Imron Rosidi Alumnus Universitas Leiden (MA) dan University Brunei Darussalam (PhD); Dosen Tetap Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau

Pentingkah Beragama secara Moderat?

3 min read

toleransi

Pluralitas keyakinan terhadap Tuhan dalam bentuk agama telah menjadi ciri khas dari masyarakat manusia sejak zaman kuno hingga saat ini. Dari lembah-lembah sungai di Mesopotamia hingga pusat-pusat perkembangan kebudayaan di Tiongkok kuno, keberagaman agama telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia. Bahkan dalam konteks zaman modern, fenomena ini tetap relevan dan menarik perhatian, menggambarkan kekayaan budaya dan spiritualitas umat manusia.

Keanekaragaman agama mencerminkan kompleksitas pengalaman manusia dan warisan budaya yang terbentuk dari interaksi sosial, geografis, dan sejarah. Dari animisme hingga agama-agama dunia besar seperti Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha, setiap agama membawa pandangan unik tentang dunia, alam semesta, dan tempat manusia di dalamnya. Bahkan di dalam agama-agama tersebut, terdapat variasi keyakinan, praktik, dan tradisi yang memperkaya pengalaman spiritual individu dan komunitas.

Di tengah kemajuan teknologi dan globalisasi, masyarakat kita semakin terhubung secara global, memperlihatkan keberagaman agama yang semakin kaya dan kompleks. Kemunculan media sosial telah mewariskan adaptasi agama dalam bentuknya yang rumit dan kompleks.

Agama di media sosial telah menawarkan perdebatan yang positif di satu sisi dan negatif di sisi lain. Kemunculan media sosial telah memberikan dimensi baru dalam adaptasi agama, yang pada gilirannya membawa dampak yang rumit dan kompleks. Agama, sebagai aspek penting dari kehidupan manusia, sekarang ditemukan dalam berbagai bentuk dan ekspresi di platform-platform digital. Namun, kehadiran agama di media sosial tidak hanya memberikan perdebatan yang positif, tetapi juga menimbulkan dampak negatif.

Di satu sisi, agama di media sosial telah mendorong perdebatan yang positif. Platform-platform digital seperti Twitter, Facebook, dan Instagram memberikan ruang bagi orang-orang dari latar belakang yang berbeda untuk berbagi pemikiran, pengalaman, dan pandangan mereka tentang agama.

Baca Juga  Pentingnya Retorika dalam Kehidupan Beragama

Diskusi tersebut dapat memperluas wawasan, mempromosikan toleransi, dan memperdalam pemahaman tentang keberagaman agama di seluruh dunia. Selain itu, media sosial juga memungkinkan individu untuk menemukan komunitas yang sejalan dengan keyakinan mereka, memberikan dukungan sosial dan spiritual dalam lingkungan yang sering kali terasa terisolasi.

Di sisi lain, kehadiran agama di media sosial juga membawa dampak negatif. Misinformasi dan penyebaran pandangan ekstrem sering kali dapat dengan mudah menyebar, terutama di platform-platform yang kurang diawasi. Hal ini dapat memicu  polarisasi dan konflik antar kelompok, serta memperkuat pemisahan dan ketidakpahaman antara individu dari berbagai latar belakang agama. Selain itu, penyalahgunaan agama untuk tujuan politik atau komersial sering kali terjadi, mengaburkan garis antara kepentingan spiritual dan dunia sekuler.

Dalam menghadapi dinamika adaptasi agama di media sosial, tantangan-tantangan yang dihadapi tidak dapat diabaikan. Pengguna media sosial seharusnya mempertimbangkan kebenaran dan keakuratan informasi yang mereka temui. Mereka sebaiknya mengembangkan keterampilan kritis dalam menilai konten agama yang mereka konsumsi. Selain itu, platform-platform media sosial juga memiliki tanggung jawab untuk memoderasi konten yang merusak, mendorong diskusi yang sehat, dan mempromosikan toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan.

Semua warga yang beragama memiliki peran penting dalam menyebarkan pemahaman beragama di tengah-tengah. Kewajiban ini tidak hanya bagi komunitas beragama tertentu seperti Islam, namun semua komunitas beragama lain memiliki kewajiban yang sama. Semua agama, pada intinya, mengajarkan nilai-nilai universal seperti toleransi, kasih sayang, dan perdamaian.

Oleh karena itu, semua warga yang beragama memiliki tanggung jawab untuk mendorong toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan di antara individu dari berbagai keyakinan. Dengan mempromosikan pemahaman yang mendalam tentang agama-agama lain dan berkomunikasi dengan saling menghormati, kita dapat membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis.

Baca Juga  Belajar dari Viralnya Kehamilan Tak Direncanakan dan Pernikahan Usia Anak Di Ponorogo

Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk mempraktikkan agamanya dengan penuh penghayatan dan kesadaran. Hal ini berarti tidak hanya menjalankan ritus dan ibadah, tetapi juga menghayati nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan oleh agamanya. Dengan memperlihatkan teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari, semua warga beragama dapat menjadi inspirasi bagi orang lain untuk menemukan makna dan tujuan dalam keyakinan mereka.

Semua agama pada dasarnya mengajarkan pesan damai, keadilan, dan persaudaraan. Semua warga beragama memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan pesan-pesan ini ke dalam masyarakat, baik melalui kata-kata maupun tindakan. Dengan berpartisipasi dalam kegiatan sosial, advokasi, dan pelayanan masyarakat, kita dapat memperkuat nilai-nilai agama dalam upaya untuk membangun dunia yang lebih baik bagi semua. Hal ini menandai pentingnya kebijakan moderasi beragama yang berarti beragama di tengah-tengah.

Selama ini, kebijakan moderasi beragama di Indonesia lebih intensif diarahkan kepada komunitas Islam. Hal ini penting karena mayoritas umat beragama di Indonesia adalah Islam. Pendekatan moderasi beragama dalam komunitas Islam merupakan upaya untuk mempromosikan interpretasi agama Islam yang inklusif, toleran, dan sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Kita memahami bahwa umat Islam pada dasarnya memiliki beragam pandangan yang bisa dipilah dalam dua kelompok besar, ekstremis (terlalu ke kanan) dan liberal (terlalu ke kiri). Pandangan ini memicu pentingnya moderasi beragama dalam masyarakat Islam.  Polarisasi antara ekstremis dan liberal dalam masyarakat Islam dapat menghasilkan konflik internal yang merugikan dan memecah belah komunitas.

Ekstremisme cenderung menghasilkan sikap intoleran dan kekerasan, sementara liberalisme mungkin menimbulkan ketidakstabilan sosial dan kebingungan identitas. Dalam mengatasi polaritas ini, moderasi beragama menjadi penting untuk membawa keseimbangan antara kedua ekstrim tersebut.

Baca Juga  Gagasan 'Muslim Progresif’ Omid Safi: Antara Tasawuf dan Humanisme

Moderasi beragama memungkinkan umat Islam untuk memupuk pemahaman yang menyeluruh tentang ajaran agama mereka, serta konteks sosial dan politik di sekitarnya. Hal ini melibatkan keterbukaan terhadap berbagai interpretasi dan pandangan, serta kemampuan untuk membedakan antara nilai-nilai esensial agama dan budaya atau tradisi yang bersifat temporal. Dengan demikian, moderasi beragama membantu masyarakat Islam menjauhkan diri dari pandangan yang ekstrem dan mempromosikan inklusivitas, toleransi, dan kerukunan.

Moderasi beragama juga mendorong pembangunan dialog yang konstruktif dan keterbukaan terhadap perbedaan pendapat. Hal ini menciptakan ruang untuk berdiskusi, bertukar ide, dan mencari titik tengah yang memadai antara beragam pandangan dalam masyarakat Islam. Melalui dialog, umat Islam dapat mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas isu-isu agama dan sosial, serta merumuskan solusi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Yang paling krusial adalah ketika mengarahkan kebijakan moderasi beragama, pemerintah perlu memastikan keseimbangan antara pemberian hak-hak mayoritas dan minoritas agama. Meskipun Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, kita seharusnya memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak mengorbankan pembangunan masyarakat yang inklusif dan adil bagi semua warga, tanpa memandang latar belakang agama mereka.

Kebijakan yang terlalu memihak pada satu agama atau kelompok tertentu dapat meningkatkan ketegangan sosial dan memperdalam kesenjangan antarkelompok. Oleh karena itu, pemerintah wajib memperhatikan dan memastikan semua umat beragama mendapat hak-haknya secara konstitusional.

 

Imron Rosidi Alumnus Universitas Leiden (MA) dan University Brunei Darussalam (PhD); Dosen Tetap Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau