Indonesia Krisis Politisi Muda Idealis
Pada pemilu anggota legistlatif 2019 lalu yang dibumbui oleh drama ditambah sandiwara saat kampanye telah telah menghasilkan 575 orang jawara di daerah pemilihan masing-masing. Dengan kata lain “karpet merah” plus kursi empuk Senayan telah siap menyambut para jawara-jawara ini.
Diantara 575 orang tersebut terdapat 25 orang yang masih berusia dibawah 30 tahun telah dilantik pada bulan Oktober. Gerindra, PAN, Demokrat, Golkar hingga Nasdem berhasil mengirim politisi-politisi muda ke Senayan, Namun Golkar menjadi Parpol yang paling banyak mengirim kafilah muda-mudi tersebut sebanyak 10 orang.
Dari sini kita dapat melihat bahwa politisi muda dibawah 30 tahun untuk ngantor di Senayan memiliki peluang yang cukup terbuka, karena dalil konstitusi memberi kesempatan tersebut. Sehingga penonton dapat disuguhi “pemeran” baru di Senayan dan berharap membawa ide-ide baru dan berani bersuara lantang di meja-meja rapat, mempertahankan argumen dan menyampaikan aspirasi rakyat. Karena sebenarnya rakyat sudah bosan melihat “pemeran” tua yang banyak mengisi ruang-ruang rapat dan pos-pos penting di DPR RI.
Nah, pertanyaannya mampukah politisi muda ini menjadi politisi seperti pepatah tong berisi nyaring bunyinya?
Dalam sebuah tulisan di Kompas, 2 Juni 2009, yang sekarang sudah menjadi salah satu tulisan dalam buku Merawat Tenun Kebangsaan:Refleksi Ihwal Kepemimpinan, Demokrasi dan Pendidikan. Anies Baswedan mengatakan bahwa secara umum kemunculan tokoh-tokoh muda partai politik yang otomatis menjadi politisi partai tersebut terbagi menjadi dua jalur, yakni jalur aristokratis dan jalur aktivis.
Pertama, jalur aristokratis yakni generasi baru politisi yang berasal dari keturunan dan keluarga yang pernah menjadi “orang dalam” Parpol tersebut. Lebih jauh lagi, politisi muda tersebut keturunan pejabat atau mantan pejabat daerah pemilihannya, sehingga bisa nyambi memakai nama-nama keturunannya dalam berkampanye.
Walhasil tak jarang jalur aristokratis berimplikasi munculnya bibit-bibit dinasti politik dikemudian hari. Yang paling merugikan adalah macetnya regenerasi politisi baru. Kedua, jalur aktivis. Jalur ini merupakan regenerasi politisi yang berbasis aktivisme politiknya. Untuk mengekspresikan semangat aktivisme politiknya kemudian memilih jalan untuk memasuki partai politik.
Kedua, jalur tersebut harus bisa menciptakan aksioma baru dalam politik Indonesia agar demokrasi tidak berubah menjadi meritokrasi apalagi mobokrasi. Kedua jalur itu, harus bisa menjadi jalur untuk melahirkan politisi muda yang mumpuni dan berintegritas. Sebagai percikan mata air perubahan yang banyak dimulai dari pemuda. Kalaupun bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi.
Sejauh ini, kelihatannya jalur pertamalah yang banyak mendominasi dan melahirkan elit politik baru di Indonesia. Praktik semacam ini tentu saja berimplikasi pada pembentukan dan penguatan oligarki politik yang terpusat pada sebagian elit. Hal demikian menjadi tentangan berat bagi demokrasi Indonesia yang sedang berjuang memantaskan diri ini.
Kebalikannya, jalur aktivis yang melahirkan elit politik Indonesia, dewasa ini semakin melempem dan jarang terdengar. Saya ambil contoh Himpunan Mahasiswa Islam, sepeninggal Anas Urbaningrum, anak politik HMI ini seakan hilang, mantan pengurus PB HMI lainnya pun yang bergabung dengan partai politik, kiprahnya pun jarang terdengar.
Politisi Muda Beridealis
Buya Syafi’i Ma’arif dalam tulisannya berjudul Dicari: Politisi Muda-Cerdas Beriman dan Berwawasan Kebangsaan dalam bukunya Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman, mengutip biografi Roeslan Abdulghani, generasi Soekarno dan Hatta asyik mengembara dalam dunia Sokrates, Plato, Marx, Revere, dan banyak yang lain. Pikiran mereka dibanjiri oleh mimpi-mimpi literatur Shakespeare, komposisi Mozart dan membayangkan sebuah dunia utopia.
Ganerasi baru punya mimpi-mimpi yang lain, mengendarai Lamborghini, ditemani oleh lagu-lagu Michael Jackson dan semangatnya marak dengan ekstasi. Sekalipun kita tidak boleh membuat generalisasi antara dua generasi, sebagian generasi baru, memang telah kehilangan idealisme, termasuk sebagian besar para politisi yang baru muncul.
Dalam dunia politik memang tidak ada kawan ataupun lawan, yang ada adalah kepentingan satu sama lain. Sehingga penulis merasa skeptis terhadap politisi muda yang baru saja mencicipi kursi DPR RI akan bersifat pragmatis mengikuti watak anggota-anggota DPR pendahulunya, apalagi yang tersandung kasus dan pelanggaran.
Idealisme dan nawaitu yang baik pada saat kampanye untuk menyampaikan aspirasi rakyat harus tetap menjadi landasan dalam bekerja. Politisi muda diharapkan memiliki kemampuan beradaptasi dalam situasi dan kondisi gedung parlemen harus dilakukan oleh politisi muda tersebut, agar tidak kagetan dalam bekerja dan memahami realitas sebagai wakil rakyat. Parpol juga harus ambil bagian dalam proses pendidikan politik maupun pelatihan terhadap anggota DPR terpilih, sehingga wakil yang dikirim ke Senayan memiliki kapasitas dan kualitas bagus.
Tesis di atas bisa kita uji dengan problem pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR RI yang akhirnya menjadi kontroversi. Seakan tak terlihat, entah pada kemana para politisi muda yang duduk di DPR RI itu. Pada saat suara pemuda yang kebanyakan mahasiswa dibantu oleh anak STM bergerilya di jalanan berdemonstrasi menolak UU tersebut. Apakah mereka tak mendengar suara gerutuan dari kalangan angkatan muda seusia mereka; atau mereka sudah menjadi tua mengikuti pendahulunya itu? Patut untuk dipertanyakan.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya akan mengutip ungkapan Tan Malaka yang cukup terkenal dikalangan pemuda “idealisme ialah kemenangan terakhir yang dimiliki oleh pemuda”. Ungkapan itu sedikit bisa menjadi pegangan politisi muda di Senayan. [AA]