Abdul Wahid Satunggal Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menemukan Humanisme Islam Gus Dur Dalam Maqâshid (1)

2 min read

Sumber: https://bincangmuslimah.com/

Pengantar

Istilah humanisme dalam sejarah baru muncul sekitar abad ke 14 M menjelang berakhirnya abad pertengahan dan masuknya abad pencerahan (renaissance), sebagai respon atas hegemoni gereja dan lembaga keagamaan di Eropa yang membelenggu kebebasan manusia. Gereja dianggap sebagai musuh bersama dikarenakan perannya yang terlalu dominan terhadap kehidupan umat manusia. Di mana manusia tidak bisa lagi menentukan nasibnya sendiri dalam seluruh lini kehidupan. Atas fenomena ini, kaum humanis merasa perlu melakukan perubahan paradigma dan secara terang-benderang ingin meruntuhkan kekuasaan agama (gereja).

Dalam kontek diskursus, ajaran pokok humanisme meliputi beberapa hal, pertama mengenai kebebasan manusia sebagai pikiran pokok dalam menentukan kebijakan dan sikap, kedua perhatian terhadap hal-hal yang sifatnya natural atau bawaan (taken for granted), ketiga toleran terhadap perbedaan apapun termasuk agama dan filsafat, dan yang terakhir berkaitan dengan teologi ketuhanan yang ramah akan martabat manusia. Selama ini, agama di mata mereka dianggap sebagai bahasan yang melulu membahas soal Tuhan namun abai terhadap eksistensi manusia.

Sebenarnya dalam beberapa hal, inti ajaran dari humanisme ini tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Namun dikarenakan secara historis kemunculan humanisme ini berasal dari filsafat Yunani, yang dalam lintasan sejarah awal perkembangan Islam dianggap sebagai paham yang bersebrangan dengan prinsip-prinsip Islam, juga dikarenakan kemunculannya di Eropa sebagai bangsa yang menyumbangkan prinsip-prinsip sekuler, maka paham humanisme mendapat penolakan secara serius dari kalangan umat Islam. Belum lagi mengenai paham kebebasan yang melampaui batas karena menegasikan Tuhan sebagai zat transenden yang harus hadir dalam kehidupan manusia.

Pertentangan humanisme dengan agama berjalan dalam rentan waktu yang cukup lama. Termasuk pertentangan dengan agama Islam, dikarenakan konsep Islam sendiri yang menolak segala macam bentuk atheism -sebagai salah satu resiko dari paham humanisme. Namun dalam waktu yang bersamaan, kebencian secara mutlak terhadap prinsip humanisme juga mengakibatkan hilangnya rasa belas kasihan terhadap sesama manusia dan tidak adanya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang berujung pada tindakan ekstrimisme dan fundamentalisme.

Baca Juga  Memperkuat Keberagamaan melalui Dialektika

Kita bisa melihat perang yang terjadi atas nama agama telah merenggut ribuan nyawa dan memberengus martabat manusia. Padahal Allah telah memuliakan manusia dalam bentuk ciptaan paling sempurna, dalam al-Qur’an, kemuliaan manusia disebutkan dalam beberapa ayat, misalnya dalam surat at-Tin ayat 4 (“Dan kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”), surat Ghafir ayat 64 (“Allah lah yang menjadikan bumi untukmu sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentukmu lalu memperindah rupamu.”) dan masih banyak ayat lain yang menggambarkan kemuliaan manusia.

Pertentangan semacam ini berusaha ditengahi oleh para pemikir muslim progresif, seperti Ali Syariati, Hasan Hanafi atau bahkan Gus Dur, di mana Islam tidak seharusnya menolak humanisme secara mutlak namun juga tidak menelan mentah-mentah. Gus Dur dalam salah tulisannya yang dimuat dalam buku karya Syaiful Arif (Cet. Pertama 2013) “Humanisme Gusdur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan” menyebutkan secara implisit bahwa agama tanpa kemanusiaan hanya akan melahirkan fundamentalisme yang berujung pada kekerasan. Kita bisa melihat apa yang terjadi akhir-akhir ini di Timur tengah, ketika agama dijadikan satu-satunya alasan untuk membunuh, juga di Indonesia, persekusi dan tindakan kekerasan meski tidak separah yang terjadi di Timur tengah, tetapi telah menodai nilai-nilai kemanusiaan dan merenggut hak mereka dalam berekspresi.

Ketika agama dipahami sebagai konsep yang menegasikan subjek manusia, maka agama dapat digunakana sebagai alat untuk menyerang manusia, dikarenakan kekuatan agama adalah absolut, maka wajar jika agama menjadi alat paling strategis untuk menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Dan jika agama dipahami hanya sebatas pesan Tuhan yang harus dijalankan, tanpa menimbang aspek lain yaitu kemaslahatan dan kebahagiaan manusia, maka agama tidak pantas disebut sebagai pedoman hidup. Oleh karenanya dalam Islam, pesan-pesan Tuhan yang terwakili lewat hukum-hukum syariat, memiliki tujuan dan maksud yang semata-mata ditujukan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yang dalam istilah filsafat hukum islam (ushul fikih) disebut sebagai “Maqâsid Syariah” (Tujuan-tujuan diterapkannya Hukum syariat.)

Baca Juga  Indonesia Makmur dan Sejahtera sebagai Negeri ‘Baldatun Thayyibatun’

Sesudahnya: Menemukan Humanisme Islam…(2)

Abdul Wahid Satunggal Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta