Ust. Ahmad Rofiq Pengasuh Pesantren Virtual al-Hidayah; Mengabdi di MUI Gresik; Penulis Buku Jagat Kiai Gresik

Ngaji Kitab al-Hikam [1]: Jangan Sekutukan Tuhan dengan Amalmu (Bag. 1)

2 min read

Kalam Hikmah 1

مِنْ عَلَامَاتِ الْإِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ

“Ketika setelah terpeleset melakukan kesalahan, harapanmu akan ampunan Tuhan kok menjadi berkurang, berarti itu salah satu indikasi bahwa selama ini kamu telah menjadikan ikhtiyar dan amal perbuatanmu sebagai pesaing Tuhan”

Saya akan membuka penjelasan untuk Kalam hikmah yang pertama ini dengan mengangkat sebuah riwayat.

Ada seseorang yang ahli ibadah, yang selalu melakukan perbuatan baik seumur hidupnya. Saat di akhirat dan hendak dimasukkan ke dalam surga oleh Tuhan, terlebih dulu Tuhan bertanya

“Apakah kau tahu sebabnya, kenapa kamu Aku masukkan ke surga?” tanya Tuhan.

“Saya tahu. Karena seumur-seumur saya beribadah pada Engkau, karena selama hidup di dunia saya selalu melakukan perbuatan baik dan tidak pernah mendurhakai-Mu, Tuhan” jawab ahli ibadahitu.

“Berapa usiamu saat hidup di dunia?” tanya Tuhan.

“Kurang lebih 80 tahun, ya Tuhan.”

“Baiklah, masuklah kamu ke surga selama 80 tahun saja ya, setelah itu kamu akan Aku masukkan ke neraka.”

“Loh, kata Engkau, orang yang sudah masuk surga itu akan selamanya dan kekal di sana, haini kok hanya 80 tahun?” tanya sang ahli ibadah dengan merasa khawatir dan ketakuatan.

“Yang masuk ke dalam surga selama-lamanya adalah orang yang beribadah dan beramal baik karena fadhol-Ku, karena kasih sayang-Ku, bukan karena ibadah dan amal baiknya. Berhubung kamu yakin bahwa ibadah dan amal baikmu yang akan mengantarkanmu masuk ke surga-Ku, ya sudah Aku turuti. Etapi, selama 80 tahun saja.” jelas Tuhan.

Orang itu pun menangis, merasa sangat menyesal. Dia tidak menyangka bahwa keyakinannya selama ini keliru.

Kisah tersebut menunjukkan bahwa ibadah dan perbuatan baik yang kita lakukan selama di dunia nantinya akan menyelamatkan kita di akhirat adalah satu keyakinan yang keliru.  Karena, pada dasarnya, setiap orang yang masuk ke surga hanyalah karena kasih sayang Allah semata, karena Maha Baiknya Allah.

Baca Juga  Pelajar Indonesia Memperkenalkan Islam Damai di Australia

Kalaupun misalnya keyakinan seperti itu benar, maka kita tetap akan rugi dan menyesal serugi-ruginya. Coba sekarang kita bayangkan, berapa lama sih kita berbuat baik dan berapa lama kita mampu tekun beribadah selama hidup di dunia ini?

Jawabannya tentu, paling mentok selama 60 tahun. Itupun pasti tidak sepenuhnya karena akan dipotong dengan masa kecil kita, oleh masa kenakalan dan kekurang ajaran kita juga. Mustahil selama 60 tahun kita selalu beribadah dan selalu menjalankan ketaatan. Oleh karena itu, beribadah dan berbuatlah baik hanya karena Allah swt memerintahkan untuk melakukannya, bukan karena amal ibadah dan kebaikan kita yang nanti akan menyelamatkan diri kita di akhirat.

Kembali ke kalam hikmah di atas, apakah selama ini kita sudah beribadah dan beramal baik semata-mata karena Allah atau karena yang lainnya? Cara mengenali dan mengetahuinya mudah saja.

Jika setelah kita terpeleset melakukan suatu kesalahan kok harapan kita pada Tuhan berkurang, berarti selama ini ibadah dan amal kebaikan kita belum murni semata-mata karena Allah. Tapi kalau setelah terpeleset melakukan kesalahan harapan kita pada Allah tidak pernah berkurang, kita tetap tidak putus asa dari Allah yang Maha Pengampun, berarti keyakinan kita selama ini sudah benar. Ibadah dan perbuatan baik kita selama ini memang murni karena berharap pada rida Allah.

Kita semua harus ingat, Allah swt tidak suka diduakan (syirik), baik dengan berhala, manusia atau apapun, termasuk dengan amal ibadah dan kebaikan yang kita lakukan. Ini penyakit hati yang sangat berbahaya yang banyak melanda masyarakat modern, yaitu menjadikan ikhtiar dan amal kebaikannya sebagai tuhan. Mereka beranggapan bahwa ibadah dan amal kebaikannya itulah yang nanti akan menyelamatkan. Padahal itu keliru besar.

Baca Juga  Makna dan Implementasi Ayat Iqra Secara Holistik

Sebagian orang yang jenis otaknya suka “ngeyel”  mungkin akan bertanya, “NaaKalau kita tidak boleh berharap pada ibadah dan amal kebaikan yang kita lakukan, lalu apa gunanya beramal dan beribadah?”

Jika sebagian dari kita ada yang bertanya seperti itu, maka saya ingin memberikan analogi pertanyaan balik sehingga kita akan berpikir ulang; “Jika Anda sangat mencintai seseorang, maka anda akan cenderung memberi apa saja pada orang itu, Anda juga akan dengan ikhlas menjalankan perintah atau melakukan pekerjaan yang diminta orang itu. Pertanyaan saya, apa gunanya bagi anda  menjalankan perintah atau melakukan pekerjaan yang diminta oleh orang yang Anda cintai tersebut?” Bersambung… [AA]

Ust. Ahmad Rofiq Pengasuh Pesantren Virtual al-Hidayah; Mengabdi di MUI Gresik; Penulis Buku Jagat Kiai Gresik