Ustaz Ahmad Z. El-Hamdi Ustaz Milenial Tinggal di Sidoarjo

Kisah Habib di Keluargaku

2 min read

Ada seorang habib yang biasa jualan minyak wangi keliling. Si habib ini sering singgah di pesantren kakek. Kakek sangat menghormati si habib ini karena memiliki kepribadian yang baik. Tidak jarang dia dijamu makan karena jualan minyak wanginya tidak selalu memberikan pemasukan yang cukup. Oleh kakek, habib ini kemudian diambil menantu, dinikahkan dengan kakak perempuan ibu (Bu De). Pasangan ini dikaruniai Tuhan lima orang anak.

Semuanya berjalan biasa saja. Saat-saat liburan atau setelah Lebaran, kami (para cucu) semuanya kumpul di rumah kakek. Itu adalah salah satu momen kebahagiaan kami. Berkumpul dengan banyak saudara sepupu dan bermain apa saja nyaris tanpa jeda. Kami semua tumbuh dalam keriangan persaudaraan. Tak ada kasta. Semuanya setara, termasuk menyangkut saudara-saudara sepupu keturunan habib ini. Semua saudara.

Ketika kami beranjak dewasa, entah dari mana datangnya virus kesombongan itu, anak laki-laki tertuanya merasa bahwa karena keturunan seorang habib, ia dan keluarganya punya kedudukan lebih mulia. Kami semua tak menganggapnya. Bahkan saudara-saudaranya yang lain pun tidak menganggapnya. Lebih tepatnya, kami tak memedulikannya. Bahkan dalam beberapa kesempatan kami kasihan kepadanya, karena obsesi kemuliaan itu seringkali dia menempatkan dirinya secara memalukan.

Msalnya, saat acara keluarga yang penuh keakraban, tiba-tiba dia nyelonong mengambil mik dan berceramah pajaaang dan berapi-api. Semua keluarga diam bukan karena ingin mendengar ceramahnya, tapi karena kasihan padanya. Di belakangngnya, tidak jarang kami ngrumpi tentangnya sambil mesem-mesem, karena tidak tahu gimana cara mengentikannya. Jelas, beberapa orang di antara kami ada yang jauh lebih memiliki ilmu keagamaan yang mumpuni dan kualitas moral yang lebih baik untuk didaulat sebagai “tukang ceramah” dalam pertemuan keluarga daripada dia.

Baca Juga  Tafsir Maqāshidī dan Gerakan Pembaruan Tafsir

Diam-diam, kami bersepakat untuk memberinya porsi sebagai pemimpin doa di akhir acara. Ternyata, itu pun bermasalah, karena dia tidak langsung doa, tapi didahului ceramah berapi-api yang panjaaaang, yang kemudian dilanjutkan dengan doa yang tak kalah panjang. Sedang kami semua sudah ingin makan karena perut semua orang sudah kelaparan.

Di keluarga besar kami memang dididik untuk menghormati keturunan Nabi, tapi penghormatan itu bukan tanpa reserve. Penghormatan kepada keturunan Nabi adalah perwujudan penghormatan kita kepada sang Nabi. Penghormatan itu dibangun di atas asumsi bahwa keturunan sang Nabi semestinya mewarisi kemuliaan akhlak kakeknya yang suatu kali bersabda bahwa ia diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Pada dasarnya, penghormatan itu akan diberikan kepada siapa saja yang memiliki kualitas akhlak dan spiritualitas yang baik. Kami memang sejak kecil terbiasa dengan pakaian khas santri (sarung dan kopiah), namun sejak dini pula kami dididik untuk tidak meletakkan kehormatan seseorang pada pakaiannya. Itulah mengapa di keluarga kami, kami bisa menghormati seorang habib sepenuh hati, tapi juga bisa menertawakannya tanpa merasa bersalah. Biasa-biasa saja!

Tradisi pendidikan akhlak yang ditanam di keluarga saya juga membuat saya tidak silau dengan panggilan “Gus”. Panggilan “Gus” biasanya disematkan kepada putra kiai. Panggilan ini tidak kalah hegemoniknya dengan panggilan “habib”. Bagi banyak orang, seorang gus boleh melakukan apa saja. Apapaun yang dilakukan gus, mau dia mengkonsumsi narkoba atau melecehkan santriwatinya, dia tetap harus dibela.

Bagi saya, tidak ada manusia yang hidup di atas aturan. Kebejatan tetap kebejatan sekalipun dilakukan oleh putra kiai. Seseorang dianggap preman bukan karena dia keturunan siapa, tapi karena kelakuannya. Orang dikatakan shaleh bukan dari pakaiannya, tapi dari akhlaknya. Putra kiai yang bermain dengan narkotika, dia harus menanggung akibatnya. Putra kiai yang melakukan pelecehan seksual terhadap para santriwatinya harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya, bukan berlindung di ketiak ayahnya dan perlindungan centeng-santrinya.

Baca Juga  Perbankan Syariah di Oman: Pemain Baru yang Langsung Melejit

 Seumur hidup, hanya sekali saya dihajar oleh ayah saya. Itu pun dilakukan di masjid, di depan semua orang. Ceritanya, sore itu, menjelang maghrib, saya membuat menangis salah seorang santri ayah karena tanpa sengaja memukul udun (bisul besar) di bokong si santri tersebut. Sampai saat ini saya masih ingat raut muka kesakitan dan lolong tangisnya karena udunnya yang njebrot akibat pukulan saya.

Semua orang di masjid jatuh kasihan kepada si santri. Semua mata memandang masygul ke saya. Tapi siapa yang bernai menghukum saya? Saya adalah putra kiai. Di samping itu, banyak yang bersaksi,  saya melakukan itu karena saya tidak tahu bahwa ternyata bokong di balik sarung itu tengah ditumbuhi udun besar yang sedang berada di puncak rasa sakitnya karena sebentar lahar akan bererupsi.

Menjelang ngaji bersama selepas maghrib, ayah menunda acara ngaji. Dia bertanya tentang kejadian jebrot-nya udun. Semuanya diam. Saya meriut penuh ketakutan. Semua tahu bahwa pertanyaan itu hanyalah adegan pendahuluan karena ayah sudah tahu apa yang terjadi. Adegan puncaknya akan segera dimulai: dia menghukum saya di depan semua santrinya.

Setelah itu, ayah berkata tegas kepada semua orang: “Saya tidak peduli dia putra siapa, siapa yang melakukan kesalahan harus mempertanggungjawakan kesalahannya. Kalian paham?” Semuanya terdiam. Saya hanya bisa menangis sesenggukan hingga saat giliran saya harus membaca kitab di depannya, saya tak sanggup karena mata masih dipenuhi air mata dan penyesalan masih menyesaki dada. []

Ustaz Ahmad Z. El-Hamdi Ustaz Milenial Tinggal di Sidoarjo

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *