Abdurrahman Wahid (populer dengan sebutan Gus Dur) adalah cucu dari dua tokoh NU pendiri organisasi kaum tradisonalis Muslim terbesar (NU), yaitu KH. Hasim Asy’ari dan KH. Bisri Syansuri, dan putra KH. Wahid Hasyim, tokoh paling dicintai dalam organisasi itu yang sekaligus menjadi Menteri Agama pada tahun-tahun pertama kemerdekaan Indonesia.
Dengan latar genealogis seperti ini, Gus Dur memiliki “kharisma tradisional” tidak tercela. Belum lagi sifat dan minat bacanya yang tidak terbatas. Mulai dari referensi-referensi Barat, Timur Tengah hingga Asia, dan juga tulisan-tulisannya yang menjangkau pelbagai tema dan persoalan. Begitu juga kerangka berfikirnya yang amat luar biasa.
Sehingga, ia dapat tampil sebagai sosok intelektual yang paling disegani, baik di dalam komunitas NU sendiri maupun di luarnya. Mulai tahun 1984 hingga tahun 1999, ia adalah Ketua Umum PBNU, sebagai salah seorang pendiri dan aktivis forum demokrasi (Fordem). Walaupun singkat, ia juga pernah menjabat sebagai Presiden RI yang keempat dari tahun 1999-2001.
Lebih dari itu, cucu Kiai Hasyim ini ternyata adalah seorang kampium dalam memperjuangkan demokratisasi dan toleransi keagamaan. Komitmen Gus Dur terhadap demokrasi, pluralisme dan hak asasi manusia tidak diragukan lagi. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa, Gus Dur bukan hanya sekedar memiliki komitmen kuat terhadap demokrasi, tapi juga fanatik terhadap demokrasi. Tak heran jika Gus Dur menggantungkan harapannya pada demokrasi.
Memang pemikiran politik Gus Dur senantiasa didasarkan pada sisi politik Indonesia yang demokratis, sekular dan nasionalis. Baginya, sekularisasi merupakan langkah pertama ke arah masyarakat demokratis yang hanya bisa dibangun secara independen dari demokrasi politik yang sejati.
Salah satu keyakinannya adalah bila Indonesia benar-benar akan menjadi civil society yang demokratis, aspirasi politik masyarakat tidak boleh disalurkan melalui agama. Bahkan, dalam amatannya, keterlibatan kelompok-kelompok agama ke dalam politik praktis secara tak terelakkan akan menimbulkan ketegangan-ketegangan sektarian dan polarisasi yang cukup tajam antar berbagai gerakan Islam.
Untuk mendukung tujuan-tujuan demokratis dan sosialnya dan untuk melegitimasi partisipasinya dalam wacana politik Indonesia, Gus Dur lebih sering menggunakan ideologi nasional Pancasila ketimbang Islam Gus Dur menganggap Pancasila sebagai kompromi politik yang memungkinkan semua orang Indonesia hidup bersama-sama dalam sebuah negara kesatuan nasional Indonesia.
Menurutnya, tanpa pancasila, Indonesia akan berhenti sebagai negara. Menurut Douglas E. Ramage, penafsiran Gus Dur dan rujukannya yang sering pada Pancasila erat kaitannya dengan peranannya sebagai eksponen terkemuka Islam neo-modernis, yang memiliki komitmen kuat pada pluralisme dan nilai-nilai inti demokrasi.
Gus Dur dan Pribumisasi Islam
Namun, kali ini, penulis ingin berbicara Gus Dur bukan sebagai tokoh politik, tetapi sebagai tokoh, pemikir dan intelektual muslim. Kita tahu, jasa Gus Dur sebagai pemikir muslim begitu sangat banyak. Dan, sebetulnya, kalau kita perhatikan dengan jelih-jernih, Gus Dur meneruskan semangat pemikiran yang kita lihat pada pemikir-pemikir muslim lain yang besar. Mulai dari Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdurraziq, Amin al-Khuli, Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun dan tokoh lainnya. Semangat pemikiran Gus Dur sama dengan mereka. Iya, sama.
Adalah tentang pentingnya memahami Islam secara kontekstual. Gusdur memakai istilah “Pribumisasi Islam”. Jelasnya, Islam itu seperti benih yang bisa dibawa kemana-mana. Tetapi, supaya benih bisa tumbuh di sebuah tempat, maka harus menyesuaikan dengan tanah di tempat itu. Sekiranya Islam datang ke kawasan Melayu, maka harus bisa membuat akulturasi dengan Melayu. Jika Islam datang ke kawasan Eropa, maka harus bisa melakukan akulturasi dengan konteks Eropa.
Demikian juga, jika Islam datang ke kawasan Hindia, maka harus bisa melakukan alkulturasi dengan konteks Hindia dan begitu seterusnya. Inilah yang disebut Gus Dur dengan istilah “Pribumisasi”. Gagasan ini penting karena, untuk melawan atau menandingi gagasan lain yang ada di sebagian kalangan Islam memandang bahwa, Islam adalah ajaran yang ahistoris.
Artinya, ajaran Islam tidak boleh disesuaikan dengan zaman. dia harus satu dari zaman Nabi sampai sekarang (tidak boleh di otak-atik). Pemikiran ini bisa benar dan salah. Dianggap benar karena secara pengertian Islam adalah satu (agama). Hanya saja, praktek Islam (bagaimana Islam) diterjemahkan secara sosial, budaya dan lainnya tentu berbeda-beda.
Sudah jelas, dari dulu Islam berbeda-beda, baik dari mazhab, pemahaman teologi, pun manifestasi kulturalnya dalam berbagai lingkungan masyarakat juga berbeda-beda. Gus Dur ingin menekankan bahwa, Islam perlu yang seperti itu. Karena bagaimana pun Islam hadir di Indonesia harus bisa menyesuaikan dan melakukan akulturasi dengan konteks Indonesia.
Pepatah mengatakan: الإسلام هو الحل “bahwa Islam ada solusi”. Artinya, Islam tidak memberikan dan memutuskan perkara halal dan haram, akan tetapi bagaimana bisa memberikan solusi yang tepat benar (misalnya, jangan sampai bahtsul masail menjadi suatu masalah).
Islam merupakan jalan hidup (way of life) yang harus diikuti oleh seluruh umat Islam untuk merealisasikan seluruh kehendak Tuhan di muka bumi. Karena itu, segala aktivitas umat Islam harus didasarkan pada prinsip syariat Islam yang asasi (al-adillat al-syar’iyat al-asasiyat), yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua asas tersebut diyakini akan tetap mampu menjawab segala tantangan zaman. Sebuah tautologi ushul fiqh menyatakan;
الإسلام صالح لكل زمان ومكان
Artinya: “Islam senantiasa cocok di setiap waktu dan tempat”.
Tautologi ini merupakan jaminan bahwa, seluruh persoalan yang dihadapi umat manusia dapat dicarikan solusinya dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa seluruh persoalan yang dihadapi manusia tidak selamanya sesuai dengan hal-hal yang ideal sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Selanjutnya: Pribumisasi Islam… (2)