Greg Fealy pada 27 September 2020 mengkritik Presiden Joko Widodo yang dianggap telah melakukan systematic campaign of repression against Islamists.
Saya menangkap inti argumen Fealy berpangkal pada prinsip kebebasan ala demokrasi liberal. Dengan argumen ala demokrasi liberal ini, Fealy memandang “sinis” atas tindakan pemerintah terhadap Hizbut Tahrir Indonesia [HTI]. (Lebih jauh baca bantahan saya atas nalar Fealy ini di buku Kontranarasi Melawan Khilafers).
Fealy dengan logika demokrasi yang dimiliki inilah memandang Indonesia. Jadi dia saklek alias rigid dalam memaknai demokrasi. Dia abai terhadap nilai penting demokrasi berupa kesiapannya untuk melebur dalam nilai, budaya dan tentu praktik agama yang dipegang oleh mayoritas masyarakat di suatu negara.
Sama dengan Fealy, Taqiyuddin an Nabhani juga demikian, saklek melihat demokrasi selalu ala demokrasi liberal. Bedanya dengan Fealy adalah akhirnya An Nabhani mengharamkan demokrasi secara total. An Nabhani melupakan nilai demokrasi saat berada di suatu negara bisa diolah sesuai nilai, budaya dan tentu praktik agama yang dipegang oleh mayoritas masyarakat itu.
Iseng-iseng apakah Fealy akan tetap konsisten melihat praktik atau sejarah politik di negara lain? Bagaimana dia melihat zionisme, bagaimana pula dia melihat Nazi atau Neo Nazi dan sebagainya.
Sekalipun saya tidak setuju dengan kacamata kuda demokrasi ala Fealy, saya memuji statemen Greg Fealy tentang berdirinya NU serta relasi antara KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah. Kata Greg Fealy, Kiai Wahab menyediakan konsep dan keterampilan berorganisasi, sedangkan Kiai Hasyim memberikan legitimasi keagamaan.
Jadi saya juga tidak selalu memandang Fealy dengan kacamata kuda selalu negatif kepadanya… tapi berdasar “logika waras”.
Editor: MZ