Ainur Rofiq Al Amin Dosen Pemikiran Politik Islam UINSA dan UNWAHA Tambakberas serta pengasuh Al Hadi 2 PP Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang

Covid-19: Dari Goyah Nalar hingga Miskin Rasa

2 min read

Perilaku unik dan aneh muncul saat penyebaran Covid-19 yang hampir merata di 200 negara (kecuali beberapa gelintir negara). Pemicu keunikan dan keanehan ini rerata karena rasa cemas dan panik atas serangan “senyap” dan tidak kasat mata covid-19 yang bisa merasuki siapapun tanpa pandang bulu. Serangan virus ini berefek destruktif apabila kualitas imunitas tubuh rendah.

Beragam Respons

Sebuah survei di Amerika menunjukkan 44 persen warganya beranggapan bahwa pandemi ini menuntun orang agar kembali kepada Tuhan, sekaligus tanda segera datangnya hari penghakiman (nytimes.com 02/04/20).Tidak hanya di Amerika, di belahan negara lain juga mengindikasikan hal yang mirip, yakni mendadak “religius”.

Naifnya, terkadang muncul sikap dan perilaku yang sulit dicerna seperti ajakan beribadah dengan tetap berkumpul tanpa physical distancing di lokasi yang potensi penyebarannya tinggi. Pelajaran penting, 73 Jamaah Tabligh Kebon Jeruk akhirnya positif corona. Masih terkait Jamaah Tabligh, di Pakistan sebanyak 20.000 pengikutnya dikarantina, dengan 600 orang positif. Anehnya, baru saja beredar video, mereka yang nekat ke India, saat ini minta ke Jokowi agar dipulangkan.

Fenomena menggembirakan akibat outbreak corona adalah tumbuhnya altruisme di masyarakat. Beberapa orang tergerak untuk memberi kebaikan dan berkorban bagi orang miskin sebagai pihak terdampak paling berat atas pagebluk ini. Tentu motifnya selain membantu pihak lain, juga untuk untuk tolak bala. Dalam ajaran agama, sedekah mempunyai daya untuk menghindari bencana.

Tidak hanya altruisme, juga muncul egosime bagi sebagian masyarakat. Mereka memborong barang-barang yang sangat dibutuhkan banyak orang. Di Amerika, sejumlah warga panic buying dengan memborong kebutuhan sehari hari dalam jumlah banyak (reuters.com 15/03/20).Terbaru, Stafsus Presiden Jokowi menyurati camat untuk mendukung perusahaannya menangani Covid-19 (merdeka.com 14/04/20). Di saat rakyat kecil menjerit, ternyata masih ada orang yang mementingkan egonya.

Baca Juga  Tantangan Generasi Muda Muslim Di Era Modern

Egoisme tidak hanya pada tingkat individu di masyarakat, tapi juga dilakukan oleh negara. Jerman, Perancis dan Kanada menuduh Amerika “membajak” pembelian masker (malaysia-today.net 04/04/20). Memang saat ini negara semaju Amerika juga kelabakan dengan jumlah pasien dan korban terbanyak di dunia. Mereka butuh masker untuk mengatasi covid-19, bahkan warga diperintah agar memakai masker walau dari barang rumah tangga atau kaos dan kain bersih karena masih kekurangan masker standar (newsweek.com 05/04/20).

Fenomena lain akibat penyebaran corona adalah “goyahnya” otoritas keilmuan di saat masyarakat butuh suluh pemandu. Kegoyahan ini dipicu selain karena berkecambahnya hoaks mirip saat pilpres 2019 karena firehose of falsehood, juga karena ada faktor lain. Faktor itu berupa perdebatan para pakar yang diampifikasi di media sosial, dan apesnya, tidak jarang pendapat para pakar itu saling “meragukan”. Walhasil, goyahnya “nalar umum” saat ini lebih kuat dibanding saat pilpres 2019. Karena pilpres hanya lokal Indonesia, berbeda dengan corona yang global dan informasi dari negara manapun menjadi cepat tersambung lewat medsos. Dunia menjadi global village yang cepat tundo-rambat bila lahir suatu berita baru.

