(Disadur dari Tales from the Land of the Sufis, karya Mojdeh Bayat dan Mohammad Ali Jamnia)
Mendengar pergolakan politik di Persia, hati Syirin jatuh sedih. Dia membayangkan kepedihan yang sedang menimpa khusrau. Dia mengkhawatirkan nasib Khusrau. Syapur meyakinkannya, “jangan bersedih Tuan Putri. Saya adalah sahabatnya bertahun-tahun sehingga tahu siapa sang Pangeran. Dia orang yang sangat cakap dan lihai berkelit dari mara bahaya.”
Hati Syirin pun menjadi sedikit tenang. Untuk menghibur Syirin, Syapur mengusulkan melakukan perjalanan berburu kijang. Syapur berharap agar Syirin tidak terlalu gundah memikirkan Khusrau. Dia tahu bahwa Syirin menyukai berburu di masa lalunya. Syirin pun setuju.
Dengan ditemani Syapur dan beberapa pelayannya, syirin berkemah sejauh lima belas mil di luar ibukota Armenia. Tapi aktivitas itu tetap tidak sepenuhnya bisa melenyapkan hatinya dari bayang-bayang Khusrau. “Oh kekasih, apa yang menimpamu di sana? Saat engkau sedih, seharusnya aku di dekatmu.”
Di hari kedua, Syirin melihat dari kejauhan seorang menunggang kuda mendekat. Setelah dekat, syapur mengenali bahwa itu adalah Pangeran Khusrau sekalipun dia menyamar sebagai orang biasa yang berpakaian putih.
Tetiba kupu-kupu indah warna warni bertebangan. Mengayun-ayunkan bunga-bunga agar membuka kelopaknya menyaksikan keajaiban cinta. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja pelangi melengkung di atas kepala Syirin. Kijang-kijang yang biasanya lari ketakutan kini berjalan pelan dan lembut menyentuhi pinggiran gaun Syirin.
Jika engkau pernah membayangkan surga dengan bening sungai yang mengalir gemericik, dahan-dahan pohon yang mengulurkan buahnya untuk dipetik, maka nikmatilah keindahan alam yang mengelilingi dua pecinta ini. Alam tersenyum saat menyaksikan dua pecinta yang kikuk malu-malu saat diperkenalkan. Mereka tak tahu harus melakukan apa selain saling mengucapkan salam. Peri-peri hutan gemas sampai menarik-narik tangan kedua orang ini agar saling mendekat dan berangkulan.
Kerinduan yang menggemuruh sekian lama tak sanggup menghadapi pertemuan tiba-tiba ini. Indah? Ya. Tapi juga takut eh…malu eh… gak tahu lah. Pokoknya seribu satu perasaan memenuhi dada. Berkecamuk! Jika dituangkan menjadi lukisan, mungkin hasilnya adalah lukisan abstrak. Indah? Ya, tapi kamu juga akan kesulitan menjelaskannya.
Akhirnya, acara berburu gagal seketika. Mereka sepakat mengubah acara perburuan menjadi kemah kemesraan. Tenda pun dipindah ke lokasi pinggiran kota yang selama ini menjadi tempat favorit Syirin karena alamnya yang sangat indah. Di sini mereka menghabiskan waktu dengan menikmati musik yang disajikan oleh para rombongan seniman yang khusus didatangkan. Para pelayan menyiapkan hidangan yang sangat lezat. Perburuan diganti dengan permainan polo yang menyenangkan. Khusrau dan Syirin sudah tidak ingat berapa hari yang sudah dilalui.
Setelah sekian hari, akhirnya mereka berdua memiliki kesempatan untuk memisahkan diri dari rombongan. Di bawah pohon kenari yang dulu tergantung lukisan sketsa Khusrau, mereka berciuman dan saling menyatakan cinta. Namun saat khusrau meminta Syirin untuk menghabiskan malam bersamanya, seketika Syirin terhenyak dan mundur. Dia teringat pesan bibinya.
Setengah terisak dia berkata, “Kukira kau mencintaku.”
“Aku memang mencintaimu,” jawab Khusrau. “Itulah mengapa aku ingin bersamamu.”
Syirin menukas ketus. “Ini bukan cinta. Ini nafsu!” dengan suara yang begetar.
Mungkin juga karena didorong oleh cintanya dan ketidakrelaannya atas nasib Khusrau, Syirin menatap dingin wajah Khusrau dan berkata dengan tegas, “Jika engkau mencintaiku, kamu harus mengusir penjarah kerajaanmu. Rebutlah kembali apa yang menjadi hakmu. Setelah itu barulah engkau memintaku menjadi istrimu.”
Seketika langit terasa runtuh. Cinta yang begitu memabukkan, rindu yang begitu dalam, tak sanggup menerima semua ini. Kelelakian Khusrau pun terasa koyak moyak. Dengan suara memelas, dia berkata, “Tidakkah engkau tahu karena kamulah aku meninggalkan negeriku?”
Dengan satu tarikan nafas, Khusrau melompat ke atas kudanya, mengambil bekalnya di tenda, dan pergi.
Sesudah kepergian Khusrau yang tergesa-gesa dan penuh marah karena tersinggung, Syirin sangat menyesal. Dia tidak tahu apa yang telah dilakukannya. Ribuan sesal meggelayut di hatinya. Andai waktu bisa diputar, dia ingin berlaku lebih lembut kepada kekasihnya, laki-laki yang dirinduinya siang malam. Kini ia sendiri lagi.
Hanya Syapurlah teman yang sanggup memahaminya. Siang malam Syapur mendengar ratapan dan tangis Syirin yang tiada henti. Bukankah bertemu Khusrau adalah keinginannya selama ini? Bukankah menyatu dengan kekasih adalah rahasia terdalam dari cinta. Lalu mengapa saat berjumpa justru dia menjauhkannya?
Kepedihannya semakin dalam saat Mahin, bibi yang sudah seperti ibunya sendiri, wafat karena radang paru-paru.
“Oh pembawa anggur, jika tak ada tetes lagi yang bisa kureguk, mengapa kau izinkan aku menyesapnya di awal sua.” Bersambung…
Baca selajutnya: Kisah Cinta Sufi… (7)