Aisyah Ramadhani Anshory Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya

Al-Hallaj: Tokoh Sufi yang Filosofis

2 min read

Perlu diketahui dalam konteks agama Islam, terdapat berbagai cabang ilmu yang beragam. Tak sedikit dari ilmu tersebut menjadi referensi untuk beberapa bangsa Eropa sehingga mereka dapat maju seperti sekarang ini.

Salah satu ilmu itu seperti ilmu mengenai kerohanian yang biasa kita sebut dengan tasawuf atau ilmu ketuhanan, yakni ilmu yang lebih menekankan tentang akhirat daripada dunia serta salah satu ilmu yang lebih mengutamakan aspek spiritual.

Seiring berkembangnya Islam dari zaman ke zaman, kini ilmu tasawuf telah terbagi menjadi berbagai macam cabang yang berkolaborasi dengan beberapa ilmu alam lainnya, salah satunya ialah perpaduan dengan ilmu filsafat yang biasa disebut dengan tasawuf falsafi. Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.

Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep tasawuf yang memadukan ajaran mengenai ketuhanan dengan pendekatan-pendekatan filsafat, atau bisa juga dikatakan tasawuf yang kaya akan pola-pola pemikiran Filsafat.

Meski begitu, tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat dikarenakan masih mengandung unsur-unsur ketasawufan dalam ajarannya, dan tidak dapat pula disebut sebagai tasawuf murni sebab lebih sering diutarakan menggunakan bahasa filsafat atau dengan pemikiran filsafat.

Banyak tokoh yang terblibat dalam pembentukan maupun penyebarannya dalam dunia Islam. Namun, kali ini kita akan membahas salah satu tokoh tasawuf falsafi yang sangat kontroversial pada masanya, yakni al-Hallaj.

Tokoh pelopor tasawuf semi-falsafi, Abu al-Mughits al-Husain Bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi atau biasa disebut dengan al-Hallaj, tokoh yang sangat legendaris pada abad ke-3. Ia lahir pada tahun 244 H/ 858 M di Thur, salah satu desa sebelah Timur Laut Baidha’ di Persia.

Baca Juga  Mengenal Tiga sahabat Nabi Muhammad

Pada usianya yang menginjak 16 tahun, ia mengawali pencarian ilmu dengan berguru kepada salah seorang sufi, yakni Sahl ibn Abdullah al-Tustari di negeri Ahwaz. Tak berhenti disitu, ia pun melanjutkan perjalanan ke Basrah untuk berguru kepada sufi ‘Amr al-Makki.

Al-Hallaj yang begitu haus dengan keilmuan, pergi ke berbagai belahan dunia, seperti Cina, Asia Tenggara, dan Turki. Ia terus melanjutkan perjalanan keilmuannya hingga menuju Baghdad untuk berguru pada sang sufi agung, yakni Junayd al-Baghdadi.

Junayd adalah sufi pendiri aliran tasawuf Sunni. Tasawuf itu menggunakan Al-Qur’an dan hadis sebagai pedomannya. Meski di masa kemudian banyak yang berpendapat bahwa guru dan murid ini akan saling berseteru dengan sebab al-Hallaj melontarkan kalimat “ana al-Haqq” dan mereka tetap teguh dengan kepercayaan masing-masing hingga akhir hayat.

Dalam sejarah, akhir hidup al-Hallaj mendapat hukuman mati. Ia disalib dan beberapa bagian tubuhnya dipisahkan satu per satu. Namun, penyebab pasti mengapa beliau dihukum mati masih menjadi perdebatan karena banyak yang memiliki pandangan bahwa al-Hallaj itu terfitnah ketika ada salah seorang pemimpin yang takut akan terancam takhta politiknya apabila al-Hallaj tetap dibiarkan hidup.

Namun, ada juga yang berpendapat bahwa dihukumnya al-Hallaj karena ia menganut salah satu ajaran Syiah yang sangat diwaspadai pada masa itu, sedangkan banyak pula yang mengetahui bahwa al-Hallaj begitu mencintai ahlulbait.

Al-Hallaj memiliki beberapa karya, tetapi semua kitab beliau hanya tinggal catatan, dikarenakan ketika eksekusi hukuman mati dilakukan, semua kitab karya al-Hallaj ikut dimusnahkan, kecuali sebuah kitab yang disimpan oleh pendukungnya yang bernama Ibn Atha’ dengan judul  al-Thawasin. Dari situ kita dapat mengetahui pola pemikiran tasawuf falsafi al-Hallaj.

Baca Juga  Mengenal Ki Ageng Suryomentaram, Filsuf Tanah Jawa

Pemikiran al-Hallaj

Pertama, hulul artinya Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yakni manusia yang telah melebur bersama keyakinannya atas Tuhan. Al-Hallaj mengatakan dalam diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan).

Tuhan pun, menurut al-Hallaj juga sama, mempunyai sifat kemanusiaan di samping sifat ketuhanan. Dengan dasar inilah maka persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi. Persatuan inilah, dalam ajaran al-Hallaj, disebut al-hulul (mengambil tempat).

Hulul dibagi menjadi dua, yang pertama ialah hulul al-jawari yang berarti esensi satu dapat mengambil tempat pada yang lain, diilustrasikan dengan air yang berada di dalam gelas. Yang kedua adalah hulul al-sayarani berarti esensi keduanya menyatu, diilustrasikan seperti menyiram bunga dengan air, maka air akan menyerap atau menyatu dengan bunga.

Kedua, nur Muhammad, bahwa alam semesta ini hanyalah manifestasi dari wujud Tuhan itu sendiri. Sedangkan, pemikiran al-Hallaj yang ketiga ialah kesamaan semua agama, yang mana baginya semua agama adalah satu, yang bersumber dari Tuhan itu sendiri. [AR]

Aisyah Ramadhani Anshory Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya