Dunia yang saat ini sibuk mengatasi penyebaran covid-19 teralihkan perhatiannya oleh kasus kematian seorang pria berkulit hitam bernama George Floyd di Minneapolis. Kasus kematian George Floyd ini berujung pada persoalan rasisme dan menuai protes di berbagai negara.
Peristiwa tersebut bermula dari proses penangkapan George Floyd yang dinilai tidak mencerminkan rasa kemanusiaan. Goerge Floyd meninggal setelah lehernya ditekan dengan lutut salah satu petugas polisi yang menangkapnya atas tuduhan menggunakan uang palsu saat membeli barang di salah satu toko di daerah Minneapolis. Saat ditangkap, George Floyd sempat menyampaikan apa yang ia alami dengan nafas yang tersenggal-senggal. Ia berkata “I can’t breathe officer…” (Kompastv, 31 Mei 2020). Peristiwa ini menarik simpati banyak orang akibat ketidakadilan yang dialami oleh George Floyd.
Sampai saat ini kasus kematian George Floyd masih memicu berbagai protes yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat di dunia. Mulai dari menuntut keadilan yang seadil-adilnya bagi George Floyd, aksi solidaritas, hingga kampanye dan aksi menyuarakan stop racism. Protes ini menjadi aksi yang tak tertahankan setelah sekian lama persoalan rasisme terabaikan.
Kasus George Floyd merupakan salah satu dari sekian banyak kasus yang terjadi. Di Indonesia, rasisme juga masih terjadi, seperti peristiwa 16 Agustus 2019 terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang berbuntut aksi di Papua 19 dan 29 Agustus 2019. Seperti pernyataan Veronica Koman yang dikutip dari Tempo.co, bahwa “Black Lives Matter” yang dipicu oleh kasus kematian George Floyd merupakan bentuk penyuaraan terhadap persoalan rasisme dunia. Termasuk rasisme terhadap warga Papua.
Kemajuan teknologi dan mudahnya akses pengetahuan belum cukup memberikan pengetahuan dan kedewasaan berpikir bagi individu modern. Hal ini dapat diperhatikan dari maraknya cyberbullying, yang di dalamnya ada unsur rasisme juga. Rasisme tidak semata doktrin pembeda aspek biologis ras manusia, tapi juga sebuah stigma yang mengunggulkan ras tertentu dibandingkan ras yang lain.
Keberagaman ras, gender, dan budaya yang ada di antara kita diciptakan Allah untuk saling mengenal. Yang membedakannya bukan nilai lahiriah melainkan nilai ruhaniah, berupa ketakwaan. Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِير
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurāt [49]:13)
Perbedaan justru menjadi sarana untuk saling melengkapi satu sama lain. Quraish Shihab dalam tafsirnya, Al-Misbah, dan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dalam tafsirnya, As-Sa’di, menafsirkan makna (لِتَعَارَفُوٓا) dengan makna yang lebih luas, yakni saling memberi manfaat, saling mengambil hikmah satu sama lain, saling tolong menolong, saling mewarisi, dan saling memenuhi hak kerabat.
Allah menciptakan makhluk-Nya tentu bukanlah untuk hal yang sia-sia. Selain sebagai bentuk kasih-Nya terhadap makhluk yang beragam, juga agar mereka bisa saling mengambil pelajaran serta menjalin hubungan yang baik tanpa merendahkan satu sama lain. Sebagaimana firman Allah yang memerintahkan manusia agar tidak merendahkan orang lain, baik laki-laki maupun perempuan, sebab bisa jadi mereka lebih baik dibandingkan kita, serta melarang kita memberikan panggilan yang buruk kepada orang lain (QS. al-Hujurāt [49]:11).
Perbedaan akan selalu mengiringi keberagaman, begitu pula keberagaman yang bertujuan untuk saling melengkapi. Bentuk rasisme, seperti pembedaan yang didasarkan pada warna kulit, hanyalah sebagian kecil dari perbedaan yang tampak pada suatu individu. Sedangkan pribadi setiap individu terlahir dari berbagai latar belakang dan keistimewaan yang dimilikinya masing-masing.
Ras hanya sebagai sistem yang mempermudah mengklasifikasi identitas seorang individu dalam suatu kelompok besar, bukan berarti mejadi senjata untuk membedakan dan mengunggulkan siapa yang lebih superior di antara ras yang lainnya. Oleh karena itu, rasisme bukanlah sebuah pilihan utama menyikapi keberagaman.
Selayaknya, toleransi-lah yang menjadi pilihan untuk menyikapinya. Rasa Kemanusiaan sejatinya ada dalam diri setiap manusia. Hanya saja, manusia seringkali lupa untuk memperlakukan, menerima, dan menghargai manusia lainnya. Ingatlah bahwa rasisme akan selalu hadir jika kita enggan menerima perbedaan yang ada. []