Postingan di Youtube yang beredar pada September ini menunjukkan bahwa ada Lembaga Bantuan Hukum yang mengatakan bahwa khilafah adalah ajaran Islam, dan Islam adalah agama resmi yang dilindungi negara. Kesimpulannya, siapa yang menyudutkan atau menentang khilafah, sama dengan melakukan penodaan agama dan bisa dijerat dengan UU Penodaan Agama.
Tentu ujaran sepihak di atas perlu ada kontranarasi; tidak dibiarkan mengudara di medsos. Selama eks-HTI maupun simpatisannya masih bebas berkeliaran, maka selama itu pula kita perlu melakukan kontranarasi. Karena buktinya beberapa tokoh ada yang terhanyut nalar HTI dan malah dimanfaatkannya. Kita perlu menjaga generasi milenial dan centennial, wabilkhusus generasi muda NU dari narasi yang “menghasut” atas nalar waras mereka.
Di buku saya Mematahkan Argumen Hizbut Tahrir terbitan Wahid Foundation (2019) tercantum bab “Khilafah ala Hizbut Tahrir Merupakan Ajaran Islam, dan ada di Kitab Kuning?” Di situ saya paparkan bagaimana “provokasi” ala HTI untuk “menyempitkan” wacana khilafah.
Untuk itu, saya melakukan brainstorming agar gen Y dan gen Z di Indonesia memahami bahwa khilāfah atau imāmah atau al-imāmah al-uzmā itu tidak tunggal dalam wacana. Pun demikian, sistem politik dalam khazanah pemikiran Islam juga tidak tunggal.
Konklusi mereka bahwa khilafah adalah ajaran Islam, dan Islam adalah agama resmi yang diakui NKRI, lalu sesiapa yang menentang khilafah sama dengan menentang Islam dan bisa dihukum. Konklusi ini bisa dipatahkan bila kita mau menelusuri jejak (sekali lagi jejak, tapi bukan jejak khilafah), yakni jejak perjalanan bangsa Indonesia.
Dalam majalah al-Wa’ie milik eks-HTI terbitan tahun 2010 ada judul tulisan “SM Kartosoewirjo: Pejuang Syariah yang Teguh”. Tulisan singkat itu mengapresiasi penuh apa yang dilakukan Kartosuwiryo.
Kalau Kartosuwiryo dianggap oleh simpatisan Hizbut Tahrir sebagai pejuang syariah yang teguh, namun bagi para ulama, Kartosuwiryo malah dianggap bughat, lalu diperangi oleh negara. Selanjutnya apakah para ulama ini menentang syariah dan menentang Islam?
Padahal jelas Kartosuwiryo dalam UUD buatannya yang berjumlah 34 pasal menyebut Indonesia sebagai Negara Islam Indonesia, dan NII menjamin berlakunya syariat Islam, serta dasar dan hukum yang berlaku di Indonesia adalah Islam, serta hukum tertinggi adalah Alquran dan hadis sahih (baca buku “Biografi Singkat SM. Kartosuwiryo”).
Tapi Kartosuwiryo tetap dilabeli bughat oleh para ulama.Tentu para ulama tidak sembarangan, pasti ada acuannya.
Dalam kitab fikih dasar (apalagi yang advanced) yang diajarkan di Madrasah Ibtidaiyyah di pesantren, semisal Fath al-Qarīb sudah dijelaskan bab bughat sebagai kelompok muslim yang membangkang terhadap imam yang adil. Rasa-rasanya dari 18 kutub mutabannāt (kitab otoritatif) milik Hizbut Tahrir yang menyinggung tentang politik semisal Ajhizat Dawlat al-Khilāfah, Nizām al-Hukm fī al-Islām, al-Dawlah al-Islāmīyah, hingga kitab tebal tentang UUD HTI yakni Muqaddimat al-Dustūr tidak menyinggung bughat.
Mungkin mereka takut dibughatkan karena menentang negara-negara yang eksis saat ini. Hanya satu kitab yang bukan mutabannat seperti kitab Nizām al-Uqūbāt yang menyinggung tentang bughat. Sekalipun demikian, “menarik” penjelasan dalam kitab Nizām al-Uqūbāt itu bahwa termasuk dalam katagori bughat bagi mereka yang membangkang khalifah yang adil maupun Khalifah yang zalim.
Perlu diketahui bughat itu pelakunya juga bisa sesama muslim. Lalu siapa ulama NKRI yang membughatkan mereka? Dalam buku Tambakberas: Menelisik Sejarah, Memetik Uswah, KH. Hasan berkisah bahwa suatu saat KH. Wahib Wahab memberikan kuliah fiqih siyāsah di pondok Tambakberas dan beliau menjelaskan pengalamannya dahulu bagaimana pemerintah Soekarno gamang memerangi DI/TII karena mereka sesama muslim. Namun dengan tegas KH. Wahib Wahab (putra KH. Wahab Chasbullah) bicara bahwa pelaku makar harus diperangi.
Masih di buku Tambakberas, salah seorang kiai bertobat dari DI/TII dan mengakui kebenaran pendapat KH. Wahab Chasbullah atas penentangannya terhadap DI/TII.
Tidak hanya DI/TII, tapi juga pemberontakan Masyumi dan Permesta juga ditolak ulama. Masih di buku Tambakberas, KH. Abdul Mun’im menjelaskan bahwa suatu saat KH. Idham Chalid dipanggil Kiai Wahab Chasbullah. Kiai Wahab berkata:
“Celaka Masyumi melakukan pemberontakan dan membentuk pemerintahan sendiri dengan cara kekerasan dengan memproklamirkan PRRI di Sumatera Barat.”
Wah, ini sudah jelas bughat, tidak bisa dibenarkan. Lalu, apa yang mesti kita lakukan Kiai? tanya KH. ldham Cholid. Kiai Wahab menjawab, ”Kita harus segera membuat pernyataan sikap, agar tidak didahului oleh kelompok Syuyuiyyūn (PKI). Karena PKI akan memanfaatkan peristiwa ini untuk menggebuk Masyumi dan umat Islam semuanya. Karena itu, kita mengeluarkan pernyataan sikap ini dengan dua tujuan. Pertama. agar PKI tahu bahwa tidak semua umat Islam setuju dengan pemberontakan PRRI. Kedua, agar dunia lnternasional jangan sampai menganggap bahwa pemerintah pusat sudah sepenuhnya dikuasai PKI, sebagaimana dipropagandakan Masyumi dan PSI untuk menggalang dukungan internasional.”
Maka dalam sejarah Indonesia saja gamblang bagaimana mereka yang menggendong-gendong Islam dalam politik bisa dibughatkan oleh para ulama, dan para ulama itu tidak dianggap menentang syariah Islam. Belum lagi kalau kita membaca sejarah politik dunia Islam. Malah begitu banyak darah tertumpah karena masalah bughat ini.
Pertanyaannya, kalau 99 persen rakyat Indonesia menentang khilafah ala Hizbut Tahrir, maka apakah akan dianggap menodai Islam dan akan dimasukkan penjara? Atau malah sebaliknya?
Hal yang pasti, eks-HTI telah menentang ajaran Islam berupa kesepakatan atas NKRI yang dibuat para pendiri bangsa termasuk para alim ulama. Kok bisa, mereka mau merubuhkan NKRI yang telah disepakati para pendiri bangsa dan ingin mengganti dengan khilafah ala Hizbut Tahrir. Sungguh sangat pongah.
Pernyataan terakhir, menentang suatu gagasan berbau Islam lalu dianggap menentang Islam, maka bisa dibayangkan kalau orang-orang seperti ini memegang kekuasaan politik dan memiliki kekuatan. [MZ]