Sebagai afirmasi dari statemen di atas semisal pandangan para tokoh beberapa waktu lalu yang meminta agar Indonesia diterapkan lockdown, namun ada yang menolak. Ada yang menyarankan agar social atau pyshical distancing saja, dan pemerintah memilih opsi ini. Kelanjutannya pada 10 April di DKI Jakarta diberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Berikutnya diikuti Bogor, Depok dan Bekasi.

Silang sengkarut juga muncul pada kasus lain, pakar dari AS mengatakan, covid-19 bisa menular hanya lewat bicara, bukan batuk dan bersin (detik.com 06/04/20). Lalu ada pakar dari FKUI yang meragukan penularan covid-19 lewat udara semisal hanya sekedar menguap, kecuali dia ngomong dan droplets-nya lepas. Jadi belum ada pembuktian bahwa virus covid-19 itu airborne atau ada di udara (antaranews.com 05/04/20).

Baca Juga  Catatan Kritis Sokrates terhadap Sistem Demokrasi

Tidak hanya fragmen pendapat dari para pakar yang berbeda, bahkan jurnal sains ilmiah juga “berbantahan”. Semisal ada indikasi pengaruh iklim dan cuaca dalam mendukung penyebaran virus corona seperti penelitian Araujo dan Naimi yang berjudul Spread of SARS-CoV-2 Coronavirus likely to be constrained by climate. Walakin penelitian ini dibantah oleh Chipperfield dan kawan-kawan dalam artikelnya yang berjudul On the inadequacy of species distribution models for modelling the spread of SARS-CoV-2: response to Araujo and Naimi. Tentu pedebatan tersebut sebenarnya ilmiah, akan tetapi akan berbeda saat masyarakat butuh panduan praktis.

Sinergi Pemerintah dan Ormas Keagamaan

Tentu realitas goyah nalar tersebut kalau menyebar akan membuat masyarakat semakin bingung dan menggiring untuk mengesampingkan penggunaan nalar sehat. Buktinya adalah terjadinya kasus penolakan pemakaman korban covid-19 di beberapa tempat. Padahal jenazah sudah ditangani sesuai dengan protokol kesehatan dan syariah (pwmu.co dan nu.or.id), sehingga tidak akan menularkan penyakit. Lebih menyedihkan lagi, tidak hanya membuktikan hilangnya nalar sehat, tapi juga hilangnya rasa tepo sliro kemanusiaan dengan terjadinya penolakan pemakaman petugas kesehatan yang wafat karena corona.

Tidak hanya di Indonesia, di Eropa, tepatnya di Inggris juga muncul tindakan yang tidak “bernalar sehat”. Warga Inggris dikabarkan membakar BTS 5G karena dianggap berkaitan dengan mewabahnya covid-19 (bbc.com 04/04/20). Di Amerika juga terjadi penepian “nalar sehat” bermasyarakat, terbukti muncul antrean panjang untuk membeli senjata api karena krisis coronavirus (theguardian.com 16/03/20).

Dalam kondisi seperti ini, hendaknya masyarakat mengacu kepada kebijakan pemerintah yang telah bersinergi dengan ormas-ormas keagamaan besar. Para pemimpin di berbagai jenjang hendaknya memiliki kepercayaan diri, berani membuat keputusan sulit dan welas asih terhadap rakyat. Penting mengingat ucapan Douglas MacArthur, a true leader has the confidence to stand alone, the courage to make tough decisions, and the compassion to listen to the needs of others.

 

Ainur Rofiq Al Amin Dosen Pemikiran Politik Islam UINSA dan UNWAHA Tambakberas serta pengasuh Al Hadi 2 PP Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *