Salman Akif Faylasuf Santri PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Nilai-Nilai Yang Membawa Ketakwaan dalam Puasa Ramadan

2 min read

Puasa bulan Ramadan adalah salah satu pilar Islam (rukun Islam). Ia adalah kewajiban bagi setiap muslim. Tujuan berpuasa adalah agar para pelakunya menjadi orang-orang yang bertakwa. Karena itu, tak heran jika puasa sangat besar manfaatnya bagi kita dan sangat bernilai di hadapan Allah.

Rasulullah bersabda, “Libatkanlah diri kalian dalam memerangi hawa nafsu (jihad al-nafs) dengan jalan menahan lapar dan haus, yang mana pahalanya sama dengan pahala orang-orang yang berperang di jalan Allah. Tak ada yang lebih utama dalam pandangan Allah dibandingkan dengan menahan lapar dan haus selama berpuasa.”

Puasa memiliki ciri khas tersendiri dibanding dengan ibadah-ibadah khusus lainnya. Relevansi nilai-nilai pendidikan dalam puasa Ramadan tidak terlepas dari nilai ketakwaan. Takwa di dalam perbincangan masyarakat sehari-hari, telah mengalami sakralisasi.

Takwa diartikan sebagai “takut” kepada Allah, sehingga terimplementasi dalam bentuk melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya. Lalu apa saja yang membawa kita pada ketakwaan dalam puasa Ramadhan?

Pertama, sikap jujur dan adil. Kita tahu bahwa puasa mendidik seseorang untuk bersikap jujur dan merasa diawasi oleh Allah baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian. Karena pada saat itu, tidak seorang pun yang dapat mengawasi selain Allah. Dalam al-Qur’an dinyatakan:

 “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Ma’idah [5]: 8).

Yang jelas, di ayat ini, kata takwa muncul dua kali. Satu untuk kata takwa itu sendiri, yang lain dalam bentuk perintah sehingga lengkap menjadi satu paket. Yang dimaksud takwa dan perintah untuk bertakwa di situ adalah menegakkan kebenaran semata karena Allah (bukan karena kepentingan lain) dalam bentuk syuhada’a bilqisth (menjadi saksi atau hakim yang jujur) dan i’tidiluw (perintah berlaku adil) walaupun kepada orang yang kita benci atau musuhi.

Baca Juga  Jangan Semuanya Menjadi Penyerang (Tanggapan terhadap Tulisan Dr. Aji Damanhuri)

Al-Qur’an mencirikan orang yang bertakwa sebagai orang yang mengambil sikap pada posisi yang paling berat, mengambil jalan yang menanjak lagi sulit, yaitu bersikap jujur dan adil kendati kepada orang yang paling memusuhinya. Begitu pentingnya sikap jujur dan adil seperti itu sampai-sampai Tuhan menggunakan isim tafdhil dalam kata dekat yakni “aqrab”.

Tentu saja, modal utama untuk bersikap jujur adalah ikhlas. Sebab, ikhlas artinya tidak punya ambisi, tendensi, dan pretensi pribadi dan atau kelompok. Sehingga, kalau keikhlasan sudah berhasil mendepak ketiga unsur pengganggu tersebut, maka sebetulnya dengan sendirinya kejujuran akan datang. Kejujuran dengan begitu secara otomatis juga menjadi parameter atas keikhlasan seseorang.

Itu sebabnya, Nabi Muhammad juga menekankan pentingnya keikhlasan ini dalam berpuasa. Dalam hal ini, agar orang yang telah berpuasa benar-benar lahir baru kembali sebagai orang yang jujur. Kalau ikhlas adalah modal utama untuk bersikap jujur, maka jujur adalah modal utama untuk berakhlak mulia. Jujur artinya berkata benar.

Kedua, sabar. Manusia diperintahkan agar selalu menjadi orang yang sabar dalam menjalani hidup. Sabar di sini adalah sikap manusia seperti yang diterangkan dalam Al-Qur’an:

“Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran [3]: 146).

Rasulullah pernah bersabda: “Puasa adalah perisai. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah berkata keji dan berteriak-teriak. Jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, ‘Aku sedang berpuasa.’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hal ini, puasa juga mengajarkan seseorang agar terbiasa bersabar seperti halnya bersabar dalam mempertahankan kesempurnaan ibadah puasanya sehingga tidak melakukan perbuatan yang mengurangi nilai puasanya atau hal yang membatalkannya. Kemudian, orang yang berpuasa akan mempunyai jiwa sosial yang tinggi.

Baca Juga  Derita Pasien Covid dari Kalangan Proletar

Ketiga, disiplin. Puasa adalah sarana berlatih disiplin. Orang yang berpuasa akan terlatih dengan sendirinya untuk bisa memiliki pola hidup sehat, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Puasa mengajarkan sikap disiplin dan ketepatan, karena puasa menuntut orang yang berpuasa untuk makan dan minum pada waktu yang telah ditentukan.

Rasulullah Saw. bersabda: “Berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah (mengakhiri puasa) dengan melihat hilal. Bila ia tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan syakban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Keempat, kepekaan sosial. Puasa Ramadan menjadi ajang pendidikan dan latihan, terutama dalam melatih kepekaan terhadap orang lain. Bersedekah di bulan puasa sangat dianjurkan. Contohnya, memberi makan untuk orang yang berbuka puasa adalah salah satu wujud kepekaan terhadap sesama.

Nabi Muhammad Saw. bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Zaid bin Khalid Al-Juhani: “Barang siapa yang memberi hidangan berbuka untuk orang yang berpuasa, dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sama sekali.” (HR. Tirmidzi). Wallahualam bissawab. [AR]

Salman Akif Faylasuf Santri PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo