Ahmad Syahrul Ansori Alumni Ponpes Mambaus Sholihin, Gresik.

Resep Bahagia Sekadarnya Saja

1 min read

Cinta dapat menutup segala aib, sedangkan kebencian menampakkan segala aib. Demikian adagium sang bijak bestari, bahwa semua kekurangan tidak dapat disadari karena kecintaan, melihat kebaikan apapun dengan kebencian juga tetap sebuah aib.

Setiap kekasih akan melihat sosok yang dicintai tanpa aib, asumsi terhadap sang musuh sebaik apapun ia tetap salah dan syarat aib. Melihat sesuatu dengan sederhana merupakan kebutuhan personal, Allah Swt. memberikan kemampuan melihat, mendengar, dan berpikir kepada manusia. Tentu kemampuan melihat, mendengar, merasakan, dan berpikir harus didayagunakan sebaik mungkin, agar tidak larut dalam jurang nestapa.

Berlebihan dalam suatu hal akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam hal tersebut, ketidakseimbangan akan mempengaruhi seseorang dalam bertindak, ketidakseimbangan akan merusak idealisme seseorang, termasuk ketidakseimbangan akan merusak kebahagiaan seseorang.

Dewasa ini, kita disuguhkan dinamika politik Indonesia yang sangat dinamis. Masyarakat menilai dinamisasi politik sesuai kapasitas masing-masing, berbagai spekulasi politis dari kalangan elite memenuhi laman beranda social media. Bagi  masyarakat bawah yang antipati dengan politik, merespon dengan sangat sederhana. “Siapapun Presidennya, kita tetap harus bekerja kok!” Kira-kira jawaban sederhana, dapat membuyarkan lamunan angan-angan tak bertepi para elite.

Menurut para aktivis, bahwa siapapun pemimpinnya tetap oligarki yang berkuasa. Bagi pemuda yang sedang gandrung politik akan berkelakar, “Politik adalah jalan ninja,” Berbagai elemen masyarakat berhak berekspresi tentang dinamisasi politik negara Indonesia.

Setidaknya, penulis menawarkan pesan dari Nabi Muhammad saw. agar tidak mudah larut dalam ingar bingar politik nasional,

اَحْبِبْ حَبِيْبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُوْنَ بَغِيْضَكَ يَوْمًا مَا، وَاَبْغِضْ بَغِيْضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيْبَكَ يَومًا مَا[1]

“Cintailah kekasihmu sedang-sedang saja, mungkin ia akan menjadi musuhmu suatu hari nanti. Musuhilah musuhmu sedang-sedang saja, mungkin ia akan menjadi kekasihmu suatu saat nanti.”

Pesan sederhana ini rasanya perlu dikampanyekan secara masif, agar tidak terlalu membenci atau terlalu mencintai seseorang. Terlebih musim politik seperti ini, daya tarik ditawarkan untuk mendapatkan simpati dan empati pemilik hak suara.

Baca Juga  NU dan Perjuangan Kelas

Para elite politik sedang berebut ‘cinta’ masyarakat di bawah, berbagai strategi kegiatan politis digalakkan. Sedapat mungkin mempengaruhi suara berlabuh pada mereka, berbagai cara dilakukan. Termasuk memperbaiki citra, sebagai sosok yang patut dipertimbangkan sebagai pemimpin baik legislatif atau eksekutif.

Terlepas pembahasan politik. Secara naluri manusia memiliki hasrat yang dinamis, kecuali yang sudah dapat mengendalikan hasratnya. Hasrat manusia dianggap sebagai hasrat hewani, selalu ingin mendapatkan lebih.

Seorang manusia dapat menjadi baik dan buruk di momen yang berbeda, hasrat dan nafsu hewani terus berusaha menguasai diri manusia. Wajar kita sebagai manusia bisa berbuat baik hari ini, tapi besok lain lagi. Kemampuan diberikan kepada kita untuk memilih, antara tunduk atau melawan nafsu hewani.

Keterkaitan hasrat dan kecenderungan manusia merupakan keniscayaan, keduanya  saling berebut kuasa dalam diri manusia. Ketidakbaikan mungkin tersimpan dalam sanubari kekasih kita, begitupun kebaikan mungkin rapat tertutup dalam diri musuh. Betapa bahagianya mereka yang beranggapan bahwa tidak ada kekasih dan musuh yang paling berbahaya kecuali diri kita sendiri.

Sekadar mencintai dan memusuhi bukan hanya untuk orang lain saja, tapi untuk bekal refleksi diri sebagai manusia. Bekal meramaikan ingar bingar politik, siapapun yang kita idolakan sebagai pemimpin, tidak perlu berlebihan. Andai saja ada sosok yang dibenci atau tidak disukai sekadarnya saja, manusia masih makhluk yang dinamis dan penuh misteri. Manusia bukan malaikat yang selalu taat akan perintah-Nya, juga bukan setan yang tindak tanduknya selalu salah.

Berbeda jika kita idolakan manusia maksum seperti para Nabi dan Rasul. Silahkan idolakan sesuai kemampuan dan kapasitas masing-masing. At last siapapun pemimpinnya kita berhak bahagia, bahagia dengan mencintai atau membenci sekadarnya saja.

Baca Juga  Huluisasi dan Hilirisasi Integrasi Keilmuan di PTKI [Bagian 1]

 

Referensi

[1] Riwayat al-Turmudzi, Abdur Rahman al-Hanbali, al-Kanzul Akbar, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1996) 459.

Ahmad Syahrul Ansori Alumni Ponpes Mambaus Sholihin, Gresik.