Menjadi Orang Tua Ideal di Era Digital: Menanamkan Karakter Islami Sejak Dini

Perkembangan zaman yang serba cepat dan dominasi teknologi digital, sebagai orang tua kerap terfokus pada upaya mempersiapkan masa depan anak dengan cara yang tampak modern dan progresif. Kita begitu sibuk mencari sekolah terbaik yang dirasa mampu mengantarkan mereka ke jenjang pendidikan tinggi dengan menyediakan berbagai mainan edukatif yang diklaim dapat merangsang kecerdasan, hingga membekali mereka dengan perangkat teknologi canggih yang memungkinkan akses informasi tanpa batas.

Pernahkah kita sejenak berfikir dan merenungkan, siapa sebenarnya figur paling berpengaruh dalam membentuk karakter dan kepribadian anak-anak kita? Siapa yang sesungguhnya berperan sebagai guru utama selain kita sendiri sebagai orang tua? Apakah peran kita sebagai orang tua sudah tepat di era sekarang?

Islam sejak dulu telah memberikan jawaban yang sangat jelas dan tegas mengenai hal ini. Orang tua, yakni ayah dan ibu, mempunyai posisi sentral dalam mendidik dan membentuk karakter anak sejak dini hingga dewasa. Orang tua adalah sosok yang menjadi cermin pertama bagi anak, tempat mereka belajar tentang kebaikan, kesabaran, kejujuran, dan rasa tanggung jawab.

Peran orang tua tidak hanya sebatas memenuhi kebutuhan materi seperti sandang, pangan, dan papan, tetapi juga sebagai penanam nilai-nilai luhur, penjaga moralitas, dan pembentuk kepribadian anak agar mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Pendidikan karakter berbasis Islam seharusnya dimulai dari lingkungan keluarga, karena di sanalah anak pertama kali belajar mengenal dunia dan menghabiskan sebagian besar waktunya.

Pendidikan karakter tidak cukup hanya melalui nasihat lisan atau kata-kata, tetapi jauh lebih efektif jika ditanamkan melalui keteladanan nyata dalam perilaku sehari-hari orang tua. Anak-anak memiliki kecerdasan emosional tinggi. Mereka lebih cepat menangkap makna dari bahasa tubuh dan tindakan daripada dari ceramah yang berulang. Keteladanan yang konsisten akan tertanam dalam jiwa anak sebagai bekal membentuk karakter kuat dan integritas yang kokoh.

Anak-anak sebenarnya jauh lebih peka terhadap lingkungan dibanding yang disadari orang tua. Mereka tidak hanya mendengar apa yang dikatakan, tetapi mengamati dengan cermat bagaimana orang tua bertindak. Jika orang tua mengajarkan kejujuran namun justru berbohong di depan anak, maka pesan moral itu akan hilang dan menimbulkan kebingungan.

Begitu pula ketika orang tua meminta anak shalat tepat waktu, namun dirinya sibuk dengan ponsel saat azan berkumandang. Dalam kasus seperti ini, pendidikan karakter menjadi kehilangan arah, dan justru anak yang mungkin secara tidak langsung memberikan pelajaran berharga bagi orang tuanya. Maka, keteladanan sejati harus menjadi fondasi utama dalam mendidik anak secara Islami.

 “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, sedang ia memberi nasihat kepada-nya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ (QS. Luqman: 13)”

Q.S Luqman ayat 13-19 dikatakan bahwa Allah mengabadikan percakapan penuh hikmah antara seorang ayah dan anaknya. Tidak melalui kemarahan, teguran keras, atau ancaman, melainkan dengan nasihat yang lembut, penuh makna, dan berdasarkan nilai-nilai tauhid, moral, serta akhlak sosial yang kuat.

Surah ini menjadi gambaran ideal bagaimana pendidikan karakter Islami seharusnya dimulai dari rumah dengan kasih sayang, kelembutan, kesabaran, dan keteguhan hati. Bukan dengan kekerasan atau paksaan yang dapat menimbulkan kebencian dan penolakan. Namun, banyak orang tua merasa kehilangan kendali dalam membimbing anak-anak mereka. Kesibukan pekerjaan, tekanan ekonomi, dan godaan dunia digital sering membuat perhatian terhadap pengasuhan terabaikan.

Anak-anak pun lebih banyak tumbuh dalam suasana yang didominasi oleh layar gawai dan media sosial, sementara nilai-nilai Islam hanya terdengar sesekali dan tidak menjadi bagian konsisten dalam kehidupan mereka. Ini menjadi tantangan besar bagi orang tua. Maka, pertanyaan yang perlu direnungkan bukan hanya “Apakah anak saya berakhlak baik?” tetapi “Sudahkah saya menjadi teladan Islami bagi anak saya?”

Karakter anak bukan semata hasil pendidikan sekolah, melainkan buah dari proses panjang di rumah yang melibatkan keteladanan nyata. Pendidikan karakter tidak bisa dibentuk dalam satu-dua jam pelajaran di kelas, tapi melalui interaksi harian — obrolan ringan, pelukan hangat, dan respons bijak terhadap tantangan hidup.

Orang tua harus meluangkan waktu berkualitas — kehadiran fisik sekaligus hati dan pikiran — untuk mendengar, membimbing, dan menyaring pengaruh negatif dari luar. Mereka harus memperkaya suasana rumah dengan nilai-nilai Qur’ani, karena anak-anak lebih membutuhkan sosok yang menjadi contoh hidup daripada fasilitas mewah.

Dengan komitmen dan langkah kecil yang konsisten, orang tua bisa membentuk karakter anak yang kuat, beriman, dan berakhlak mulia. Pendidikan karakter sejati selalu berawal dari rumah, dari cinta yang hadir dalam tindakan nyata.

2

Santri PP Taswirul Afkar, Klaten. Sedang menempuh program Magister Pendidikan Islam Anak Usia Dini, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.