Tidak berlebihan rasanya kalau menyebut orang-orang Madura sebagai bangsa pilihan. Mereka dibekali Tuhan dengan kecerdasan di atas rata-rata orang normal pada umumnya. Saking cerdasnya, bahkan mereka sering loh mengakali Tuhan dan malaikat dalam berbagai urusan. Salah satunya dalam urusan ibadah vertikal.
Ceritanya, akhir bulan tahun lalu, dalam sebuah kelas menulis yang diadakan di Malang, saya berkenalan dengan sesama peserta yang ternyata adalah orang Madura tulen. Karena ditempatkan dalam satu kamar, maka mau tidak mau kami pun terlibat banyak obrolan. Dari dinamika kampus masing-masing, dunia literasi, sampai bertukar cerita soal makanan khas dan keunikan daerah tempat kami berasal.
Sampai ketika tiba waktu salat asar, beberapa penghuni kamar beranjak dari kasur untuk menunaikan ibadah wajib tersebut, kecuali satu kawan Madura dan saya sendiri yang masih tinggal.
“Nggak salat sampeyan, Cak?” tanya kawan Madura saya.
“Hehehe, bentar lagi, Cak, masih mager,” jawab saya cengengesan.
“Wah jangan begitu, Cak, sampeyan ini masih punya kewajiban salat, beda kalau saya.” timpalnya yang membuat saya terhenyak bangun dari posisi tengkurap.
Dalam posisinya yang telentang tanpa kaos, saya mendapati dadanya kebak tato bermotif bunga-bunga dan kepala anjing. Aneh tidak sih? Biasanya orang kalau menato tubuhnya dengan motif binatang itu yang garang dikit lah, macan misalnya. Lah ini kok milih anjing.
“Sudah sana, Cak, salat dulu,” ucapnya lagi tanpa melihat ke arah saya.
“Mohon maaf, sampeyan non Islam ya, Cak?” tanya saya sedikit memoloskan diri. Mendengar pertanyaan saya, kawan Madura saya ini malah ngakak sejadi-jadinya. Seolah ada yang salah dengan cara saya bertanya.
“Sampeyan ini de’remmah (bagaimana) tho, Cak. Yang namanya orang Madura itu ya jelas Islam. NU garis tegak lurus beraturan,” kelakarnya masih belum menjawab penasaran saya atas kalimat “beda kalau saya”.
Akhirnya kawan Madura saya ini menceritakan hal yang bahkan tidak pernah terpikirkan di benak saya sama sekali. Dia menyebutnya sebagai trik mengakali Tuhan
Jadi alasan kenapa dia tidak salat yaitu karena kata beberapa kiai yang pernah dia temui, orang bertato itu salatnya tidak sah. Itulah kenapa dia memutuskan untuk menato penuh dadanya. Alasannya sederhana: ya biar terhindar dari kewajiban salat lima waktu!
“Kalau nanti pas dihisab amal sampeyan kurang gimana, Cak?” canda saya.
“Loh, gampang. Saya tinggal bilang sama Tuhan: salah sendiri ngasih bocoran ke pak kiai kalau yang bertato nggak sah salatnya. Ya tak manfaatin wae, tho, mumpung ada peluang.” Asem tenan, og.
“Kalau mau nyalahin, ya monggo kiainya disalahin hahaha,” tandasnya dibarengi dengan tawa lepas.
Obrolan kami pada akhirnya tidak cukup sampai di situ. Kawan Madura saya ini malah semakin antusias menceritakan trik-triknya dalam mengakali Tuhan. Seperti misalnya mengenai sebuah hadis yang menyebut bahwa rumah yang ada anjing atau patungnya, maka rumah tersebut tidak bakal dimasuki malaikat.
“Saya melihara anjing loh, Cak, di rumah. Ada tiga ekor” akunya. “Di pekarangan rumah juga ada beberapa patung.” Mendengar pengakuannya, saya sedikit mengernyitkan dahi. Dalam hati saya membatin, kok kontradiktif begini, ya? Tadi dia terang-terangan nyebut sebuah hadis tentang keengganan Malaikat memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan patung. Lah ini dia kok malah masang kedua-duanya di rumah.
“Begini, Cak. Sudah jelas kan malaikat nggak berkenan masuk ke rumah yang ada anjing atau patungnya. Itulah kenapa saya justru melihara anjing sama majang patung. Biar si Malaikat Izrail (pencabut nyawa) nggak berani masuk. Terus saya panjang umur, hahahaha.” Eh bener juga ya.
Beberapa saat kemudian, kawan Madura saya ini menunjukkan tato anjing di dadanya sambil melempar pertanyaan. “Sampeyan tahu maksudanya apa?”
Saya menggeleng karena memang tidak tahu. Dia menjelaskan, kalau malaikat menolak bertandang ke rumah yang beranjing, ya semoga itu berlaku juga dengan adanya unsur anjing di dirinya, biar Malaikat tidak menguntit. Termasuk malaikat yang bertugas mencatat amal baik dan laku buruk.
“Tapi, meskipun saya ini suka mengakali Tuhan dan malaikat, saya juga punya sisi baik.” Seolah tidak kehabisan stok ide, kawan Madura saya ini kembali bercerita.
“Saya ini suka meringankan beban malaikat pencatat amal loh, Cak.” Ha? Kok Bisa?
“Saya itu kalau habis beramal baik, pasti langsung tak tulis di Facebook. Habis puasa Sunnah, tulis. Habis sedekah, tulis. Habis bantu orang yang ban motornya bocor, tulis. Pokoknya kalau habis yang baik-baik pasti saya tulis,” paparnya dengan gestur tubuh sangat ekspresif. “ Kalian tahu apa alasannya? Biar Malaikat tidak usah repot-repot mencatat amal perbuatannya sehari-hari katanya. Kelak dia sendiri yang bakal menunjukkan catatan amalnya di Facebook kepada Tuhan. Nah, karena amal yang ditulis di Facebook baik semua, maka auto surga dah.
Begitulah orang Madura, cerdas, bernas, dan tentu, trengginas. Jangankan sesama manusia, Tuhan dan malaikat saja dikibuli.
Saya tidak bisa tidak untuk kagum dengan pola pikir kawan Madura saya ini. Saya juga menaruh curiga, barangkali kalau otaknya dibedah, saya optimis strukturnya bakal lebih menakjubkan ketimbang otaknya Rohit maupun Tony Stark. Coba saja. [AS, MZ]