Arjuna selama ini dikenal karena ketampanannya. Sekian lama ia terstigma sebagai play boy penakluk wanita. Pokoknya, ia adalah simbol kesenangan duniawi dari seorang pria. Tapi, marilah kita melihat sosoknya sebagaimana yang ditulis dalam Kitab Bhagavad Gita.
Bhagavad Gita adalah sebuah kitab yang berisi ajaran-ajaran keruhaniaan. Kitab ini merupakan bagian dari karya sejarah epos Mahabharata. Bhagavad Gita (versi Bhagavad Gita menurut Aslinya, penerbit: The Bhaktivedanta Book Trust) berisi 18 Bab dan 700 sloka atau ayat. Di dalamnya berisi pendidikan ruhani Sri Krishna terhadap Arjuna, salah satu tokoh penting Pandawa. Ajaran-ajaran ini terentang dari akhlak mulia, kedudukan materi, hakekat roh, hingga jalan ruhani menuju Tuhan Yang Maha Esa.
Yang menakjubkan dari kisah ini adalah bahwa pendidikan ruhani ini diberikan Sri Krishna kepada Arjuna di Medan Perang Kurusetra, tepat sebelum dimulainya perang saudara antara Pandawa melawan Kurawa. Pendidikan keruhanian ini dimulai karena kegamangan Arjuna dalam menghadapi pertempuran, di mana yang dihadapi adalah para keluarga dan guru-gurunya sendiri. Dari sinilah percakapan antara Arjuna dan Sri Krishna dimulai.
Sebagaimana dikisahkan, perang Baratyudha ini terjadi antara Pandawa dan Kurawa. Pandawa dipimpin oleh Yudistira, putra Pandu, sedang Kurawa dipimpin Duryodhana, putra Dhrtarastra. Pandu adalah saudara Dhrtarastra. Keduanya dilahirkan dalam Dinasti Kuru, keturunan Raja Bharata. Saat Pandu meninggal dunia, putra-putranya yang menjadi pewaris sah tahtanya masih kecil, sehingga kerajaan sementara dipegang oleh Dhrtarastra sampai para putra Pandu siap naik tahta. Perang legendaris ini terjadi karena Dhrtarastra hendak memberikan tahta kerajaan yang menjadi hak Pandawa kepada putranya, Duryodhana.
Kalau kita mengikuti percakapan antara Krishna dan Arjuna di sepanjang 700 sloka, sama sekali tidak menujukkan adanya nasihat strategi peperangan. Percakapan ini sepenuhnya berisi piwulang dari seorang guru spiritual terhadap murid yang hendak menempuh perjalanan spiritual menuju Tuhan.
Kurusetra sendiri bermakna tempat sembahyang. Diceritakan bahwa Kurusetra adalah tempat peziarahan suci yang sudah dikenal lama. Peperangan itu ada di sana. Dhrtarastra yang mengetahui motif putranya dalam melakukan peperangan, sangat khawatir bahwa tempat itu akan memberi kutukan kekalahan kepada pasukan Kurawa.
Dalam perang itu, Krishna tidak mau terlibat secara langsung. Krishna adalah keponakan Kunti, istri Pandu, ibu para Pandawa. Jadi dia juga masih terikat keluarga dengan para Kurawa. Krishna hanya memperbolehkan kekuatannya dimanfaatkan baik oleh Pandawa maupun Kurawa. Duryodhana meminta pasukan Krishna untuk menjadi bagian pasukan tempurnya, sedang Arjuna meminta Krishna untuk menjadi penasihatnya. Dalam pertempuran di padang Kurusetra itu, Krishna bertugas sebagai kusir kereta Arjuna.
Salah satu ajaran yang diberikan Krishna ke Arjuna tertuang dalam bab 2 sloka 38, yang berbunyi: “Bertempurlah demi pertempuran saja, tanpa mempertimbangkan suka atau duka, rugi atau laba, menang atau kalah—dengan demikian, engkau tidak akan dipengaruhi oleh dosa.”
Sekilas, ini seperti cara seorang penasehat perang dalam memotivasi jenderalnya. Namun, ini juga jelas ajaran tentang keikhlasan hidup. Seorang hamba pada akhirnya hanya akan menjalankan kewajiban yang sudah dititahkan. Surga dan neraka sebagai balasan atas perilaku baik dan buruk pada akhirnya adalah hak prergogatif Tuhan. Orang yang menjalankan kehidupan sebagai bagian dari tugas kehambaan akan menjalaninya dengan penuh keihklasan, tanpa pamrih surga atau neraka.
Dalam bab 2 sloka 47, dinyatakan: “Engkau berhak melakukan tugas kewajibanmu yang telah ditetapkan, tetapi engkau tidak berhak atas hasil perbuatan. Jangan menganggap dirimu penyebab hasil kegiatanmu, dan jangan terikat pada kebiasaan tidak melakukan kewajibanmu”.
Ajaran ini semakin meninggi, sebagaimana dalam bab 2 sloka 55: “Bila seseorang meninggalkan segala jenis keinginan untuk kepuasan indria-indria, yang muncul dari tafsiran pikiran, dan bila pikirannya yang sudah disucikan dengan cara seperti itu hanya puas dalam sang diri, dikatakan ia sudah berada dalam kesadaran ruhani yang murni”.
Bagaimana orang mau perang diberi wejangan spiritual seperti ini? Bukankah ini justru akan membuat Arjuna semakin gamang melanjutkan pertempuran? Tapi tidak! Pertempuran itu adalah titah yang sudah digariskan. Tidak boleh ada yang surut ke belakang karena gamang.
Perang itu adalah kehidupan ini sendiri. Dunia ini adalah padang Kurusetra, tempat kita melakukan peziarahan suci menuju kematian. Dunia ini adalah masjid di mana setiap jengkalnya adalah sajadah untuk sembahyang kepada Yang Esa. Dalam menghadapi kehidupan ini, kita bisa menang atau kalah. Kemenangan tidak terletak dalam kepuasan material-indrawi. Itu bukan kemenangan. Itu adalah kerakusan. Jika kita terjebak dalam kesenangan inderawi, kita sebetulnya telah kalah dalam peperangan.
Sekarang, marilah kita merenung: Apakah Lebaran sebagai kemenangan? Jika Lebaran dianggap sebagai kemenangan, lalu puasa sebulan sebagai apa? Apakah sebulan puasa sebagai latihan dalam rangka menghadapi peperangan yang sesungguhnya ataukah ia sebagai peperangannya?
Mungkin istilah ‘Lebaran sebagai kemenangan’ inilah yang membuat cara kita memaknai puasa dan memperlakukan Lebaran salah arah. Puasa dimaknai sebagai peperangan di mana hari kemenangannya adalah saat Lebaran. Layaklah jika Lebaran menjadi hari pertama untuk berpesta selama satu tahun ke depan.
Jika Lebaran adalah pembuka pesta, maka hari-hari kita akan kita habiskan dalam hura-hura. Lalu, di mana makna puasa jika yang lahir justru adalah manusia-manusia yang menjalani kehidupannya dengan pesta pora. Padahal, saat Tuhan memerintahkan kita untuk menahan makan, minum, dan bercinta dalam kurun waktu tertentu selama bulan Ramadan, mestinya kita akan terlahir sebagai manusia dengan pribadi yang tahu batas diri dalam mengkonsumsi sekalipun itu milik sendiri.
Saat Nabi mengingatkan kita bahwa puasa bisa jatuh pada sekedar lapar dan dahaga jika tidak dibarengi dengan kematangan ruhani, mestinya itu akan melahirkan manusia-manusia dengan pribadi istimewa setelah sebulan berpuasa. Jika puasa sebulan penuh hanya menunggu Lebaran sebagai launching pesta pora karnaval kehidupan, rasanya ada yang salah dalam cara kita memaknai puasa.
Puasa tak pernah mendidik kita untuk menjadi manusia ruhani karena cara kita memaknainya sekedar jeda dari pesta pora. Tak cukup sepiring nasi untuk mengganjal perut, bahkan hutan pun kita sikat, gunung kita lipat, untuk kita sembunyikan dalam lembar-lembar deposito. Kehidupan sebelas bulan kita adalah pesta saat seluruh nafsu dan keinginan terus-menerus dipuaskan, sambil berharap sebulan berpuasa bisa mencuci seluruh dosa-dosa kita. Kemudian saat Lebaran, kita berteriak: Kita Menang! Padahal, terompet peperangan belum juga dibunyikan.[]