Abdur Rozaki Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tadarus Litapdimas (12): Menghadirkan Kembali Sinar Kuasa Perempuan

4 min read

Tadarus Litapdimas Seri ke-4 mengambil topik, “Bukalah Mata Pada Perempuan: Daulat Tubuh dan Tahta”. Topik ini merupakan pembingkaian (framing) dari dua riset yang dilakukan oleh Irma Riyani, dosen UIN Gunung Djati Bandung, dengan judul: “Islam, Seksualitas Perempuan dan Patriarki di Indonesia”. Berikutnya, riset yang dilakukan oleh Nursaid, dosen IAIN Kudus, dengan judul: “Ratu Kejayaan Maritim Nusantara: Studi Relasi Kuasa Ratu Kalinyamat di Tengah Hegemoni Lelaki dalam Masyarakat Pesisir”.

Dilihat dari sudut pandang apapun, topik tentang perempuan selalu berada dalam posisi tren yang menarik. Yang terbaru misalnya, para pemimpin dunia yang saat ini dianggap sangat sukses mengatasi pencegahan penyebaran pandemi covid-19 di negaranya dan memperoleh pujian banyak pihak adalah para pemimpin perempuan, seperti Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Taiwan Tsai Ing Wen, Perdana Menteri Islandia Katrin Jakobsdottri, dan Perdana Menteri Sint Maarten di Kepulauan Karibia, Silveria Jacobs. Mereka semua adalah para perempuan bintang, yang memiliki sinar kuasa penuh empati di dalam melindungi warganya. Sangat membanggakan, tidak saja bagi negaranya, tapi bagi dunia kemanusiaan yang lebih luas.

Dalam konteks itu pula, kita perlu terus mendorong posisi perempuan Indonesia agar semakin memiliki peran strategis dan ikut menentukan arah masa depan bangsa dan masa depan kemanusiaan. Berbagai upaya untuk melakukan hal tersebut, tentu tidak mudah, karena masih banyak belenggu yang menghadangnya, khususnya cara pandang patriarkisme yang masih menyelinap masuk ke dalam kesadaran keagamaan dan konstruksi budaya lainnya di dalam masyarakat kita. Riset yang dilakukan Irma Riyani memperkuat hal itu.

Melalui studi kasus terhadap 42 perempuan yang mengalami pernikahan, Riyani menyelami case by case kasus mereka dengan pendekatan etnografi feminis. Hasilnya, kebanyakan perempuan memiliki cara pandang, bahwa seks dalam pernikahan adalah kewajiban dan hak suami saja. Dampaknya, pola hubungan seksual sepasang suami istri, berlangsung dalam relasi suami sebagai subyek, dan istri sebagi obyek. Aspek mutualitas kesalingan terabaikan, saling melengkapi, saling memuaskan pasangan, seperti melakukan foreplay yang terabaikan. Pola semacam ini pada akhirnya melahirkan kekerasan seksual. Hanya 4 orang saja dari 42 narasumber riset yang menurut Riyani menyuarakan haknya, dan menikmati relasi seksual dalam pernikahan.

Baca Juga  Idzotun Nasyi’in, Ikhtiar Revolusi Budaya dan Pesantren

Sayangnya, Riyani tidak banyak mengungkapkan, perempuan dari jaringan pendidikan keagamaan dan kelas sosial ekonomi seperti apakah yang umumnya tidak memahami hak seksualnya?  Juga mereka yang memiliki kemampuan negosiasi sehingga dapat menikmati relasi seksual dalam pernikahan. Riyani hanya menyebut pengaruh umum berupa adanya forum-forum pengajian, dan kitab-kitab rujukan para dai yang sangat bias gender, seperti Kitab Uqudullujayn, yang dianggap turut mempengaruhi konstruksi keagamaan hingga membuat kaum perempuan merasa tidak memiliki hak seksual.

Kelebihan riset ini adalah kemampuannya menjumpai dan berdialog tentang sesuatu yang sensitif, sangat personal dan tidak mungkin hal itu dilakukan oleh para peneliti laki-laki. Peneliti ini benar-benar berasal dari dalam dan menelisik sesuatu yang tersembunyi hingga dapat dilihat ke permukaan. Sesuatu yang tentunya berarti bagi perkembangan kajian perempuan dan seluk beluk relasinya yang intim, yakni keluarga.

Sedangkan riset Nursaid membangkitkan kembali memori sejarah yang lama terpendam, bahwasannya kaum perempuan di masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam melahirkan kepemimpinan dari kalangan perempuan tangguh, seperti Ratu Kalinyamat yang hidup pada abad 16. Sang Ratu berasal dari kalangan bangsawan, putri dari Sultan Trenggana yang masih keturunan Raja Demak.

Ratu Kalinyamat memiliki kemampuan manajamen kekuasaan yang sangat cemerlang, hingga mampu mengkonsolidasikan kekuasaan di dalam mengatasi konfli-konflik internal di lingkungan istana. Ia memiliki kecakapan di dalam  membangun basis perekonomian maritim hingga mendatangkan kemakmuran ekonomi warganya. Wawasan politik ekonominya sangat luas, sebagaimana terlihat upayanya untuk menaklukkan Portugis di Malaka melalui dua kali penyerangan, yakni pada tahun 1551 dan 1574. Meski dalam penyerangannya mengalami kegagalan.

Keperkasaan kaum perempuan Kalinyamat ini, makin diperkuat pula oleh kajian Peter Carey dan Vincent Houben (2017), dalam karyanya “Perempuan- Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX”, bahwasannya kaum perempuan Jawa memiliki beragam peran dan akses dalam bidang perniagaan, intelektualisme, politik dan bahkan kemiliteran. Kedua sejarawan ini menunjukkan fakta yang tak biasa, yakni adanya perempuan perkasa yang tergabung di Korps Srikandi Surakarta, pasukan perempuan yang memilki keahlian tempur, jago berkuda yang menjadi pengawal raja masa Pakubuwono V (1820-1823).

Baca Juga  Sunni versus Salafi: Kontestasi Pemikiran M. Said Ramadhan al-Buti dan Nasiruddin Albani

Di lingkungan Kraton, muncul pula sosok Ratu Kencono Wulan, perempuan saudagar yang sukses meraih kekayaan dalam mengembangkan usaha yang ditekuninya. Di bidang sastra, terdapat sosok Raden Ayu Danukusumo, perempuan penulis yang memiliki kemampuan sebagai pengumpul dan penyalin teks terkait Islam Jawa.

Peran multiperan kaum perempuan terkunci rapat setelah kolonialisme Eropa melakukan dominasi, hegemoni yang berujung pada penyingkiran kaum perempuan dari tahta kuasa ke domistifikasi politik kultural, yakni sebatas menjadi konco wingkingkaum lelaki. Zaman baru republik, nafas pergerakan kaum perempuan kembali tumbuh dan menampakkan sinar terang nan penuh optimisme. Sayangnya, hal itu tak berlangsung lama. Seusai kemerdekaan Indonesia dipancangkan, pergantian rezim politik, khususnya saat Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, perempuan kembali ditempatkan dengan posisi sebagai konco wingkingsuami, dan terlembagakan dalam ketugasan Program Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Dari Teologi Ke Aksi Politik Baru

Hegemoni teks keagamaan dan konstruksi budaya serta politik ekonomi yang bias gender, perlu terus dibongkar dan dikritisi agar tidak menciptakan legitimasi kekerasan terhadap perempuan. Literasi keagamaan yang mempromosikan kesearaan dan keadilan gender, sangat penting dikembangkan dalam kajian pemikiran dan aksi politik baru. Sebagaimana yang sudah dilakukan oleh para ilmuwan dan aktivis sosial perempuan maupun laki-laki.

Diantaranya, seperti Riffat Hasan, Fatima Mernissi, Aminah Wadud Muhsin, Sachiku Murata, Sinta Nuriyah Wahid dan masih banyak lagi dari kalangan feminis lainnya.  Dari para kaum lelaki, yakni Asghar Ali Enginer, Nasaruddin Umar, Kiai Husein Muhammad, Kiai Sahal Mahfud, Mansur Faqih dan masih banyak lagi yang lainya.

Para ilmuwan dan aktivis sosial di atas menyadari betapa nilai-nilai Islam sangat mendorong kesetaraan dan emansipasi kaum perempuan. Teks dan konteks historis kehadiran Islam memperkuat akan hal itu. Sebagaimana di dalam, surah al-Isra’ ayat 17, “sungguh benar-benar telah kami mulyakan manusia (anak Adam)”, surah al-Hujurat ayat 13, “sesungguhnya kemulyaan di hadapan Allah yang bertaqwa”; surah al-Nisa’ ayat 19, “dan pergaulilah istrimu sebaik mungkin (ma’ruf)“. 

Baca Juga  Memahami Nilai Ikhlas Sebagai Ruh Agama

Pergaulan di sini merujuk pada unsur kebersamaan dan kebertemanan. Sedangkan ma’ruf merujuk pada nilai agama, akal sehat, hati nurani dan keadilan. Pendeknya hubungan suami istri haruslah didasarkan relasi cinta kasih yang melahirkan penyatuan, timbali balik kenikmatan seksual. Dalam konteks inilah relasi sosial tidak saling menyakiti sehingga melahirkan kebahagian bersama.

Dari nilai-nilai kesetaraan dan emansipasi, di dalam al-Qur’an yang paling fundamental adalah konsep taqwa, yang meletakkan keimanan dan amal saleh sebagai ukuran kemulyaan, bukan jenis kelamin. Konsep taqwa ini dielaborasi oleh para aktivis sosial Islam ke dalam aksi transformatif, guna mendorong lahirnya tata dunia baru yang lebih berkeadilan gender. Berbagai kontruksi politik yang melemahkan dan menguatkan saling berkontestasi di tengah pertarungan ideologi politik, terutama dalam arus dominan neoliberalisme, yang terus mendapatkan hujaman kritik, khususnya dari aliran ecofeminism.

Di era reformasi demokrasi elektoral, sangatlah strategis di kalangan kaum perempuan memperluas keterlibatannya dalam mempengaruhi dan menentukan agenda-agenda publik. Apa yang sudah ditulis oleh Neng Darra Affiah (2017) melalui dua bukunya “Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia”, dan “Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas”, tentunya menjadi kabar gembira dan inspiratif. Mengapa? karena buku tersebut menyampaikan banyak hal tentang kekuatan keilmuan perempuan muslim progresif dalam memahami khazanah keislaman klasik dan modern.

Kemampuan keilmuan yang dimiliki dipergunakan untuk mendorong penegakan hak asasi manusia, khususnya hak kaum perempuan. Selain itu, juga mendorong gerakan keberagamaan yang menghargai pluralitas, multikulturalisme sebagai cara mewujudkan dunia damai, berkeadilan tanpa diskriminasi.

Gerakan perempuan muslim progresif tersebut, jangan sampai kendor. Mengingat gerakan muslim konservatif terus menebar wacana ideologis, baik secara online dan offline dalam mendomistifikasi peran kaum perempuan melalui wacana keagamaan. Lebih khusus lagi, adanya keterlibatan kaum perempuan dalam jaringan terorisme misalnya, hal yang paling perlu diwaspadai. Mengapa? karena populasi kaum perempuan dalam sebuah bangsa, seperti Indonesia adalah terbesar. Jika kaum perempuannya makin kehilangan akses dan kebebasan untuk berkembang, maka terbelakanglah sebuah bangsa kita nantinya. [FYI]

Abdur Rozaki Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *