Salman Akif Faylasuf Santri PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Menelusuri Jejak Awal Radikalisme dan Relevansinya di Masa Kini

3 min read

Tak bisa dipungkiri bahwa sejarah kekerasan dan radikalisme sering kali membawa nama-nama, bahkan mengatasnamakan, agama. Tentu saja, hal ini dapat dipahami karena agama memiliki kekuatan yang mampu menggerakkan massa. Bahkan, kekuatan agama melebihi kekuatan politik, sosial, dan budaya.

Agama mampu mengangkat sampai pada tingkat supranatural. Itu sebabnya, atas nama agama, kemudian radikalisme diabsahkan dan direlevansikan dalam berbagai wacana hingga tindakan. Misalnya, mulai dari mengafirkan orang-orang yang tak sepaham hingga timbul kekerasan dan anarki bagi kelompok yang tidak sepaham.

Dalam umat Islam sendiri, sejak dahulu seperti itu. Kita mengenal namanya kaum Khawarij yang membawa kekerasan bagi kelompok yang tidak sepaham dengan kelompok mereka sampai melakukan pembunuhan terhadap musuh yang tidak seideologi dengannya.

Sejarah telah berulang-ulang mengatakan bahwa pada awal peradaban Islam pun berbagai teror dan anarkisme telah muncul seiring dengan munculnya kelompok-kelompok seperti Khawarij.

Sebagai contoh, seruan salah satu tokoh Khawarij bernama al-Mustaurid bin Sa’ad kepada Sammak Bin Ubaid Al-Abasi: “Kami membenci siapa saja yang tidak bertahkim kepada Allah dan rasul-Nya, dan kami meminta agar semua orang melepaskan diri dari kepemimpinan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, karena mereka telah keluar dari tahkim Allah.”

Hingga akhirnya, pada abad ke-20 hingga abad-21, muncul istilah baru yang menunjukkan bentuk fundamentalisme, antara lain Neo-Khawarij, yang berakar pada kondisi masa lalu di dalam tubuh umat Islam sejak 1300 tahun lalu—kemunculan berbagai kelompok yang disebut sebagai kelompok Khawarij.

Memaknai Khawarij

Jika ditelisik, Khawarij dalam bahasa Arab artinya adalah “keluar”. Definisi tersebut terkait dengan kelompok yang memisahkan diri dengan kelompok pendukung Ali. Serangkaian kekerasan, anarki, hingga upaya pembunuhan kerap dilakukan oleh kelompok ini hingga membuat terbunuhnya tokoh tokoh Islam pada masanya.

Baca Juga  Menjadi Pancasilais dalam Bermedia Sosial

Kita juga mengenal peristiwa dalam sejarah, pada suatu Subuh, 14 Ramadan 40 H, tiga orang yang merencanakan pembunuhan terhadap tiga tokoh penting kaum muslim di Makkah ketika itu.

Mereka adalah tokoh Khawarij yang bernama Amr bin Bakr, Abdurrahman bin Muljam, dan Barak bin Abdullah, yang semuanya tidak puas dengan kepemimpinan umat pada saat itu. Pada awalnya, mereka adalah pengikut salah satu dari tiga pemimpin yang mereka rencanakan untuk dibunuh, yaitu Ali bin Abi Thalib, khalifah yang sah pada saat itu. Namun, mereka tidak setuju dengan kesediaan sang khalifah untuk menerima tahkim (arbitrase) antara dirinya dan musuhnya, Mu’awiyah, melalui orang yang ditunjuknya, yaitu Amr bin Ash.

Tidak hanya itu, mereka juga menilai Mu’awiyah sebagai pemberontak terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Akibatnya, mereka melancarkan aksi radikal yang mengakhiri kepemimpinan khalifah keempat tersebut. Rasulullah Saw. pernah menjelaskan bahwa akan muncul di kemudian hari keturunan-keturunan orang-orang yang melampaui agama. Dalam konteks ini, para ulama menafsirkannya sebagai kelompok Khawarij.

Para ulama memberikan penafsiran bahwa hadis tersebut mengacu pada kelompok Khawarij. Seperti yang tergambar dalam sejarah, kaum Khawarij tidak takut untuk menumpahkan darah sesama muslim hanya karena perbedaan dalam pemikiran dan ibadah. Para peneliti Barat menyatakan bahwa golongan ini sebenarnya melakukan protes terhadap sistem sosial, tidak hanya masalah akidah, ibadah, dan pemikiran.

