Akhmad Siddiq Dosen Studi Agama-agama, bergiat di Moderate Muslim Institute UIN Sunan Ampel Surabaya

Siapakah “Anak Jalanan” dalam Q.S. al-Tawbah [9]: 60?

2 min read

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْعَٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

(Q.S. al-Tawbah [9]:60)

Di antara delapan golongan yang berhak menerima zakat, ada kelompok yang disebut Alquran sebagai ibn al-sabīl (mereka yang sedang dalam perjalanan). Secara literal, istilah ibn al-sabīl juga bisa diartikan sebagai “anak jalanan”.

Kata ibn dalam Bahasa Arab seringkali digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang melekat terhadap seseorang dengan cara disambungkan (idāfah). Misalnya, ada istilah ibn al-harb (anak perang) untuk menyebut seseorang yang kerjanya berpindah dari satu peperangan ke peperangan yang lain. Dalam sebuah pepatah Arab dikatakan, al-insān ibn bī’atih (manusia adalah anak lingkungannya): kemelekatan seseorang dengan lingkungannya membuat dia seperti “anak” dari lingkungan tersebut.

Istilah ibn al-sabīl disebutkan di dalam Alquran sebanyak delapan kali, yang semuanya terkait dengan pemberian bantuan terhadap mereka sebagai golongan yang berhak menerima, baik dari zakat atau sedekah. Sebut saja misalnya QS. al-Isrā’ [17]: 26, al-Rūm [30]: 38, al-Baqarah [2]: 315, dan al-Hashr [59]: 7. Pertanyaannya: kenapa Islam sangat peduli terhadap “orang yang sedang dalam perjalanan”?

Dalam Fiqh al-Zakāh Syekh Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan ada empat macam perjalanan yang dianjurkan dalam Islam. Pertama, perjalanan untuk mencari rizki. Islam mendorong umatnya menjelajah dunia untuk mendapatkan rizki dan mendulang anugerah Allah. Alquran mengatakan, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya.” (QS. Al-Mulk [67]: 15)

Baca Juga  Lailatur Qadar, Menghadirkan Citra Tuhan Yang Welas Asih

Kedua, perjalanan untuk mencari ilmu. Perjalanan ini penting dilakukan oleh setiap Muslim, untuk mengasah kedalaman berpikir, mentadabburi ciptaan Allah dan menghayati ayat-ayat Allah yang kauniyah. Allah berfirman, “Katakanlah: ‘Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (QS. Al-‘Ankabūt [29]: 20).

Dalam konteks perjalanan untuk mencari ilmu, menarik untuk mengingat syair Imam Syafi’i yang sangat masyhur.

سافر تجد عوضاً عمَّن تفارقهُ  وَانْصِبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ

“Berkelanalah, niscaya kamu akan menemukan pengganti, bagi orang-orang yang engkau tinggalkan,

dan gigihlah, sebab kenikmatan hidup sesungguhnya ada dalam kegigihan.”

Perjalanan mencari ilmu menjadi perjalanan agung yang dirindukan oleh hampir semua orang. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang merambah jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan dia jalan menuju surga.” (HR. Muslim).

Ketiga, perjalanan jihad. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk membela kehormatan diri, mengamankan jalan dakwah dan membantu orang-orang lemah. Allah berfirman, “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihad-lah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah.” (QS. Al-Tawbah [9]: 41)

Keempat, perjalanan untuk melaksanakan ibadah, semisal manasik haji. Perjalanan beribadah ke tanah suci ini merupakan rukun kelima dalam agama Islam. Lihat misalnya firman Allah dalam surah Ali ‘Imrān [3]: 97, dan al-Hajj [22]: 37-38.

Orang-orang yang melakukan perjalanan semacam di atas, lalu mereka mengalami kekurangan finansial atau kehabisan biaya untuk mencukupi kebutuhan pulang ke kampung halaman, maka Islam membuka ruang bantuan untuk meng-cover hal tersebut yang bisa diambil dari zakat. Istilah ibn al-sabīl menurut mayoritas ulama merujuk kepada mereka yang sudah melakukan perjalanan atau dalam perjalanan, bukan orang yang baru berencana melakukannya.

Baca Juga  Matematikawan Islam Pada Masa Khilafah

Namun demikian, tidak semua “anak jalanan” yang mengalami kesulitan berhak mendapatkan zakat. Ada beberapa syarat berikut yang harus diperhatikan. Pertama, orang tersebut membutuhkan dana untuk pulang ke negeri asal. Kedua, perjalanan yang dilakukan bukanlah perjalanan maksiat. Ketiga, jika dia masih bisa meminjam uang dan mampu mengembalikan sesampainya di negeri asal, menurut sebagian ulama, dia tidak berhak mendapatkan zakat. Ibnu ‘Arabi dan al-Qurtubi mengatakan, orang yang dalam perjalanan tetap berhak menerima zakat meski ada orang yang bisa meminjaminya bantuan.

Wallāhu a’lam.

Akhmad Siddiq Dosen Studi Agama-agama, bergiat di Moderate Muslim Institute UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *