Abdul Wahid Satunggal Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menemukan Humanisme Islam Gus Dur Dalam Maqâshid (2)

3 min read

Sebelumnya: Menemukan Humanisme Islam…(1)

Maqâsid Syariah dan Penghargaan Terhadap Manusia

Jika Gus Dur mempopulerkan humanisme Islam lewat Khalil al-Farahidi, seorang ahli bahasa abad ke 2 H, yang berusaha mencari titik rasionalitas dalam Islam, di mana rasionalitas adalah cikal-bakal dari humanisme, maka, dalam tulisan ini, humanisme islam akan digali lewat satu pintu yang paling strategis dalam ajaran islam, yaitu hukum islam (syariat). Syariat adalah segala macam bentuk aturan yang ditetapkan oleh Allah kepada umat Islam yang telah mencapai usia akil balig dan berakal sehat. Hukum islam yang ditetapkan memiliki konsekuensi yang secara sepintas dianggap “membebankan” manusia, seperti pergi Haji misalnya yang harus mengeluarkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Meski sebenarnya konsekuensi tersebut adalah sesuatu yang logis dan diterima oleh setiap penganut agama sebagai bentuk kecintaan terhadap agamanya. Akan tetapi dalam rangka menemukan hal-hal yang rasional dalam Islam, sebagai upaya untuk menjadikan Islam sebagai agama yang lebih mudah diterima masyarakat dan dalam rangka menjawab tuduhan-tuduhan yang tidak benar tentang stigma islam sebagai agama yang anti-humanis, maka perlu adanya kajian-kajian mengenai hal tersebut.

Di awal abad ke 7 H tokoh pembaharu dalam bidang ushul fikih, Imam asy-Syatibi (w.790 H) telah meletakan pondasi utama kajian Maqashid Syariah, meski jika dilacak secara historis, tema ini telah dibahas sejak abad ke 5 H oleh beberapa ulama semisal, Imam al-Juwaiani (w.478 H), Imam al-Ghazali (w.505 H), Izzudin bin Abdi As-Salam (w.660 H) dlsb. Namun hanya sebatas sub-bab dalam pembahasan ilmu ushul fikih. Di tangan asy-Syatibi, Maqashid mendapat perhatian lebih besar, dengan menjadikannya sebagai suatu teori. Sampai akhirnya Islam mengalami kemunduran yang disebabkan runtuhnya kejayaan Islam, saat itu juga perbincangan mengenai Maqashid dan ilmu-ilmu islam lain terputus. Baru kembali terbuka pada era modern, pada abad ke 13 H, saat Thahir bin Asyur (w.1393 H) menuliskan buku khusus mengenai Maqashid “Maqashid Syari’ah al-Islamiyyah” yang di dalamnya mencakup konsep dan perkembangan teori Maqashid yang lebih komperhensif. Dan dari tangan Thahir bin Asyur ini lah Maqashid Syariah terus mengalami perkembangan yang progresif dan eksploratif. Salah satu pemikir Maqashid yang kemudian mengeksplore pembahasan Maqashid adalah Abdul Majid Najjar, seorang pemikir dan aktifis muslim Tunisia yang sampai saat ini masih menjabat sebagai pengurus persatuan ulama-ulama Eropa. Dalam karyanya yang berjudul Maqashid al-Syariah bi ‘Abadin Jadidah (Maqashid Syariah dalam Perspektifnya yang Baru) Najjar memberikan perhatian khusus terhadap konsep humanisme islam yang dibarengi dengan dalil-dalil yang argumentatif dan logis.

Baca Juga  Etika Terhadap Lingkungan Menurut Al-Quran

Pembahasan pertama mengenai humanisme dalam Maqâshid dimulai dari perkembangan teorinya. Jika dalam paradigma lama, inti pembahasan Maqâshid berpacu pada penjagaan terhadap lima hal yang pokok (dharuriyat al-khomsu) yaitu memelihara akal (hifdzhu al-aql), memelihara agama (hifdzu ad-din), memelihara jiwa, memelihara keturunan (hifdzu nasal) dan memelihara harta (hifdzu al-mal). Pembagian tersebut dalam pandangan Najjar bukanlah pembagian yang final, seiring berkembangnya zaman, hal-hal semacam itu tentu tidak bisa menampung semua problem yang terjadi akbit globalisai dan kemajuan teknologi. Dalam kontek humanisme misalnya, begitu banyak terjadi krisis kemanusiaan seperti yang disinggung di atas mengenai kekeraksan atas nama agama. Maka perkembangan teori maqashid ini menyumbangkan pemikiran yang sangat besar dalam pembahasan humanisme islam.

Dalam bukunya Najjar memberi dua bahasan khusus mengenai humanisme. Pertama penghargaan terhadap manusia. Kedua mengenai pemeliharaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Yang pertama berpijak pada transformasi teori Maqashid klasik pemeliharaan terhadap agama dan yang kedua berpijak dari teori pemeliharaan jiwa. Meski secara umum sebenarnya tema mengenai humanisme dibahas dalam bukunya, akan tetapi yang secara spesifik menyoal pemeliharaan terhadap manusia disandingkan dengan bab pemeliharaan terhadap agama dan jiwa.

Kenapa pemeliharaan terhadap kemanusiaan disandingkan dengan pemeliharaan terhadap agama? Karena agama diletakkan di atas eksistensi manusia, jika nilai-nilai kemanusiaan tereduksi, secara otomatis otoritas agama mengalami kendala dalam melaksanakan programnya. Dalam perspektif Najjar yang disebut sebagai menjaga manusia dan kemanusiaan (hifdzu insaniyati al-insan) lebih luas dari sekedar menjaga manusia secara zahir yang dalam kontek Maqashid diaplikasikan lewat pemeliharaan terhadap jiwa (nyawa), akan tetapi juga menjaga nilai-nilai kemanusiaan, tujuan hidup, dan eksistensinya sebagai identitas yang utuh.

Baca Juga  Kenangan Benedict Anderson: Dari Gus Dur, Cak Nur, Malari 1974 sampai Gerakan Mahasiswa ITB 78 (1)

Ada empat tahapan dalam penjelasan Najjar mengenai pemeliharaan terhadap manusia dan nilai-nilai  kemanusiaan. Pertama menjaga fitrah manusia, (hifdzu fitrah al-Insaniyah) di mana fitrah merupakan hal paling dasar yang mencakup dimensi lahir maupun batin. Fitrah sendiri didefinisikan sebagai suatu sistem dalam bentuk ciptaan yang diberikan Allah kepada setiap mahluknya. Tanpa penghargaan terhadap fitrah mustahil manusia dapat menjalankan perintah Tuhan-Nya. Ini yang menjadi catatan penting bahwa penghargaan terhadap fitrah –yang dalam istilah humanisme sekuler disebut sebagai ‘’naturalistik,’’ merupakan dasar awal dari humanisme islam.

Kedua menjaga kemuliaan manusia (hifdzu al-karamati al-Insaniyah) dengan menyodorkan beberapa dalil baik dari al-Qur’an maupun hadits tentang kemuliaannya. Kemuliaan manusia berada di atas ras ataupun golongan. Seperti yang disinggung dalam Hadits kesetaraan antara bangsa Arab dan non arab mengenai prioritas taqwa sebagai tolak ukur kemuliaan manusia.

Ketiga menjaga tujuan kehidupan (hifdzu ghaiyatu al-hayat) dengan maksud bahwa Allah tidak menciptakan manusia untuk sia-sia belaka, melainkan dengan tujuan sebagai khalifah yang akan membawa kemakmuran dan kemaslahatan baik bagi dirinya maupun masyarakat.

Keempat  menjaga kebebasan manusia, (hifdzu hurriyah al-Insan). Dalam Islam paksaan adalah sesuatu yang dilarang karena menghalangi kebebasan. Allah menciptakan manusia sebagai mahluk yang memiliki kehendak (Iradah). Dari sinilah muncul pengertian bahwa kebebasan manusia adalah pondasi awal untuk mencapai derajat Insan kamil. Tanpa kebebasan manusia tidak sempurna sebagai manusia. Oleh karenanya pemeliharaan terhadap kebebasan ini menjadi prioritas dalam penerapan hukum-hukum Islam.

Keempat poin di atas sejatinya hanyalah ringkasan sederhana dari pokok pikiran Najjar, yang menurut penulis memiliki kesamaan dengan unsur-unsur humanisme sekuler. Memang tidak menutup mata bahwa ada perbedaan prinsip antara humanisme sekuler dengan humanisme islam, akan tetapi perbedaan tersebut sifatnya hanya dalam pandangan teologi, sedangkan dalam hal praksis nyaris tidak bertentangan. Keempat unsur tersebut dalam kacamata Najjar menjadi hal yang sama pentingnya dengan menjaga dhoruriyat al-khomsu, yang digunakan sebagai landasan untuk menggali hukum. Dengan begitu syariat sejatinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai humanisme yang bertujuan untuk mengangkat derajat manusia, justru lewat Maqâshid Najjar ini syariat tetap mampu berdampingan dengan kemajuan dan perkembangan zaman, sesuai dengan slogan yang kita kenal bersama bahwa syariat akan selalu sesuai di manapun dan kapanpun (syari’ah sâlihatun li kulli zaman wa al-makan). (MMSM)

Abdul Wahid Satunggal Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta