Banyak kalangan yang menyebut al-Būtī memiliki banyak kesamaan dengan al-Ghazali. Itu sebabnya, tidak heran bila M. Said Ramadhan al-Būtī seringkali disebut sebagai Ghazālī al-Ashr (Ghazālī masa kini). Sebagaimana diketahui al-Ghazālī adalah ulama, sufi, dan filsuf terkemuka di masanya. Hampir semua disiplin ilmu-ilmu keislaman dikuasainya, sehingga al-Ghazālī bergelar hujjat al-Islām (argumentator Islam).
Minimal ada tiga alasan mengapa al-Būtī disebut-sebut sebagai Ghazālī masa kini: (1) otoritas keulamaan; (2) produktivitas dalam berkarya; dan (3) metode sufistik sebagai jalan dakwahnya.
Dari sisi otoritas keulamaan al-Būtī tidak diragukan lagi. Karir akademik dan intelektual al-Buti sebagai bukti keulamaannya. Dan, hampir semua disiplin keilmuan syariah juga dikuasainya. Bahkan al-Būtī juga mendalami filsafat dan teori-teori sosial lainnya. Buku al-Būtī Naqdh Auhām al-Mādiyah al-Jadalīyah adalah salah satu buktinya.
Dari sisi produktivitas karya ilmiah pun demikian. Lebih dari 70 buku sudah diterbitkan selama hidupnya. Bahkan, pasca-wafatnya al-Buti pun, draf buku beliau yang belum sempat diterbitkan akan segera diterbitkan. Karya al-Būtī pun bervariasi dari berbagai disiplin keilmuan islamic studies. Dari ilmu-ilmu syariah, sejarah hingga filsafat.
Sementara dari sisi yang lain, al-Būtī memiliki kesamaan dengan al-Ghazālī dalam memilih jalan sufi dalam hidupnya. Tasawuf amalī-akhlāqī menjadi mazhab yang dianutnya. Yakni, tasawuf yang berangkat dari budi pekerti (akhlak tarbawī). Dakwah al-Būtī sungguh sarat dengan nasihat-nasihat spiritual. Intinya, al-Būtī ingin mengajak murid-muridnya menjadi manusia rohani.
Bertolak dari tiga alasan-alasan di atas, al-Būtī kemudian diklaim sangat identik dengan sosok al-Ghazālī. Meskipun, tidak dipungkiri, bahwa al-Būtī sendiri termasuk Ghazalian, karena dirinya sangat mengagumi dan mengidolakan sosok al-Ghazālī dalam karir intelektualnya. Kekaguman al-Būtī terhadap al-Ghazālī ini pernah diungkapkan dalam salah satu buku al-Būtī yang berjudul Syahsyiyāt Istauqafatnī.
Selain itu, kesamaan lainnya kedua tokoh yang berbeda zaman ini, sama-sama karya intelektualnya dibakar oleh kelompok-kelompok yang sentimen kepadanya. Sebagaimana diketahui, buku-buku al-Būtī dibakar oleh para kelompok oposisi pemerintah Suriah karena kecewa kepada sikap politik al-Būtī yang melegitimasi pemerintahan Basyar al-Assad yang sah.
Terkait julukan Ghazālī masa kini yang disematkan kepada al-Būtī ini, beliau pernah berkomentar dalam salah satu pengajian rutinnya. Al-Būtī berkomentar begini:
أما ما يقول لي هؤلاء البعض نحن آسفين في جماعة حرقوا كتبي وما إلى ذلك. أريد أقول لكم الشيئ، كثير ما أوصف في مجالس ومناسبات بأنني غزالي هذا العصر، وأنا أقول بقلبي وبلساني يوم واحد من أيام الغزالي يساوي عمري كله.
Maksudnya: “Adapun apa yang dikatakan orang-orang kepada saya bahwa mereka menyesalkan perbuatan sekelompok orang yang membakar buku-buku saya. Saya ingin mengatakan kepada kalian. Seringkali diberbagai acara dan kesempatan, saya disebut-sebut sebagai Imam Ghazali zaman ini. Dan [tentang hal ini], saya katakan [jujur] dengan hati dan lisan saya bahwa [kualitas] satu hari yang dilalui oleh Imam Ghazali sama seperti [kualitas] seluruh umur hidupku.”
Begitulah al-Būtī. Beliau tidak pernah jumawa dengan pujian orang lain. Bahkan, al-Būtī sama sekali tidak merasa lebih baik dari orang-orang yang memujinya. Karena apa yang dilakukan al-Būtī, hanya satu tujuannya: “meraih rida Allah”, mau dipuji atau dicaci, bagi al-Būtī tidak penting. Karena bagi al-Būtī, rida Allah adalah di atas segala-galanya. [MZ]