Tulisan ini terinspirasi dari salah seorang Muslim Tionghoa yang cukup ketakutan saat penulis meminta izin untuk mencantumkan namanya untuk data riset saya. Sebut saja namanya fulan. Si fulan ini menyimpan identitas keislamannya dari keluarganya sejak tahun 90-an hingga sekarang. Sebagai seorang mualaf Tionghoa, ia harus berjuang mencari jati diri dan bertahan tetap memeluk agama Islam di tengah tekanan. Ia adalah salah satu dari sekian Muslim Tionghoa yang mendapatkan pengucilan dari keluarga besarnya karena memeluk Islam. Bahkan ia terancam tidak diakui sebagai bagian keluarga besarnya. Di antara koleganya sesama mualaf ada juga yang tidak dimakamkan secara Islam oleh keluarganya.
Memang tidak semua Muslim Tionghoa menerima perlakuan seperti di atas. Banyak Muslim Tionghoa yang justru mendapatkan apresiasi dari keluarga atas konversinya dari pemeluk agama A menjadi seorang Muslim. Bagi sebagian Muslim Tionghoa, menjadi mualaf justru menempatkannya menjadi panutan bagi anggota keluarganya yang lain. Mereka kemudian menjadi sumber inspirasi dan referensi keislaman bagi keluaraganya.
Sudah maklum, Islam masuk ke negeri Tiongkok sejak 1400 tahun silam. Bahkan, konon dari beberapa sumber sejarah, sebelum Nabi Muhammad dan pengikutnya melakukan hijrah ke Madinah, Islam sudah dikenal di Tiongkok. Nabi Muhammad pernah mengutus beberapa sahabatnya berdakwah di Tiongkok, di antaranya Sa‘ad bin Abdul Qais, Qais bin Abd Hudhafah, Urwah bin Abi Uththan, dan Abu Qais bin al-Haris. Kegiatan ini berlangsung hingga masa kepemimpinan para sahabat termasuk Utsman bin Affan.
Meski belum ada catatan pasti mengenai kedatangan orang Islam di Tiongkok, namun sumber catatan di masa Dinasti Tang telah menjelaskan terjalinnya hubungan diplomatik antara kekaisaran Tiongkok dengan pemerintahan Khalifah Utsman. Hubungan diplomatik ini berlangsung hingga pada masa dinasti Ming. Jejak para pendatang Arab ini bisa dilihat hingga sekarang, terbukti lebih dari 50 juta penduduk Tiongkok saat ini memeluk agama Islam dengan jumblah 42 ribu bangunan masjid [Althonul Afif, 2012].
Kedatangan Islam dan terbentuknya komunitas Muslim yang stabil di Tiongkok telah berlangsung jauh sebelum Islam masuk di Nusantara. Hal ini bisa dikatakan bahwa Islam sendiri merupakan agama yang tidak asing lagi bagi masyarakat Tionghoa di negeri Tiongkok. Itulah sebabnya ada beberapa pendapat yang menjelaskan jika masuknya Islam di Nusantara tidak hanya dibawa oleh orang Arab dan Persia saja, melainkan orang-orang Tionghoa.
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa suku etnis Cina, di antaranya suku Hokkian, Hakka, Teo-Chiu dan Kwang Fu. Suku Hokkian merupakan penduduk jumblah terbesar, suku ini berasal dari daerah Fukien selatan. Agama dan kepercayaan mereka terbagi menjadi beberapa kelompok, seperti Kong Hu Chu, Taoisme, Buddha, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Islam, dan Ajaran Tridharma. Dari seluruh jumlah penduduk Indonesia, 15 persen di antaranya adalah warga keturunan Tionghoa, sedangkan dari 15 persen warga Tionghoa tersebut, ada lima persen yang memeluk agama Islam.
Bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, tidak mudah baginya untuk melakukan proses pemelukan agama Islam. Bagi kalangan Cina, agama Islam mendapat stigma negatif, meskipun tidak seluruhnya. Menurut sebagian dari mereka, agama Islam sangat identik dengan kekerasan, poligami, kemiskinan, kebodohan serta keterbelakangan. Pilihan sebagai etnis Cina untuk menjadi Muslim juga mendapat posisi yang sulit dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dikarenakan Muslim Tionghoa tetap dianggap berbeda dengan penduduk pribumi.
Kebanyakan mereka menjadi Muslim disebabkan oleh perkawinannya dengan pasangan yang beragama Islam, namun ada juga yang tertarik dengan Islam ketika melihat orang Muslim sedang melakukan ibadah salat. Dalam pergulatan mencari kebenaran dalam urusan agama, kebanyakan di antara mereka pernah merasakan rasanya berpindah-pindah agama. Menjadi seorang Muslim bagi masyarakat Tionghoa bukanlah pilihan yang mudah untuk ditempuh. Banyak hambatan yang harus mereka hadapi, yang seringkali membuat mereka hampir putus asa.
Seperti yang sudah menjadi gejala umum di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia bahwa agama Islam dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kebudayaan mereka, namun sebenarnya budaya mereka sendiri tidak terlalu jauh dengan kebiasaan yang biasa dilakukan masyarakat, terutama tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Nahdliyyin—sebutan masyarakat pada komunitas Nahdlatul Ulama [NU]—seperti tradisi Cing bing untuk kunjungan ke makam leluhur dengan menabur bunga-bunga atau orang lebih dikenal dengan nyekar, memakan opor ayam ketika hari raya atau disebut Cap Gome, tradisi kenduri, dan memberi angpao untuk keluarga yang belum menikah. Adanya beberapa titik persamaan ini terkadang bisa memantik pilihan mereka yang awalnya beragama Kong Hu Cu menjadi Islam ala NU.
Mayoritas dari mereka pernah mengalami gejolak dan pertentangan dalam lingkungannya, termasuk relasi mereka dengan keluarganya. Dalam mempertahankan keislamannya mereka menyembunyikan identitas keagamaannya dari keluarga dan beribadah secara sembunyi-sembunyi. Namun tidak seluruhnya Muslim Tionghoa mengalami keterpurukan terus-menerus dalam kehidupannya. Banyak kalangan Muslim Tionghoa yang sukses dalam menggandeng etnis dan agamanya menjadi sebuah keberhasilan, sehingga mempunyai kiprah yang baik.
Seperti Nio Gwan Chung atau lebih dikenal dengan M. Syafii Antonio yang sangat berperan besar dalam pengenalan ekonomi Islam di Indonesia, Lindswell Kwok yang dikenal dari keberhasilannya mengharumkan nama Indonesia melalui bakatnya menjadi atlet Wushu, serta lahirnya pendakwah Muslim Tionghoa yang dikenal masyarakat, seperti Bu Nyai Tan Mei Hwa, Koko Liem, dan Felix Siauw. Kehadiran mereka yang membawa keunikan, identitas, dan budaya ketionghoaan menjadi sesuatu yang baru dan menarik perhatian dikalangan masyarakat serta menjadi kekuatan baru dalam keislaman di Indonesia.
Tantangan bagi Muslim Tionghoa di Indonesia kadang tidak mudah. Bagi mereka, kadangkala mereka harus menghadapi dilema dan stigma negatif dalam prosesnya menjadi seorang Muslim, hingga terlepas dari keluarganya ketika memeluk Islam. Menurut pandangan beberapa Muslim Tionghoa di Indonesia, menjadi etnis China membuatnya menjadi bagian dari minoritas di negara ini. Begitu masuk Islam, ia pun dikucilkan oleh kelompoknya dari etnis China.
Dalam konteks penelusuran saya terhadap narasumber yang saya wawancari sebagaimana tersebut di atas, pada akhirnya saya merasakan rasa pilu yang dihadapi oleh mereka, Muslim Tionghoa, yang terasing dari keluarganya. Harapan ideal kita barangkali tidak ada lagi warga Tionghoa di Indonesia menganggap Islam sebagai agama asing, dan jangan pula umat Islam menganggap etnis Tionghoa sebagai orang lain. Membangun toleransi dan kompromi di setiap lini harus menjadi target kita bersama. Isu-isu SARA pada akhirnya memang harus dibuang jauh-jauh agar kehidupan di sekeliling kita lebih harmonis di setiap tempat. Allah A’lam. [MZ]