
Sebelumnya: Belenggu Feodalisme Spiritual… (1)
Pengaruh Feodalisme Spiritual terhadap Identitas Muslim: Perspektif Teori Paradigma Thomas Kuhn
Dampak dari feodalisme spiritual ini cukup signifikan dalam pembentukan identitas Muslim. Identitas Muslim yang sejati seharusnya terbentuk melalui proses pemahaman yang kritis terhadap ajaran agama, bukan melalui kepatuhan buta kepada otoritas yang berbasis keturunan. Ketika umat terlalu mengagungkan figur-figur tertentu tanpa mempertimbangkan kapasitas keilmuannya, maka yang terjadi adalah pembentukan identitas Muslim yang pasif dan submisif.
Salah satu dampak negatif yang mencolok adalah hilangnya kemampuan umat untuk berijtihad dan berfikir kritis. Banyak Muslim menjadi takut atau enggan untuk mempertanyakan ajaran atau fatwa yang diberikan oleh para habib, meskipun mungkin ada kontradiksi atau inkonsistensi dengan teks-teks suci Al-Qur’an dan Hadits. Tradisi ini pada akhirnya menciptakan budaya “taklid buta” di mana umat hanya mengikuti tanpa memahami esensi dari ajaran tersebut.
Selain itu, fenomena feodalisme spiritual ini juga menimbulkan eksklusivitas dalam komunitas Muslim. Tercipta semacam “kelas sosial spiritual” di mana para habib menempati posisi puncak, sedangkan Muslim lainnya hanya menjadi pengikut. Dalam jangka panjang, ini menghambat tumbuhnya generasi Muslim yang kritis, mandiri, dan mampu berkontribusi dalam wacana intelektual Islam secara global. Padahal, Islam sejak awal mengajarkan pentingnya ilmu pengetahuan dan kebebasan berpikir, sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an, seperti ﵟأَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ 9ﵞ “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9).
Menggunakan teori paradigma Thomas Kuhn(Kuhn, 1970), feodalisme habaib di Indonesia dapat dipahami sebagai paradigma normal yang mengakar dalam struktur hierarkis dan legitimasi kultural-religius. Namun, munculnya kritik dari generasi muda yang lebih egaliter dan wacana anti-feodalisme dalam Islam progresif menjadi anomali yang menantang status quo. Ketika kritik ini semakin menguat, terjadi krisis paradigma yang memunculkan tuntutan akan penilaian berbasis kompetensi dan integritas, bukan sekadar garis keturunan. Revolusi paradigma kemudian mengarah pada Islam Nusantara yang lebih egaliter, menegaskan kesetaraan semua Muslim di hadapan Tuhan.
Sebagai contoh Pada Juli 2024,[1] Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) menginstruksikan penarikan sebuah buku pelajaran yang menyebut kakek Habib Luthfi bin Yahya sebagai salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Langkah ini diambil karena dianggap terjadi distorsi sejarah dalam buku tersebut, dan juga counter ba’alawi terhadap Islam Nusantara dengan menyelewengkan sejarahnya.
Dalam surat instruksi Nomor 635/PP/SU/LPM-NU/VII/2024, LP Ma’arif NU menekankan pentingnya menjaga keakuratan sejarah pendirian NU dan mencegah penyebaran informasi yang keliru di kalangan santri serta siswa-siswi Ma’arif NU. Selain penarikan buku, instruksi tersebut juga meminta guru dan murid yang memiliki buku tersebut untuk menyerahkannya kepada kepala satuan pendidikan Ma’arif NU atau pengurus Ma’arif NU terdekat. LP Ma’arif NU juga menekankan perlunya penelaahan kembali buku-buku mata pelajaran Ke-NU-an atau Ke-Aswaja-an yang diterbitkan oleh pengurus LP Ma’arif NU wilayah atau cabang di setiap satuan pendidikan.
Rekontruksi Identitas Muslim yang Egaliter dan Kritis
Untuk membebaskan identitas Muslim dari cengkeraman akidah Ba’alawi, diperlukan upaya dekonstruksi terhadap konsep feodalisme spiritual tersebut. Langkah pertama yang perlu diambil adalah melakukan edukasi kritis kepada umat Islam, terutama dalam memahami prinsip-prinsip dasar ajaran agama. Umat perlu diajarkan untuk tidak hanya menerima otoritas keagamaan secara pasif, tetapi juga untuk menguji dan memverifikasi ajaran tersebut melalui pendekatan rasional dan tekstual.
Dalam buku karya Abid Rahmanu yang berjudul “Paradigma teoantroposentris dalam konstelasi tafsir hukum Islam”(M.H.I, 2019) dengan pendekatan tafsir kontekstual yang merujuk pada buku tersebut dapat menjadi salah satu metode untuk membongkar dogma-dogma yang tidak sejalan dengan maqashid al-shariah (tujuan utama syariah). Melalui pendekatan ini, umat akan didorong untuk melihat konteks historis dan sosial dari sebuah ajaran, sehingga tidak terjebak dalam interpretasi literal yang bisa jadi telah dimanipulasi oleh otoritas tertentu. Misalnya, konsep kehormatan keturunan dalam tradisi Ba’alawi dapat dikritisi dengan melihat kembali sejarah Islam awal di mana Nabi Muhammad SAW sendiri tidak memberikan keistimewaan khusus kepada keluarganya di atas umat lainnya.
Selain itu, penting untuk mempromosikan konsep “Islam Meritokratis”, dimana otoritas keagamaan tidak diberikan berdasarkan garis darah tetapi melalui kapasitas intelektual, integritas moral, dan kontribusi nyata dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam. Para ulama dan cendekiawan Muslim perlu diberikan ruang yang lebih besar untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran baru tanpa takut terpinggirkan oleh hegemoni Ba’alawi. Lembaga-lembaga pendidikan Islam juga perlu memperkenalkan kurikulum yang mendukung kebebasan berpikir dan berijtihad, bukan sekadar menanamkan ketaatan tanpa dasar.
Akhirnya, dengan upaya kolektif dalam membangun identitas Muslim yang egaliter dan kritis, umat Islam diharapkan mampu melawan pengaruh feodalisme spiritual dan menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan progresif. Identitas Muslim sejati bukanlah identitas yang pasif dan terikat pada kultus figur, tetapi identitas yang aktif, dinamis, dan selalu mencari kebenaran berdasarkan ilmu dan kebijaksanaan. Wallahu A’lam
[1] https://khazanah.republika.co.id/berita/shflil320/lp-maarif-nu-bergerak-cepat-larang-buku-sejarah-sebut-kakek-habib-luthfi-pendiri-nu-part3 diakses pada 19 Maret 2025
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya