KH. Ahmad Subakir Wakil Rois Syuriyah PCNU Kota Kediri

Jangan Mengurangi ‘Kemesraanmu’ Bersama Allah Karena Social Distancing

2 min read

Kebijakan penjarakan (psychal ataupun social distancing) yang dikeluarkan pemerintah untuk menanggulangi wabah Covid-19 pada mulanya tidak terlalu merisaukan karena upaya itu hanya menyasar masalah-masalah sosial-kemasyarakatan lumrah yang dalam bahasa agama disebut ‘amaliyah. Namun, ketika kebijakan ini mulai menyasar pada ranah ubūdiyah (ibadah), kebijakan ini mulai mendapat tentangan dari beberapa kelompok masyarakat tertentu, baik terang-terangan maupun diam-diam.

Jika tentangan itu datang dari masyarakat awam, tanpa ada embel-embel agama, petugas lapangan mungkin tidak seberapa kesulitan untuk mengaturnya, termasuk mungkin melakukan tindakan represif. Namun jika tentangan ini dilakukan oleh kelompok pemeluk agama dengan menggunakan dalil-dalil agama, petugas bisa jadi serba salah dalam melakukan tindakan.

Tentangan terhadap kebijakan penjarakan itu juga muncul dari sebagian umat Islam. Karena, kebijakan itu ketika masuk ke ranah ubūdiyah salah satunya berbenturan dengan kewajiban menjalankan shalat Jumat. Ibadah shalat Jumat selalu dilakukan secara berjama’ah. Bahkan kata “Jum’ah” itu sendiri bermakna berkumpul. Karena itu, pendapat mainstream di kalangan imam mazhab fiqh menyatakan bahwa tidak mungkin melakukan shalat Jumat sendiri-sendiri. Bahkan, mazhab Syafi’i mensyaratkan penyelenggaraan shalat Jumat minimal diikuti empat puluh orang penduduk setempat (mustauthin).

Saat ini, samar-samar terdengar sekelompok umat Islam yang menentang kebijakan tersebut dengan menuduh kebijakan itu sebagai cara orang kafir menghabisi umat Islam secara sistematis dengan cara menjauhkannya dari ajaran agamanya. Mereka berargumen bahwa setiap Muslim wajib menjalankan ibadah, termasuk shalat Jumat. Sebagai Muslim yang taat, ibadah, termasuk shalat Jumat, adalah sarana untuk berkomunikasi dan menemukan Allah.

Maka, mulailah muncul friksi-friksi kecil di antara umat Islam. Ada yang mengikuti anjuran mengganti shalat Jumat dengan shalat zuhur di rumah masing-masing. Namun, ada sebagian yang memaknai kebijakan peniadaan shalat Jumat sebagai tindakan intervensi kelompok lain kepada umat Islam dalam soal ubūdiyah dengan Tuhannya.

Baca Juga  Bukan Sekadar Logos yang Dibutuhkan oleh Masa Depan

Tulisan ini adalah ikhtiar saya untuk urun rembug dalam masalah yang jelas-jelas ditemukan di kalangan masyarakat, baik di desa maupun di kota. Di dalam al-Qur’an, Surah al-Dzāriyat (56), di sana Allah berfirman yang artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk (beribadah) menyembah-Ku.” Ini adalah ayat yang sering diacu sebagai perintah Allah kepada manusia untuk menyembah-Nya.

Di bagian lain, dalam surat al-Hujurāt (13), Allah befirman yang artinya: “…Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Lebih spesifik, saya memberi tekanan kepada penutup ayat ini, di mana Allah berfirman yang artinya: “…Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Beranjak dari beragam penafsiran atas ayat-ayat tersebut, dengan sedikit mengkombinasikan dengan pemikiran para ahli Tasawwuf, bahwa ketakwaan terhadap Allah adalah ukuran kemuliaan seseorang. Ketika Allah menjelaskan ketaqwaan dengan style superlatif “atqakum” (yang paling bertaqwa di antara kalian), maka itu memberi tekanan pada sisi personal. Karena itu, tak heran jika kita sering mendapati beberapa tokoh sufi mencari jalan ketakwaan secara personal. Mereka cenderung menyembunyikan dirinya dari orang lain.

Pada akhirnya, Allah meminta pertanggungjawaban kita sebagai hamba secara personal. Sebagaimana lumrah pada para sufi, menyembunyikan ketakwaan bisa lebih bernilai. Nabi pun menganjurkan agar kita tidak menggembar-gemborkan kebaikan kita. Ibaratnya, ketika tangan kanan berbuat baik, hendaknya tangan kiri tidak mengetahuinya. Allah Maha Mengetahui atas apa yang tersembunyi dalam diri kita.

Karena itu, saya terhenyak dengan beberapa orang dengan mentasnamakan Tuhan menentang kebijakan penjarakan terkait dengan upaya penyelesaian pandemi Covid-19. Apalagi mereka berlagak seperti orang yang paling berjuang untuk Islam, paling berjuang untuk keimanan. Mereka perlu menyadari dan merenung kembali lagi bahwa perbuatan apapun yang kita lakukan untuk Allah sebagai ibadah pasti diketahui oleh Allah. Bahkan, ada saat ketika dalam melakukan ibadah hanya kita (sebagai pribadi) dan Allah saja yang harus tahu.

Baca Juga  Hari HAM Internasional: Momentum Merawat Kesadaran

Situasi saat ini justru adalah momentum bagi kita untuk berlatih bagaimana cara menemukan Allah dalam kesendirian. Bukankah sebentar lagi kita memasuki bulan Ramadan, di mana jati diri puasa itu adalah upaya penghambaan kita kepada Allah yang sifatnya benar-benar personal? Jangan-jangan selama ini kita dilenakan oleh kenikmatan yang bersifat ketenaran sehingga semua amal pun harus kita pamerkan bak Iklan di jalanan.

Dari sudut pandang tertentu, situasi yang sedang kita hadapi ini adalah cara Allah menuntun kita untuk lebih mengenal-Nya, mendekati-Nya, dan menghamba-Nya melalui jalan yang sunyi dan menyendiri. Jika yang dipersoalkan tentang aturan shalat Jumat, bukankah fiqh telah memberikan jalan kepada kita tentang penyelenggaraan ibadah shalat Jumat dalam situasi darurat? Di samping mensyaratkan ketentuan tentang jumlah minimal jemaah, fiqh juga mensyaratkan tentang adanya jaminan keamanan bagi setiap individu Muslim yang ikut shalat.

Adalah sebuah kenikmatan tersendiri menemukan Allah dalam ketakwaan yang sunyi. Tinggal bagaimana kita mendidik diri kita agar tidak sibuk dengan publisitas ibadah. Dalam situasi seperti ini, sekali lagi, kita diberi kesempatan Allah untuk bercengkerama dengan-Nya secara personal; beribadah baik mahdhah atau ghairu mahdhah dalam keintiman yang intens hanya dengan Allah semata. Semoga ini adalah saat yang tepat untuk latih diri bermesraan dengan Allah dalam kesendirian. Bukankah kelak kita menghadap Allah dengan sendiri sendiri?  Wallāhu a’lam bi al-sawāb! [AZH, MZ]

 

KH. Ahmad Subakir Wakil Rois Syuriyah PCNU Kota Kediri

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *