahari. Cuaca saat itu adalah sekitar 45oC. Jadi bayangkan betapa panasnya air itu. Apalagi disemburkan oleh jet shower yang cukup kencang. Rasa panasnya jadi berlipat-lipat.

Saya meringis. Bimbang dan ragu menjalari batin. Dilanjutkan ataukah dihentikan? Kalau dihentikan, bubur masih berlepotan di lubang belakang. Juga, lubang depan belum sempurna bersihnya. Kalau dilanjutnya, akan jadi apa ini barang. Tapi, keputusan harus diambil. No point to return.

Dengan segala risiko, saya memutuskan untuk melanjutkan. Tidak mungkin kembali ke tenda dengan membawa bau bangkai. Apalagi ini sedang wukuf. Dengan mengumpulkan seluruh keberanian yang ada (sambil membayangkan para superhero), saya ambil jet shower, pelan-pelan memencetnya, dan wush. Sekali lagi semburan itu menghantam tubuh bawah saya.

Untuk mengurangi efek panas yang membara, yang melakukan strategi buka tutup. Agak sedikit membantu. Akhirnya, selesailah siksaan “jahanam” ini. Muka saya merah padam menaham sakitnya rasa panas bagian tubuh terpenting saya, yang selama ini saya jaga dengan penuh kasih sayang.

Karena ini sedang haji, saya mencoba mengambil hikmah di balik peristiwa ini. Oh Tuhan, dosa apa yang pernah saya lakukan hingga saya mendapat balasan seperti ini? Tak sulit bagi saya untuk menemukannya.

Dulu, saya pernah ngakak-ngakak mendengar kisah seorang kyai yang pertama kali mengikuti sebuah acara di hotel. Di tengaj-tengah acara, dia ingin pipis. Diantarlah si kyai oleh santri yang mendampinginya kembali ke kamarnya. Sementara sang kyai masuk ke kamar mandi untuk pipis, si santri dengan penuh ta’dhim berjaga di lur pintu kamar mandi. Tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam kamar mandi, “aduuh”! Si santri panik, apa yang terjadi dengan kyainya di dalam. “Wonten nopo Kyai?” (Ada apa Kyai), tanya si santri dengan nada sopan bercampur khawatir. “Gak opo-opo” (Tidak apa-apa), jawab Kyai dengan nada suara sedikit bergetar.

Baca Juga  Tadarus Litapdimas [5]: Membela Manusia dalam Perspektif Teks Keagamaan

Setelah beberapa saat, sang kyai keluar dari kamar mandi. Tampak raut mukanya sedikit memerah dengan langkah kaki yang tampak tak seperti sebelumnya. Saat kembali ke ruang acara, si Kyai dengan penuh welas asih memberi wejangan ke santrinya, “Tolong air di kamar mandi jangan dibuat panas ya.”

Begitu terkesannya saya dengan cerita itu, saya kemudian menyebarkan ke beberapa kawan sebagai candaan. Setiap kali saya cerita itu, semuanya bergemuruh dalam tawa. Melihat para sahabat tertawa, saya merasa puas sekali. Laknat betul ya saya?

Setelah merenungi dosa saya itu, saya kembali ke tenda. Jalan saya agak sedikit ngangkang. Saya tidak mau membayangkan bagaimana rupa telur dan sosis saya di balik kain ihram putih saya. Mungkin sudah matang dan siap untuk dihidangkan. (mmsm)

Ahmad Inung Budayawan yang Tinggal di Sidoarjo