Mereka sebenarnya merasa kecewa terhadap sistem sosial dan kondisi masyarakat, sehingga cenderung tidak terikat dengan sistem sosial yang ada dan menginklusifkan kelompok mereka. Kelompok Khawarij juga tidak mengedepankan cara musyawarah dalam menyelesaikan suatu perkara.

Padahal, Nabi dan para sahabat pada masa dahulu mengutamakan musyawarah dan perundingan dalam memecahkan suatu masalah. Bahkan dalam suasana perang, Nabi tetap berupaya menyelesaikannya dengan cara berunding, seperti yang terjadi dalam Perjanjian Hudaibiyah dan lainnya.

Baca Juga  Palestina, Ekualisasi, dan "Defensive Colonialism" (2)

Namun, kaum Khawarij lebih memilih cara yang radikal dalam menyelesaikan suatu masalah. Pembunuhan terhadap sahabat Nabi pada awal peradaban Islam adalah contoh konkretnya.

Kaum Khawarij hanya mempercayai kelompoknya sendiri dan menyatakan bahwa para ulama yang tidak sejalan dengan mereka adalah kafir, bahkan menghalalkan darah mereka untuk dibunuh. Sikap ini sudah terlihat sejak munculnya pemahaman kelompok ini pada masa khulafaurrasyidin.

Munculnya Neo-Khawarij

Seiring masuknya abad ke-21, muncul istilah Neo-Khawarij, merujuk pada kelompok atau gerakan yang memiliki pemahaman fundamentalisme Islam yang serupa dengan Khawarij tetapi mengadopsi metode atau gaya baru.

Kelompok-kelompok ini cenderung mengafirkan nonmuslim atau mereka yang memiliki keyakinan yang berbeda, bahkan menganjurkan untuk membunuh individu-individu tersebut. Contoh gerakan Neo-Khawarij adalah ISIS, yang memandang siapa pun yang tidak bersumpah setia kepada mereka sebagai murtad, dengan itu membenarkan pembunuhan mereka.

Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua kelompok radikal dapat dikategorikan sebagai Neo-Khawarij, karena sejarah telah menunjukkan adanya berbagai kelompok lain dengan pola aktivitas dan pemikiran serupa.

Faktor utama munculnya radikalisme dalam agama adalah kurangnya pemahaman yang benar dan mendalam tentang esensi ajaran agama Islam itu sendiri, serta pemahaman yang literalistik terhadap teks-teks agama. Al-Qur’an sering digunakan oleh sebagian umat Islam untuk membenarkan perilaku dan tindakan yang ekstrem.

Munculnya berbagai kelompok Islam pascawafatnya Nabi Muhammad terjadi karena pada saat itu, tidak ada rujukan langsung untuk menanyakan persoalan. Jika Nabi Muhammad masih hidup di tengah umat, tentu umat Islam akan langsung menanyakan persoalan kepada beliau.

Fenomena Radikalisme di Indonesia

Di Indonesia, fenomena radikalisme semakin nyata terlihat. Sidney Jones dalam analisisnya menyatakan bahwa jumlah mereka merupakan minoritas, dan hanya sedikit di antara mereka yang menggunakan kekerasan. Demikian pula, Greg Barton menambahkan bahwa radikalisme agama telah terjadi sejak dekade 1950 yang ditandai dengan munculnya gerakan Darul Islam (DI).

Baca Juga  Hegemoni Setan Di Balik Sebuah Kebaikan Seorang Santri

Pertumbuhan gerakan radikalisme di Indonesia tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga terjadi infiltrasi dari luar. Barton menunjukkan bahwa gerakan Wahabi berkembang tidak lepas dari peran Muhammad Natsir. Melalui organisasi yang dibangun oleh Natsir, yaitu Dewan Dakwah Islam Indonesia, berbagai beasiswa diberikan kepada mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Ibn Saud.

Penting untuk dicatat bahwa radikalisme tidak dapat disamakan dengan terorisme karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat jelas. Radikalisme merupakan fase menuju terorisme, sementara terorisme sendiri merupakan bentuk tindakan nyata.

Buya Syafi’i Maarif berpendapat bahwa radikalisme lebih terkait dengan model sikap dan cara seseorang mengekspresikan keagamaannya, sedangkan terorisme adalah tindakan kriminal yang jelas untuk mencapai tujuan politik.

Pada dasarnya, radikalisme adalah tahap atau langkah menuju terorisme. Para pelaku terorisme, terutama yang melakukan tindakan destruktif dan bom bunuh diri, cenderung memiliki pemahaman yang radikal terhadap berbagai hal, terutama dalam konteks keagamaan. Wallahualam bissawab [AR]

Salman Akif Faylasuf Santri PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo