Yoga Irama Mahasiswa Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Bagaimana Sih Agama-agama di Indonesia Memaknai Moderasi Beragama? [Bag 1]

2 min read

Source: dutadamaisumaterabarat.id

Kata moderasi mengadopsi dari bahasa latin yaitu moderatio yang mempunyai arti kesedangan (tidak lebih dan tidak kurang). Kata itu juga bisa bermakna pengendalian diri dari sikap berlebih-lebihan dan kekurangan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata moderasi diartikan menjadi dua pengertian, yaitu pengurangan kekerasan dan penghindaran dari ekstremitas.

Sebagai contoh jika ada seseorang dikatakan bersikap moderat berarti maknanya adalah orang itu bersikap sebagaimana mestinya, wajar, biasa-biasa saja dan tidak ekstrem. Dalam gramatika bahasa Inggris, penggunaan kata moderation sering diletakkan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku) atau non-aligned (tidak berpihak).

Sedangkan dalam kaidah bahasa Arab, moderasi lebih dikenal dengan sebutan wasath atau wasathīyah. Terdapat persamaan makna antara kata tawassuth (tengah-tengah), ta`ādul  (adil), dan tawāzun (berimbang). Atas dasar makna yang sangat berdekatan atau bahkan sama itulah ketiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi “wasathīyah”. Wasathīyah berarti jalan tengah atau keseimbangan antara dua hal yang berbeda atau berkebalikan. [Hans Wehr, Modern Written Arabic]

Agar dapat menentukan paham dan perilaku beragama seseorang, tentulah harus ada ukuran serta batasan, apakah orang tersebut tergolong moderat ataukah non-moderat (ekstrem). Untuk menjawab persoalan itu, dapat merujuk pada sumber-sumber yang akurat, yakni nash-nash agama, konstitusi negara, serta konsensus bersama.

Pemahaman moderasi beragama harus mengacu pada sikap beragama yang seimbang, tidak berlebihan dalam pengamalan syariat agamanya sendiri, dan memberikan bentuk penghormatan (toleransi) terhadap praktik agama lain.

Dalam moderasi beragama terdapat prinsip-prinsip dasar yang selalu dijaga, salah satunya adalah aspek keseimbangan diantara dua hal, sebagai contoh pola kesimbangan di antara wahyu dan akal, jasmani dan rohani, hak dan kewajiban, prioritas individu dan kemaslahatan umat, kemudian antara nash agama dan ijtihad ulama, serta masih banyak lagi yang lainnya.

Baca Juga  Inilah Maksud Hadis Penentuan Awal Bulan Ramadan

Demikianlah inti dari moderasi beragama, yakni adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi dan mempraktikkan semua konsep yang berpasangan diatas. Dalam rumusan lain, dapat dikatakan bahwa terdapat tiga syarat terwujudnya moderasi beragama, yakni memiliki pengetahuan yang luas, mampu mengendalikan emosi untuk tidak melebihi batas, dan selalu berhati-hati. Jika disederhanakan ketiga elemen tersebut menjadi tiga kata, yakni harus berilmu, berbudi dan berhati-hati.

Landasan Historis dan Normatif Moderasi Beragama

Sikap moderat termasuk salah satu ajaran budi pekerti yang baik dalam agama Islam dan selayaknya mendapatkan perhatian yang lebih. Landasan untuk bersikap moderat merujuk pada dalil dalam Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Salah satu dalil dalam Alquran terdapat pada surah al-Baqarah ayat 143, yang berbunyi:

وَكَذَالِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّـهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّـهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّـهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤٣﴾

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. al-Baqarah [2]: 143).

Baca Juga  Seorang Ahli Alquran yang Malah Menjadi Takfiri

Maksud dalam ayat tersebut yang dilabeli sebagai umat moderat parameternya adalah hubungan antar-umat, umat Islam bisa disebut sebagai umat moderat hanya jika mampu bermasyarakat dengan umat yang lain (habl min al-nās). Karenanya, jika kata wasath dipahami dalam konteks moderasi, konsekuensinya adalah sebuah tuntutan kepada umat Islam untuk menjadi saksi dan sekaligus objek yang disaksikan, agar menjadi teladan bagi umat lain.

Dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya komitmen seseorang terhadap moderasi sesungguhnya juga menandai sejauh mana komitmennya terhadap nilai-nilai keadilan. Semakin seseorang mampu bersikap moderat dan berimbang semakin besar pula peluang untuk berbuat adil. Begitupun sebaliknya, jika seseorang tidak mampu bersikap moderat dan berimbang, maka besar kemungkinan ia akan berbuat tidak adil.

Hal itulah yang menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, Nabi Muhammad SAW, sangat menganjurkan agar umatnya untuk selalu memilih jalan tengah, yang diyakini sebagai jalan terbaik. Seperti halnya dalam sabda Nabi yang berbunyi:

خَيْرُ الأُمُورِ أَوْسَطُهَا

“Sebaik-baik urusan adalah jalan tengah”.

Pembahasan moderasi sendiri tidak hanya terdapat dalam tradisi agama Islam, melainkan juga agama lain, seperti yang diketahui semua agama bertujuan untuk kemanusiaan, dalam artian untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Seperti halnya agama Kristen, apalagi dalam konteks Indonesia, karakteristik keagamaan Kristen mengalami adaptasi dengan pola keindonesiaan.

Dengan berbagai macam dinamika dan tantangannya, tafsir ideologis kekristenan pun kemudian menemukan konteksnya di Indonesia dan mengakar menjadi bagian dari masyarakat multikultural Indonesia. Keyakinan umat Kristen terhadap pancasila sebagai pilihan yang terbaik untuk pegangan dalam berbangsa dan negara, menjadikannya memiliki jaminan hak dan kewajiban yang sejajar dengan warga negara, yakni terhindar dari diskriminasi, baik dari ras, suku maupun antar-golongan agama, sehingga memiliki keleluasaan penuh untuk menjalankan pola peribadatan di Indonesia. [MZ]

Baca Juga  [Puisi] Menggerus Cinta

–Bersambung–

Yoga Irama Mahasiswa Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya