Di tengah kesibukan manusia modern di mana rumah seakan hanya menjadi tempat singgah sementara, pagebluk Covid-19 berhasil memaksa nyaris semua manusia di planet bumi ini untuk kembali pada rumah. Fenemona global ini sudah mulai direfleksikan setiap orang, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga negara-negara lain.
Agama, etnis, dan sistem politik apapun tidak ada yang kebal dari serangan wabah ini. Ketika mencari kesepakatan global teramat sulit, makhluk mikroskopis ini berhasal memaksa manusia untuk bersepakat kembali ke rumah. Tak hanya kerja dan sekolah, bahkan ibadah pun dari rumah.
Setidaknya, di dalam keluarga kecil saya, empat hal itulah yang terasa selama pandemi Corona menguasai negeri ini. Tulisan ini ingin saya awali dengan pernyataan Abu Hamid al-Ghazali man ‘arafa nafsahu faqad arafa rabbahu [Barangsiapa mengenali dirinya, dia mengenali Tuhannya).
Sebenarnya, selama ini kita tinggal di rumah, tapi kesibukan kerja, rumah betul-betul hanya berfungsi sebagai tempat singgah untuk tidur. Itu pun seringkali diselingi dengan kerja luar kota yang tidak mungkin untuk balik ke rumah sekadar untuk tidur.
Kini, bisa dikatakan 24 jam hanya ngendon di rumah dan semua terasa berubah. Anak-anak yang selama ini tinggal di pesantren, kini kumpul di rumah karena pesantren mengembalikan semua santrinya pada keluarganya dengan seluruh pernak-pernik protokol yang harus dijalani.
Orang tua yang biasanya abai dengan detil-detil kebutuhan anggota keluarga, bahkan kebutuhannya sendiri, kini dituntut untuk lebih mengenali diri sendiri dan seluruh anggota keluarga, baik dari selera hiburan hingga soal makanan, bahkan urusan camilan. Pun kebutuhan air untuk mandi serta listrik yang digunakan.
Dari sini kita menyadari bahwa rumah bukan hanya tentang sebuah bangunan yang terdiri dari sekat-sekat ruangan di dalamnya. Saat semua anggota keluarga tinggal di rumah bersama dalam waktu lama dengan kedekatan yang intens seperti saat ini, maka dunia kecil keluarga bisa menjadi ujian nyata apakah kita siap berbagi dengan orang-orang terdekat kita atau tidak.
Jika kita tidak siap hidup di rumah bersama istri dan anggota keluarga lainnya, tampaknya sulit untuk dapat bertahan hidup berkeluarga selamanya.
Kegiatan belajar di rumah lebih banyak dilakukan oleh anak kami yang masih sekolah di tingkat dasar. Terkait dengan aktivitas School from Home (SFH) ini, kita sebagai orang tua perlu memastikan barang-barang seperti mobile phone, laptop atau komputer, serta jaringan internet, baik wifi atau kuota internet.
Sekalipun yang belajar intens adalah anak saya yang masih SD, namun kakaknya yang selama ini tinggal di pesantren dan tinggal menunggu ujian akhir pun tetap membutuhkan perangkat semua itu karena dia harus ikut pengajian online. Apalagi saat ini dia terbilang santri senior yang harus mengaji ragam kitab kuning babon.
Poin penting yang hendak saya ungkap di sini adalah tentang betapa pentingnya orang tua mendampingi proses belajar anak. Selama ini orang tua cenderung menyerahkan nasib pendidikan anak-anaknya sepenuhnya ke guru sekolah.
Ini bukan soal dana yang dibutuhkan dalam menfasilitasi anak melakukan aktivitas sekolah dari rumah, tapi bagaimana orang tua siap mental untuk menjadi guru di rumah. Di sini, dapat dikatakan, tidak mungkin seorang ibu/bapak menyekolahkan anaknya, jika tidak siap menjadi guru bagi anaknya sendiri. Di situlah pentingnya SFH.
Sebagai ASN yang selama ini kerja kantoran, bekerja di rumah terasa memberi sensasi tersendiri. Kalau dalam bahasa orang yang ingin menjadi qari atau qariah dengan suara melengking, bersih, dan panjang nafasnya, kerja dari rumah (Work from Home/WFH) ini ibarat gurah.
Gurah itu semacam treatment tradisional untuk membersihkan pita suara melalui kumur air yang dicampur dengan formula tertentu. Jika gurahnya tepat, seseorang akan memiliki suara yang melengking indah sehingga memiliki kualifikasi sebagai seorang qari atau qariah.
Ibarat gurah, WFH ini akan membuat kita merenung, apakah jenis pekerjaan kita selam ini benar-benar manfaat untuk masyarakat sekitar atau tidak. Seberapa besar kerja-kerja kita memberi manfaat pada masyarakat banyak, bukan semata-mata kepada stakeholders.
Saat-saat seperti ini, setiap kali rapat on line dengan stakeholders, saya merenung, mengapa dalam WFH ini kita tidak menyediakan waktu banyak kepada kepentingan publik luas, tapi masih memikirkan diri sendiri.
Padahal, saat-saat seperti ini, semestinya nurani kemanusiaan kita terasah. Tidak cukupkah peringatan Covid-19 ini membuat kita merencanakan program atau kegiatan yang benar-benar bermanfaat langsung untuk sesama?
Mestinya, WFH ini dapat menjadi tolok ukur keimanan kita, bukan semata iman personal, tapi juga iman sosial, keberpihakan pada yang lebih membutuhkan. Sebagai orang tua, saya juga berpikir, apa manfaat saya untuk istri, anak, dan tetangga dari pekerjaan saya ini?
Dari berbagai kegiatan yang harus dilakukan di rumah, beribadah dari rumah adalah poin yang cukup memeras otak dan perasaan, plus iman kita sebagai umat Islam dan bangsa Indonesia. Betapa tidak, sudah banyak keluar fatwa, hasil rekomendasi para ulama, tetapi tetap saja disangkal dan ditentang, bahkan menggunakan dalil keagamaan.
Sebagai orang tua, tentu beribadah di rumah mengingatkan kita akan amanah anak yang dititipkan oleh Allah kepada kita. Orang tualah yang bertanggung jawab anak-anaknya beribadah dengan baik atau tidak.
Kisah Luqman dalam al-Qur’an bisa menjadi acuan. Contoh sederhana, dalam shalat misalnya, siapa yang berhak menjadi imam? Apakah ia sudah memenuhi ketentuan syariat? Berkait kelindan menjadi imam, bagaimana bacaan al-Qur’annya? Bagaimana pemahaman keagamaannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini bisa dijejer panjang. Di dalam keluarga yang keagamaannya nanggung, mungkin saja akan terjadi perdebatan dalam masalah-masalah ini. Belum lagi, terkait shalat Jumat, sebentar lagi shalat tarawih di bulan Ramadhan, kemudian zakat, dan Idul Fitri.
Hal-hal seperti ini akan bisa mendorong kita untuk melatih diri bersikap profesional. Jika seseorang merasa dirinya belum menguasai ilmu peribadatan dengan baik, tak ada salahnya berikan kepada ahlinya atau yang lebih ahli dibanding dirinya.
Sebab, orang alim lebih diutamakan dibanding orang dengan usia lebih tua, tapi tidak memahami ilmu yang dibutuhkan. Jika kita merasa sama-sama alim, maka yang lebih tua tentu harus didahulukan.
Dari sini, kita bisa menyadari bahwa rumah pada hakikatnya adalah madrasah (sekolah), tempat kerja (kantor), dan tempat tinggal semua anggota keluarga agar sakīnah, mawaddah dan rahmah tetap terjaga.
Sakiīah artinya kita tinggal di rumah itu nyaman, karena semua kebutuhan satu sama lain terpenuhi, baik sifatnya jasadi ataupun rohani, seperti kasih sayang dan saling mencintai. Rumah menjadi ruang untuk saling berbagi, saling memahami, saling merasakan, saling belajar, dan saling berbagi.
Kita tidak tahu pasti hakikat dibalik wabah Covid-19 ini. Tapi satu hal yang pasti, kita harus lebih banyak melakukan refleksi untuk penguatan dan peningkatan kedirian kita dan kemanfataanya pada sesama. Pandemi ini juga menyadarkan kepada kita bahwa kita tidak dapat hidup sendiri, sepintar dan sehebat apapun kita.
Saatnya kita lebih introspeksi diri dan apresiasi pada orang lain yang sudah membantu kita dan keluarga kita. Saat ini kita punya kesempatan untuk tidak lagi abai kepada orang lain: guru anak kita, kolega kantor, hingga ustaz atau kiai di musala atau masjid di lingkungan kita. Siapa kenal dirinya, maka akan kenal yang lainnya. Kenal dirinya, kelak akan kenal Tuhannya. Wa Allah al-Musta’ān! [AZH, MZ]