Ijhal Thamaona Gusdurian Sulawesi Selatan

Cinta Sang Pembully

4 min read

sumber: minews.id

Saya tidak pernah bermimpi bahwa saya akan jatuh cinta dan menerima cinta justru di balik jeruji sel. Tidak ada bunga. Tidak ada lilin yang menemani suasana romantis di sebuah restoran. Dan tentu saja tidak ada taman.  Tidak seperti yang saya idam-idamkan ditembak cinta oleh seorang pria dalam suasana romantis.  Pria itu menyatakan cintanya dalam situasi sel yang pengap, remang, bau dan banyak nyamuk. Pernyataan cintanya pun disampaikan melalui secarik kertas kecil yang diloloskan melalui jeruji yang menyekat sel kami.  Karena dia pria dan saya wanita, sel kami berbeda, meskipun bertetangga. 

Hari itulah yang menjadi sebabnya, kami saling menyatakan cinta di balik jeruji sel di kantor polisi. Si Pria, yang kami juluki Sang Pemimpi itu tiba-tiba datang di rumah tempat tinggalku. Seperti julukannya, biasanya jika Sang Pemimpi datang, aa akan bercerita tentang mimpinya. Ingin mendirikan sekolah yang semua murid-muridnya orang miskin.

“Tidak ada yang membayar… semua gratis.” Kata sang pemimpi suatu hari.

“Ini betul-betul gratis dengan kualitas terjamin, tidak seperti janji-janji pemerintah yang bilang gratis, tapi masih harus bayar ini itu. Atau menggratiskan sekolah tertentu, tapi sekolahnya tidak ada apa-apanya dibanding sekolah-sekolah bonafid yang masuknya harus bayar uang berjuta-juta.”  

Tetapi seperti biasa. Kami yang mendengarkannya hanya menyorakinya.

“Mimpiii….!!!” Teriak kami ramai-ramai.

Di lain waktu ia datang lagi dengan mimpinya. Semua orang miskin itu ia ingin bantu asuransi kesehatannya.

“Mereka semua harus dilayani di rumah sakit dengan baik, seperti kalau orang-orang kaya yang datang berobat. Saya harus buat asuransi kesehatan untuk mereka, gratis dengan pelayanan yang baik”

“Uhhh….mimpi lagi.” Teriak kami ramai-ramai.

“Loh…bukannya yang kalian lihat dan dengar selama ini juga mimpi semua. Katanya semua orang miskin gratis dilayani kesehatannya, tetapi berapa banyak dari mereka yang ditolak rumah sakit jika datang berobat….mimpi…itu…mimpi.” Kata dia berapi-api.

Sejak saat itulah julukan Sang Pemimpi makin melekat pada dirinya.

Tetapi hari itu rupanya lain. Ia datang dengan sebuah rencana. Rencana yang gila bahkan biadab.

“Gila….” Begitu tanggapanku pertama kalinya ketika mendengar rencananya.

“Apanya yang gila. Kali ini saya tidak ingin bermimpi. Saya hanya ingin membuktikan bahwa negara ini sungguh-sungguh menangani para pembully. Serius memerangi orang-orang yang senang merundung orang lain.”

Baca Juga  Tafsir al-Baqarah Ayat 156: Hakikat Ungkapan 'Innalillah'

“Sudah pasti kita akan ditangkap.” Kataku. Sekaligus itu sinyal saya menolak rencananya.

“Belum tentu….”

“Belum tentu bagaimana? Kamu lihat beberapa video yang merundung orang lain, semua berakhir dengan ditangkap bukan?”  Saya semakin sengit menimpali.

“Tidak juga,” katanya singkat.

“Coba lihat, pejabat-pejabat yang ngomong di negeri antah berantah ini. Mereka itu kan sedang membully kemiskinan dan orang-orang miskin. Mereka bilang proyek-proyek yang mereka rapatkan di hotel mewah itu untuk orang miskin. Padahal setelah itu, mereka bangun mall-mall raksasa, jalan tol, hotel-hotel mewah. Bukankah itu membully orang-orang miskin? Dan lihatlah mereka, masih aman di kursi empuk mereka masing-masing bukan? Tidak ada yang tangkap.”

“Bukan itu maksudku.” Timpalku segera tak mau kalah.  Tetapi segera aku kembali tidak bisa melanjutkan kalimatku, karena Sang Pemimpi segera menimpali.

“Kalau kau ingin membuktikan bahwa pemerintah betul-betul serius menangani soal rundung-merundung  ini, ikut aku. Kita melakukan perundungan. Kalau kita ditangkap, berarti  pemerintah serius. Kau hanya bertugas memvideokan, biar yang lainnya saya yang membereskan”

Dan entah setan apa yang merasuki siang itu, setelah debat panjang dengan Sang Pemimpi, saya jadi setuju dengan rencananya.  Maka jadilah kami berdua akan menjalankan aksi perundungan. Targetnya adalah seorang nenek jompo,  penjual kudapan.

Terhadap objek perundungan itu, mula-mula saya juga protes. Soalnya nenek tersebut kami sudah sangat kenal. Ia nenek jompo yang hidup sendiri di gubuknya yang apek dan sumpek. Tak ada sanak, tak punya kadang.  Selama ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia berjualan berbagai macam penganan. Konon sudah lima belas tahun dia hidup sendiri dalam kubangan kemiskinan. Tak ada orang yang tahu persis kondisinya kecuali Si Pemimpi itu.

Selama ini hanya Sang Pemimpilah satu-satunya yang memperhatikan si nenek jompo itu.  Pernah dia bersurat ke pemerintah untuk melakukan pemugaran rumah si nenek. Pernah pula dia mengirim gambar-gambar dan profil si nenek ke salah satu TV yang punya acara bedah rumah.  Demi si nenek itu, ia bahkan pernah menggelar aksi untuk jaminan kesehatannya. Bersama dengan lima orang temannya yang lebih mirip suporter bola, ia menggelar aksinya di depan kantor Asuransi Kesehatan. Tidak ada yang peduli. Mereka hanya dianggap pemuda gila kurang kerjaan. Beberapa yang terlihat simpati memberikan receh dengan pesan agar recehnya itu disumbangkan ke si nenek. Tetapi receh yang terkumpul itu bahkan tidak cukup untuk membeli seluruh penganan yang biasa dijual si nenek.

Baca Juga  Jejak Islam Di Tanah Sang Bumi Ruwai Jurai Lampung

“Kenapa harus nenek itu?” Protesku sengit.

“Kalau yang lain, mungkin akan melawan, repot kita jadinya.” Jawabnya tenang.

Dan peristiwa perundungan itu pun terjadilah. Saya memvideokan, Sang Pemimpi menjalankan aksinya. Seperti dugaanku video yang saya unggah ke media sosial segera viral. Tetapi pada saat itu sirnalah julukan Sang Pemimpi. Kini ia berubah menjadi Sang Pembully. Tidak hanya itu, beribu caci maki dan ucapan-ucapan kasar pun  dilontarkan padanya. Beberapa anak muda mendatangi tempat kosnya, mengajaknya duel.  Sang Pemimpi yang telah berubah namanya menjadi Sang Pembully itu dianggap banci. Hanya berani merundung nenek renta. Untungnya polisi datang. Kalau tidak, bisa remuk redam Sang Pembully itu dihajar sekelompok anak muda itu.

Setelah Sang Pembully ditangkap polisi, saya pun kena getahnya, ikut diciduk ke kantor polisi.  Sel kami bersebelahan. Pembatasnya jeruji besi. Saya dan Sang Pembully itu bisa saling melihat bahkan berkomunikasi. Tapi saya tidak bicara apa-apa kepada Sang Pembully ini. Saya betul-betul geram pada Sang Pembully ini, sekaligus geram pada diri saya sendiri. Mengapa saya akhirnya ikut-ikutan aksi konyol dan biadab ini.  Hanya untuk membuktikan apakah pemerintah serius menangani soal rundung-merundung ini, saya mau ikut-ikutan melakukan aksi tidak terpuji. Tetapi bagaimanapun, dialah, yang kini berjuluk Sang Pembully itu, pangkal sebabnya

Setiap dia memandangku dengan parasnya yang kini tampak menyebalkan itu, saya terang-terangan menunjukkan kemarahan. Saya memang tidak menyumpahinya. Tidak ada teriakan sumpah serapah dari mulut saya. Tetapi sikap diam dan kecamuk sengkarut di wajah saya jelas menunjukkan saya betul-betul marah kepadanya.  Sikap saya itu kelihatan membuatnya menyesal. Setiap mata saya menyerobot pandangannya, ia langsung menjatuhkan matanya ke lantai. Sang Pembully itu tak berani. Bahkan nyaris tak bisa berucap apa-apa.

Baca Juga  Dimash Kudaibergen: Promoting Humanity and Religious Values without Religious Attributes in the Showbiz World

Hingga tibalah hari itu. Seorang petugas datang kepada kami.

“Kalian ini betul-betul sial…, bikin aksi tak pantas. Tetapi nenek itu berterima kasih pada kalian. Katanya gara-gara aksi perundungan kalian yang viral itu,  kini si nenek banyak mendapat perhatian.   Rumahnya telah dipugar. Ia dapat hadiah uang. Dibuatkan lapak oleh bupati untuk menjajakan penganannya.  Asuransi kesehatannya kini ditanggung negara.”  Panjang lebar petugas itu bicara.

Saya melihat Sang Pembully hanya tertunduk mendengarnya. Tetapi lamat-lamat, di parasnya saya meliat setitik kebahagiaan. Di bibirnya ada senyuman yang tersamar. Itulah pertama kalinya saya melihat, wajahnya terlihat bahagia. Dan tiba-tiba saja….pikiran itu menyergap batok kepala saya.

Ya…Tuhan dia melakukan ini bukan semata karena ingin membuktikan pemerintah serius menangani pembully….tetapi….??

“Maafkan saya…..” Kataku nyaris tak terdengar, ketika petugas itu sudah beranjak meninggalkan kami.  Tetapi kata-kata saya yang lirih itu sontak membuatnya menoleh. Ia memandang saya.

“Saya yang harus minta maaf karena telah melibatkanmu dalam aksi yang gila ini.” Kata Sang Pembully.

“Tetapi saya sudah jelaskan kepada petugas. Kau saya paksa ikut aksi ini, bahkan saya ancam. Besok kau akan dibebaskan.”   Sang Pembully melanjutkan ucapannya.

“Tidak-tidak….! Saya harus ikut bertanggung jawab atas aksi kita ini.”

“Putri…” Timpal Sang Pembully, kali ini ia menyebut nama saya. “Kali ini dengarlah kata-kataku, kau harus keluar temui si nenek, minta maaf padanya!”

Dan begitulah. Setelah cerita petugas sel itu tentang nenek renta yang kini telah mendapat banyak perhatian, sikap saya kembali hangat pada Sang Pembully ini. Malam itu, saya terakhir menghuni sel ini. Saya dianggap tak bersalah karena hanya dipaksa ikut oleh si Pembully. Malam itu pulalah saya mendapat secarik kertas dan pulpen dari Sang Pembully. Tentang kertas dan polpen itu saya tidak tahu dan tidak peduli dari mana ia dapatkan, tetapi isinyalah yang membuat saya berdebar. Sang Pembully menyatakan cintanya dalam kalimat yang pendek. Pernyataan cinta dalam sel yang pengap, gelap dan bau. Tetapi tiba-tiba saja saya merasakan sel itu seperti taman bunga yang indah. []

Ijhal Thamaona Gusdurian Sulawesi Selatan

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *