Tak dipungkiri bahwa persinggungan pemikiran M. Said Ramadhan al-Būtī dengan kaum Salafi memang sangat tajam. Banyak buku al-Būtī mengkritik terhadap pemikiran kaum Salafi. Oleh sebab itu, perdebatan pun tak bisa dihindari. Perdebatan itu, baik terjadi melalui karya ilmiah maupun secara terbuka, face to face.
Meskipun sejatinya, al-Būtī seringkali menolak untuk berdebat jika hanya mencari menang-kalah. Al-Būtī hanya melayani berdialog dengan siapapun yang memang bertujuan untuk sama-sama mencari kebenaran. Termasuk beberapa kali berdialog (hiwār) dengan tokoh kiri Islam, Tayyeb al-Tizzinī.
Selain itu, salah satu tokoh yang terlibat perdebatan (munādzarah) dengan al-Būtī adalah Nasiruddin Albani—tokoh paling berpengaruh di kalangan kaum Salafi. Salinan perdebatan ini, dimuat al-Būtī dalam salah satu bukunya. Saya berharap, Anda dapat membacanya sampai selesai agar tidak “gagal” paham. Berikut ini kutipan perdebatannya:
“Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?” tanya al-Būtī mengawali perdebatan.
“Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka, lalu aku ambil yang paling dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah.” Jawab Albani.
“Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya? Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?,” al-Būtī kembali bertanya.
“Maksudnya? Anda menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”, Albani balik bertanya.
Perlu diketahui, bahwa bagi Albani zakat perdagangan itu tidak diwajibkan.
“Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fikih, silahkan Anda telaah!.” timpal al-Būtī.
“Ini masalah agama. Bukan persoalan mudah untuk bisa dijawab dengan se-enaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”, jawab Albani mengalihkan pertanyaan.
Mendengar jawaban tersebut, al-Būtī beralih pada pertanyaan lain. Al-Būtī tidak ingin mendesak lebih jauh.
“Baik, kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau “wajib” membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”, al-Būtī melanjutkan debat.
“Ya.” Jawab Albani dengan yakin.
“Maksud Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam mazhab? Atau kemampuan orang sekarang lebih sempurna dan melebihi kemampuan mujtahid para imam mazhab dahulu. Karena secara logika, seseorang yang mampu “menghakimi” pendapat-pendapat para imam mazhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka,” tegas al-Būtī.
“Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang bertaklid), muttabi’ (orang mengikuti pendapat orang lain berdasarkan ilmu) dan mujtahid (ahli berijtihad). Orang yang mampu membandingkan pendapat mazhab-mazhab yang ada dan memilih yang lebih dekat dengan al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara muqallid dan mujtahid,” terang Albani.
“Apa kewajiban muqallid?”, al-Būtī kembali bertanya.
“Ya wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.” jawab Albani.
“Apakah ia berdosa kalau seandainya mengikuti salah satu mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?,” lanjut al-Būtī.
“Ya, ia berdosa dan haram hukumnya,” tegas Albani.
“Apa dalil yang mengharamkannya?” tanya al-Būtī mempertegas.
“Dalilnya, karena ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya,” jawab Albani enteng.
“Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qirā’ah mutawātirah yang tujuh?” tanya al-Būtī.
“Qira’ah Hafsh.” jawab Albani singkat.
Perlu diketahui bahwa qira’ah Hafsh adalah salah satu riwayat qiraah al-Qur’an yang mutawātir bersambung sanadnya hingga kepada Nabi saw.
“Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?” telisik al-Būtī.
“Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja,” jawab Albani.
“Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah swt tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda adalah membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang datang dari Nabi Saw. secara mutawatir,” sanggah al-Būtī.
“Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh., terang Albani.
“Orang yang mempelajari fikih mazhab Imam al-Syāfi’ī, juga tidak sempat mempelajari mazhab-mazhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fikihnya Imam al-Syāfi’ī. Jika Anda mengharuskan untuk mengetahui semua produk ijtihad para imam mazhab, maka Anda sendiri juga harus mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah mutawātirah itu.” sanggah al-Būtī.
“Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid (orang-orang yang bertaklid) dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu mazhab ke mazhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya, sebagaimana ia tidak wajib menetapi pada satu mazhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu mazhab ke mazhab lain?,” lanjut al-Būtī.
“Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu mazhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian,” jawab Albani berargumen.
“Itu persoalan lain. Dan, memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika tetap pada satu pendapat mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?” lanjut al-Būtī.
“Tidak berdosa.” jawab Albani.
“Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi pada satu mazhab saja itu hukumnya haram. Bahkan, dalam bagian lain buku tersebut, orang yang tetap pada pendirian terhadap satu mazhab fikih saja itu dihukumi kafir,” sanggah al-Būtī.
Mendengar sanggahan tersebut, Albani kebingungan menjawabnya. Perdebatan pun dilanjutkan pada topik-topik lain.
Demikianlah cuplikan perdebatan antara al-Būtī dengan Albani, yang terdokumentasikan dalam bukunya yang berjudul Al-Lāmazhabiyyah Akhtar Bid’ah Tuhaddid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah. Sebenarnya, perdebatannya masih cukup panjang dan menarik. Silahkan saja merujuk kepada referensi itu.
Yang perlu dicatat, kendatipun al-Būtī dengan mudah dapat mematahkan argumen-argumen Albani, tetapi tidak ada satu kalimat pun yang bernada mencaci-maki lawan debatnya. Al-Būtī berusaha untuk tetap respect dan menghargai jawaban-jawaban Albani. Inilah teladan al-Būtī yang “meneduhkan” bagi kita semua.
Kesimpulannya, bahwa mengikuti salah satu mazhab fikih tertentu adalah wajib bagi orang awam (muqallid). Sementara tetap berpegang teguh pada satu pendapat fikih imam mazhab tertentu (mazhab Syāfi’iyah, misalnya) atau berpindah dari pendapat mazhab satu ke mazhab lainnya, secara syar’i dibenarkan selama masih dalam koridor syariat.
Dalam konteks inilah, bahwa slogan “kembali kepada al-Quran dan sunnah” yang seringkali dipropagandakan oleh kaum Salafi menjadi tidak relevan. Mengapa? Karena kita tahu, khazanah fikih itu sarat dengan penalaran terhadap sumber utama Islam baik al-Qur’an maupun sunnah. Jadi, fikih sendiri tidak “mungkin” terlepas dari dalil-dalil otoritatifnya, yaitu al-Qur’an dan hadis serta penalaran dalil-dalil lainnya.
Oleh sebab itu, jika ada kaum Salafi yang masih mengajak untuk “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah”, maka jawab saja: “Al-Qur’an, sunnah Nabi dan kita tidak kemana-mana (#di_rumah_aja), mengapa harus disuruh-suruh kembali sih?” [MZ]