Aku selalu saja terbangun ketika tanganku hampir menyentuh pundak seseorang yang melantunkan kidung berisi puji-pujian itu. Sudah tiga hari ini aku bermimpi dan melihatnya berkidung sambil menghadapkan wajahnya ke pematang sawah. Seolah ia ingin berkidung untukku. Namun aku selalu gagal ketika ingin mengajaknya bicara.
Sejak tiga hari yang lalu ketika mimpi itu untuk pertama kalinya mendatangiku. Aku mulai tertarik dan ingin tahu perihal mimpi itu lebih jauh. Di hari kedua, aku mulai merapal doa-doa ketika akan tidur. Bukan doa agar tak didatanginya lagi dalam mimpi. Melainkan sebuah doa agar aku bisa berbicara dengannya, minimal bisa melihat wajahnya.
Kidung itu sangat indah, dan memiliki arti yang menyentuh hati. Isinya puji-pujian tentang sawah. Entah bagaimana caranya, aku sangat ingat setiap kata dalam kidung itu, lalu dengan mudah menuliskannya di kertas saat bangun tidur. Dari catatan-catatan di kertas itulah aku mencari setiap arti dan maksud dari kidung itu.
Meskipun sudah hampir tiga malam ini aku didatanginya, dan jujur saja kehidupanku menjadi sedikit terusik. Anehnya aku tak bisa menceritakan perihal mimpi yang kualami ini pada orang lain. Bahkan aku mulai menyendiri, sengaja tak berkumpul dengan teman-temanku untuk sementara waktu.
Siang sampai sore, aku hanya menghabiskan waktu di perpustakaan kota atau kedai kopi untuk mencari arti dan maksud dari kidung itu lewat buku dan kamus. Dan di malam hari, aku buru-buru ingin terlelap dan bermimpi lagi.
***
Aku sebenarnya ingin menceritakan perihal mimpiku ini pada bapak. Tentang bapak memang seolah begitu saja melintas dalam benakku. Mengingat bapak adalah orang yang pertama kali mengenalkanku dengan sawah. Sebuah dunia yang telah lama kutinggalkan.
Namun niat untuk menceritakannya pada bapak lewat telepon pun harus kuurungkan. Sepertinya lebih baik kuceritakan mimpi ini secara langsung saat pulang lebaran nanti.
Sekarang yang bisa kulakukan hanya mencari tahu tentang kidung itu semampuku saja. Seperti yang kulakukan sore ini di kedai kopi Omah Kayu, aku membaca banyak kisah tentang sawah dan berharap ada petunjuk tentang maksud dari mimpiku itu.
***
“Besok naik?”
“Ke mana?”
“Merapi, mungkin?”
“Aku minum kopi dulu.”
“Masih besok, jadi kamu bisa menghabiskan sisa kopimu itu. Biar tak melamun saja.”
“Ahhh… Kamu memang selalu berisik. Mengganggu orang merenung.”
“Merenung? Melamun iya!”
“Sudahlah pergi sana! Pesankan aku kopi lagi”
“Besok ya kita naik. Jangan lupa!”
“Kutunggu di sini saja.” Kujawab Rino sekenanya saja dengan tatapan kesal. Sedangkan Rino yang datang dengan berisik itu sudah lenyap dan tinggal suaranya saja yang sayup terdengar dari jauh sedang memilih jenis kopi.
“Aku sama suntuknya sepertimu Ram.”
“Aku tak suntuk. Hanya sedikit kelelahan dan ingin merenung saja.”
“Wajahmu tak bisa bohong Ram.”
“Kamu mau minum kopi, atau mau ceramah ustad Rino?”
“Haha, bercanda Ram. Kamu sedang ada masalah, kenapa kamu tak cerita padaku?”
Kedatangan Rino pun akhirnya membuatku menyerah untuk tak menceritakan perihal mimpiku pada orang lain, termasuk dirinya. Katanya tadi dia kebetulan lewat depan kedai kopi ini. Melihatku menyendiri dengan muka kusut di warung kopi dan tampak lebih banyak melamun akhirnya mendorongnya untuk menghampiriku. Dan seperti biasanya dia selalu banyak tanya.
Aku sebenarnya sedikit terganggu karena kedatangannya justru membuyarkan beberapa bagian dari renunganku mencari tahu perihal mimpi. Aku juga tahu, dia tak sungguh-sungguh mangajakku naik gunung. Itu hanya caranya membuka obrolan denganku. Karena dia sangat tahu, aku tak pernah bisa mengabaikan obrolan tentang pendakian dan gunung.
***
Banyak yang bilang, mimpi adalah bunga tidur. Kita tak harus percaya penuh dengan apa yang kita lihat dalam mimpi. Itu juga salah satu yang menjadi alasanku untuk tak menceritakan mimpiku ini pada orang lain.
Termasuk Rino, aku sebenarnya tak ada niatan sedikit pun untuk berbagi mimpi padanya. Tapi bagaimana lagi, kedatangannya yang selalu berisik sebagai tanda kelewat akrabnya kami, membuatku merasa memang dia ditakdirkan datang di kedai kopi ini untuk mendengarkan cerita mimpiku itu. Sama seperti mimpi-mimpi itu yang datang padaku sebagai takdirku.
Mimpi itu datang berturut-turut selama tiga hari ini. Memang tidak dengan kidung yang sama setiap harinya. Tapi mimpi itu seperti saling berkaitan satu sama lain.
“Kenapa kamu menjadi sosok yang serius eperti ini Ram? Bukankah itu hanya mimpi?”
“Sudahlah, jangan bercanda lagi. Aku tahu respon pertamamu pasti terkesan meremehkanku. Dan menganggap ini lelucon.”
“Bukan begitu, aku hanya ingin kamu lebih santai saja. Jika kamu menganggap aku meremehkanmu, kamu salah Ram. Kamu seharusnya merasa beruntung hari ini.”
“Karena kedatanganmu?”
“Iya, seperti katamu tadi, kedatanganku juga sebagai takdirku dan takdirmu hari ini.”
“Jadi?”
“Apanya? Hahaha.”
“Ah. kamu selalu begitu Rin, ternyata sia-sia saja aku menceritakan mimpiku padamu. Kamu menanggapiku dengan bercanda saja.”
Aku benar-benar dibuat penasaran oleh serangkaian mimpi itu. Entah kapan rangkaian mimpi itu akan berakhir, lalu dengan penuh keajaiban aku mampu mengerti maksud dari mimpi itu. Tentunya itu harapan sekaligus keyakinanku, bahwa aku akan mendapatkan sebuah jawaban atas rasa penasaranku.
“Mau lanjut cerita mimpimu?”
“Inginnnya begitu, tapi kamu selalu bercanda. Aku jadi ragu untuk melanjutkan lebih jauh cerita mimpiku ini.”
Mumpung Rino datang di tengah usahaku menerjemahkan mimpi, aku ingin dia tahu sebuah kalimat yang baru saja kutemukan artinya itu. Sebuah kalimat yang selalu ada di setiap kidung. Meskipun aku tak tahu judul dari setiap kidung itu, aku meyakini, jika kidung yang dilantunkan itu berbeda setiap harinya.
“Bagaimana bunyi kalimatnya?”
“Tapi tolong jangan ceritakan pada teman-teman ya!”
“Siap, tenang saja.”
Aku meyakini kalimat itu merupakan kunci daan isyarat yang tercipta di balik kidung-kidung itu. Kalimat itu kutemukan artinya sekitar sepuluh menit sebelum Rino datang dengan pertanyaan basa-basinya tadi. Kupastikan hanya Rino yang pertama kali mendengar. Sebelum nantinya akan kuceritakan sama bapak tentunya.
“Ah kamu kelamaan Ram.” Desak Rino ambil merebut secarik kertas yang sedang kupegang.
“Sebentar, bapakku telepon.”
Sambil kutunjukkan gawai yang menyala-nyala itu tepat di muka Rino. Aku memilih menjauh dari Rino untuk berbincang dengan bapakku di telepon.
***
“Aku sudah tak minat lagi dengan cerita mimpimu Ram.”
“Aku juga tak sungguh-sungguh akan menceritakan padamu. Haha.”
“Kamu memang menyebalkan Ram, aku mau ke tempat Bang Tio saja.”
“Bukannya kamu tadi bercanda mengajakku ke Merapi?”
“Iya, tapi karena aku tak tertarik lagi dengan cerita mimpimu makanya aku berpikir lebih baik serius ke Merapi saja. Aku tak jadi mengajakmu.”
“Haha, memang sudah waktunya kamu mengajak Bunga ke gunung. Biar kamu segera sadar dia itu tak sungguh-sungguh menjalin hubungan denganmu.”
“Awas kamu, siapa bilang Dhea juga serius denganmu Ram.”
“Haha, ah jangan begitu kamu. Sudah pergi sana!”
Melihat Rino berlalu lengkap dengan candanya aku menjadi sangat lega. Sebab ia tak lagi mendesakku untuk cerita soal mimpi. Di sisi lain aku juga bingung dengan kondisi yang serba tiba-tiba ini.
Beberapa waktu yang lalu aku hampir saja menceritakan perihal mimpiku pada Rino secara lengkap dan saat itu pula bapak tiba-tiba telepon dan memintaku untuk pulang.
“Bapak mimpi apa ya?” selain masih terngiang perihal mimpiku sendiri, tanya itu juga sedikit mengusikku. Lagi-lagi ini seperti sebuah labirin yang rumit tapi ada ujung yang sepertinya harus kutemukan.
“Baiklah, aku akan pulang dan memecahkan lika-liku labirin ini.”
***
“Ini sawah peninggalan kakekmu, Ram.”
“Seperti yang pernah kulihat dalam mimpiku pak. Aku melihat seorang menyanyikan sebuah kidung di atas batu yang kita duduki ini.”
“Kamu bermimpi juga?”
“Iya pak. Jadi mimpi bapak juga tentang kidung?”
“Bukan, tapi bapak melihat sosok mirip kakekmu berdiri di atas batu ini.”
“Apakah itu kakek? Apa dia melantunkan sebuah kidung pak?”
Entah kenapa, tiba-tiba suasana menjadi hening. Pagi itu berdua dengan bapak tubuh kami mulai disinari matahari yang pelan-pelan beranjak dari singgasananya dan memulai petualangannya. Dan, aku pun mulai menerka apa hubungannya mimpiku dengan mimpi bapak.
“Apa yang di dalam mimpiku itu benar-benar kakek?” Sebuah pertanyaan yang cukup kuangankan saja, tak mampu kuutarakan pada bapak. Maklum kakek sudah meninggal dunia ketika usiaku baru menginjak dua bulan. Aku pun hanya bisa melihat wajah kakek dari sebuah foto yang terpajang di rumah. Dari foto itu juga aku tahu, kakek sangat mirip dengan bapak.
“Entah siapa yang kamu lihat dalam mimpimu Ram. Tapi kakekmu memang sangat suka melantunkan sebuah kidung di atas batu ini. Bapak dulu sering menikmati kemerduan suara kakekmu di atas batu ini berdua bersamanya.”
“Jadi kenapa aku harus pulang, pak?”
“Karena bapak mimpi seperti melihat kakekmu, bapak ingat sawah yang di depanmu ini diwariskan untukmu. Sudah waktunya kamu pulang ke rumah, bapak yakin lima belas tahun merantau sudah membuatmu melihat banyak hal.”
***
“Sejak kapan kamu sampai, Ram?”
“Baru saja,l0 Rin.”
“Dan langsung minum kopi di sini?”
“Haha iya, bagaimana rasanya ke Merapi dengan Bunga? Atau jangan-jangan kamu sudah putus?”
“Apaan sih Ram, aku tak jadi ke merapi. Selama tiga hari kamu pulang aku berpikir keras dan meyakinkan diri untuk memberitahukan ini padamu.”
“Kertas apa ini?”
“Baca saja Ram. Tapi aku mau tanya padamu. Apa kalimat yang ingin kamu katakan kemarin artinya di sawah kita mencari berkah?”
“Kok kamu tahu?”
“Ya sudah baca dulu kertas-kertasku itu. Nanti aku akan ke sini lagi kalau sudah selesai menemui Bunga.”
“Haha kukira sudah beneran putus kamu.”
***
Tak kusangka obrolanku tentang mimpi dengan Rino membuat kami berdua tahu bahwa kami berdua adalah saudara. Rino tak lain adalah cucu dari nenek Patmi yang tak lain adalah adik dari kakekku. Keduanya bahkan terputus kabar satu sama lain hingga akhir hayatnya. Sampai akhirnya aku dan Rino dipertemukan karena sebuah kidung petani itu.
Ternyata Rino memiliki mimpi yang sama denganku. Sebab kakekku dan nenek Rino memang sangat suka melantunkan kidung itu di atas batu di masa kecilnya saat diajak ke sawah oleh kakek buyutku.
Dari kidung itu pula akhirnya Rino dan aku memutuskan untuk sama-sama merawat sawah peninggalan kakekku itu. Rino awalnya tak mau, sebab sawah itu adalah hak warisku, tapi bagiku memulai hal baru tentang sawah dan seluk beluknya akan lebih mudah dengan Rino. Sekaligus kita menjadi sebuah manusia baru yang lahir kembali dengan menyelami nilai-nilai dari setiap kidung petani itu.