Abid Rohmanu Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana IAIN Ponorogo

Tips Puasa Sehat saat Pandemi

3 min read

Foto: https://www.alalamtv.net

Puasa tahun ini dilakukan di tengah pandemi global Covid-19. Pada suasana wabah ini, isu kesehatan tentu santer dalam wacana publik. Maklum, ada tuntutan untuk mengontrol dan minimalisasi penyebaran wabah terkait dengan pola hidup sehat masyarakat dalam pengertian luas: kebersihan, sterilisasi, pola makan dan pola hidup hidup sehat.  Dua yang terakhir dikaitkan dengan persoalan imunitas yang sangat dibutuhkan.

“Puasa menyehatkan!”, pernyataan ini terkesan normative. Tetapi, ada baiknya kita merenung dan benar-benar memikirkan pernyataan tersebut terutama saat penyakit Covid-19 yang belum juga membaik.

Puasa: antara Kesehatan Jasmani dan Rohani

Puasa seolah mentradisi dan menjadi bagian dari peradaban besar dunia. Ia dilakukan dengan syariat dan caranya masing-masing, dengan tujuan kesehatan fisik dan mental. Penganut Kristen banyak yang menjalankan puasa pada hari Jumat Agung. Umat Yahudi berpuasa pada Yom Kippur. Adapunbangsa Romawi Kuno mempunyai tradisi membatasi makanan ringan Pagi dan siang hari, sedangkan makan besar hanya dilakukan pada sore hari.

Dalam sejarahnya, tradisi puasa tidak semata untuk kesehatan rohani tetapi juga kesehatan jasmani. Dalam konteks Islam, Tegas sebuah hadis populer berbunyi:

صوموا تصحوا

“Berpuasalah kamu, maka kamu akan menjadi sehat”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibn Sunni dan al-Thabarani. Kualitas hadis ini diperselisihkan, sebagian mengatakan status hadis ini hasan, sementara sebagian lain menilai lemah. Walaupun begitu, karena hadis ini tidak berkaitan secara langsung dengan aspek hukum (tapi berkaitan dengan fadhāil al-a’māl) beberapa ulama masih menggunakan hadis ini sebagai dalil kemanfaatan puasa dari sisi kesehatan. Izzuddin b. Abdussalam (w. 1262 M) dalam kitabnya Maqāshid al-Shiyām mengutip hadis di atas ketika memaparkan keutamaan puasa. Menurutnya di antara manfaat puasa adalah jernihnya pikiran dan sehatnya tubuh. Hadis ini seharusnya ditempatkan sebagai bagian al-I’jāz al-‘ilmī dari syariat puasa.

Baca Juga  Corona di Lapak Penjual Sayur

Masih menurut Abdussalam, setiap taklīf (pembebanan hukum) kembali pada kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Bahkan ahli maqasid Ibnu Asyur (w. 1973 M) menyatakan bahwa dalam banyak kasus, kemaslahatan di akhirat pada dasarnya adalah konsekuensi/akibat dari kemaslahatan manusia di dunia. Ini sekadar untuk menunjukkan konsen syariat bagi kemaslahatan.

Dalam konteks puasa, Tuhan hakikatnya tidak membutuhkan ketaatan puasa hamba-Nya, manusia lah yang membutuhkannya untuk kemaslahatan kehidupannya. Kemaslahatan tersebut idealnya dilihat pertama kali pada jangkauan kemaslahatan yang bersifat duniawi. Kemaslahatan yang dimaksud adalah manfaat kesehatan, dan tentunya pembentukan mental, karakter, dan etos bagi kesuksesan hidup dunia. Semuanya ini menjadi cermin bagaimana kehidupan seseorang besok di akhirat. Ini sebagaimana puasa menjadi kawah candradimuka pendidikan Tuhan kepada manusia di dunia ini.

Persoalannya, mindset dan literatur keislaman umumnya melihat syariat dari perspektif keakhiratan dulu alih-alih perspektif kedisinian dan kekinian, termasuk puasa. Kecenderungan ini justru sering kali kontraproduktif bagi kemaslahatan manusia. Banyak contoh dalam hal ini. Betapa banyak yang lebih mengejar aksesoris puasa ketimbang substansinya. Orang memaksakan berkerumun untuk berjemaah tarawih di saat pandemi Covid-19 yang justru berseberangan dengan pesan kesehatan puasa. Ini tentu mengecualikan zona yang dinilai aman dan kesiapan protokol kesehatan yang memadahi. Padahal dengan metode sadd al-dzarī’ah (menutup pintu dari potensi bahaya) salat tarawih bisa dilakukan berjemaah dengan keluarga inti di rumah tanpa mengurangi keutamaannya.

Kesaksian Medis tentang Manfaat Puasa

Tahun 2013 pernah dilakukan riset medis terhadap 30 kaum muda (laki dan perempuan) yang sehat. Riset ingin melihat bagaimana puasa mengubah respons biologis mereka selain pengurangan berat badan. Hasil riset menyatakan puasa menurunkan kadar gula dalam darah. Pada responden perempuan ditemukan kadar kolesterol baik meningkat secara intensif. Pada responden laki-laki terjadi penurunan signifikan berat badan, kolesterol total, dan trigliserida (Kompas, 24 April 2020).

Baca Juga  Sukut dalam Menyikapi Perbedaan di antara Kiai

Paparan di atas adalah sebagian saja dari kesaksian riset medis. Banyak dokter menyampaikan manfaat kesehatan puasa yang tidak bisa disampaikan di sini. Lebih jauh, puasa dapat meningkatkan imunitas seseorang. Cut Hafifah menegaskan bahwa puasa bisa memperbaiki imun seseorang. Puasa dapat memperbaiki jaringan-jaringan sel yang rusak serta massa lemak. Karenanya, dalam situasi tidak ada halangan puasa, ibadah ini bernilai wajib yang keberadaannya tidak dipengaruhi oleh wabah korona yang menuntut imunitas. Justru dengan puasa diharapkan bisa mengurangi tingkat penyebaran virus ini.

Poinnya adalah ilmu pengetahuan telah memberikan peneguhan aspek normatif manfaat kesehatan puasa. Hanya, aspek normatif ini tentu tidak bisa ditelan mentah-mentah. Apa pasalnya? Lagi-lagi norma agama perlu didialogkan dengan ilmu pengetahuan (medis). Manfaat kesehatan puasa tidak diperoleh jika seseorang tidak mengatur pola makan dan pola hidup kala berpuasa, seikhlas apapun dia dalam berpuasa.

Puasa balas dendam dalam bentuk pengalihan waktu makan dari siang hari ke malam hari (makan berlebihan) tanpa memilah dan memilih apa yang dimakan tentu akan membahayakan kesehatan pelakunya. Bukankah sumber penyakit justru ada di makanan dan minuman?

Oleh karena itu, berikut beberapa tips dari beberapa ahli untuk meraih kesehatan ketika berpuasa:

Pertama, melakukan sahur dan menyegerakan berbuka dengan makan yang memenuhi gizi berimbang tanpa harus mahal.  Asupan karbohidrat, protein, dan lemak sehat yang dibutuhkan tubuh dicukupi, utamanya ketika sahur.

Kedua, menjaga kebutuhan air sehingga tubuh tidak mengalami dehidrasi.

Ketiga, aktivitas fisik tetap diperlukan untuk kelancaran peredaran darah. Yang utama adalah bagaimana aktivitas fisik dikontrol sehingga tidak terjadi kelelahan. Karena itu, hadis tentang  tidurnya orang berpuasa adalah ibadah tidak boleh menjadi pembenar kemalasan yang membahayakan kesehatan.

Baca Juga  Menerapkan Islam Rahmatan Lil-‘Alamin dalam Keseharian

Keempat, menghindari stres dengan beragam cara, antara lain dengan melakukan aktivitas positif tertentu. Ini sekaligus cara menghindar dari kebosanan di tengah suasana karantina diri karena wabah.

Kelima, membangun sikap, mentalitas dan pikiran positif. Ini bisa dilakukan dengan mengikuti kajian keagamaan online agar tidak larut dengan gosip-gosip yang beredar di media sosial yang mengganggu mentalitas.

Tips di atas menjadi prasyarat janji hadis “Berpuasa lah niscaya engkau akan sehat“. Pada tataran makro, segenap paparan di atas juga bisa menunjukkan bagaimana pentingnya agama bergandengan dengan ilmu pengetahuan. Alfred North Whitehead pernah mengatakan bahwa agama dan ilmu pengetahuan adalah dua hal penting dalam kehidupan. Masa depan dunia menurutnya akan dipengaruhi oleh bagaimana penduduk dunia merelasikan keduanya (Sudarminta, 1991), apakah keduanya terpisah, bertentangan, atau terintegrasi secara apik. [HM, MZ]

Abid Rohmanu Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana IAIN Ponorogo

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *