Beberapa tahun terakhir praktik-praktik radikalisme memang sudah jarang terdengar. Meskipun begitu kita tidak boleh lengah karena mau bagaimanapun praktik tersebut hanya tinggal menunggu waktu saja, entah esok, lusa, minggu depan, bulan depan, dan tahun depan, yang pasti kapanpun bisa terjadi. Lebih dari waspada yang patut dilakukan adalah meminimalisir praktik radikalisme itu sendiri.
Adapun salah satu cara meminimalisir praktik radikalisme adalah dengan melakukan kampanye kontra narasi melalui media digital. Di sisi lain oknum-oknum radikalis juga melakukan kampanyenya melalui digital. Dengan adanya kontestasi tersebut tentu siapa saja dapat terjerat dan melakukan perlawanan dengan radikalisme. Tidak terkecuali Gen Z.
Media dan Radikalisme
Sebelum membahas radikalisme, saya akan membawa pembaca kepada salah satu faktor mengapa seseorang dapat terpapar radikalisme, salah satu faktornya adalah adanya ekslusivisme di media . Komarudin Hidayat menyebutkan bahwa terdapat lima tipologi sikap keberagamaan, yakni “ekslusivisme, inklusivisme, pluralisme, elektivisme, dan universalisme”. Kelima tiopologi tersebut masing-masing memiliki dampak yang siginifikan baik positif dan negatif pada NKRI. Salah satu tipologi yang dianggap menjadi ancaman adalah ekslusivisme.
Secara definisi ekslusivisme adalah suatu pandangan yang melahirkan ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama lain, sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya konversi, sebab agama dan penganutnya terkukung dalam pandangan Tuhan. Saat ini pandangan tersebut sudah bukan rahasia umum lagi, artinya sudah banyak terlihat orang-orang dengan pemahaman tersebut yang muncul di depan umum dan media sosial untuk menyebarkan pemahamannya.
Sikap ekslusivisme beragama inilah yang nantinya akan memunculkan pemahaman radikalisme dan praktik-praktik radikal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survei Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga Yogyakarta yang menyatakan bahwa melalui media sosial masyarakat lebih mudah terpapar radikalisme. Mirisnya lagi banyak orang yang tidak sadar bahwa yang diakses adalah situs-situs yang menyebarkan paham radikalisme atau terorisme karena konten-konten dalam situs tersebut dikemas dengan sangat bagus dan menyentuh.
Gen Z: Terjerat Atau Melawan
Jika membahas tentang media dan radikalisme, dan siapa yang lebih cepat terpapar, maka tidak menutup kemungkinan Gen Z adalah generasi yang mudah terpapar pemahaman radikalisme. Hal ini sudah bukan rahasia umum lagi jika Gen adalah generasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Sejak lahir generasi ini sudah bershabat dengan teknologi sehingga membuat mereka lebih mudah akrab dengan teknologi. Selain akrab, tentu gen Z lebih banyak memanfaatkan media sebagai sumber informasi mereka.
Dengan karakter serta kelebihannya dalam menggunakan media sosial tentu dapat memberikan pengaruh buruk, terlebih lagi generasi ini secara bersamaan tumbuh dengan berkembangnya pemahaman radikal di media. Mengutip dari binus.ac.id peristiwa bom bunuh diri di Markaz Polrestabes Medan, 13 November 2019 yang mana pelakunya masih berusia 24 tahun menunjukkan bahwa generasi z memiliki potensi terpapar pemahaman keagamaan yang ekstrem terlebih dalam komunitas keagamaan yang ekslusif.
Di sisi lain, Gen Z juga dapat memberikan perlawanan dengan menggunakan kreatifitasnya di media sosial untuk menyebarkan kampanye moderat. Kreatifitas tersebut dapat diwujudkan dengan membuat konten-konten positif, kemudian melakukan kontra narasi melalui literasi digital, membuat meme atau pamflet anti radikal, dan lain sebagainya. Bagi Gen Z tentu hal tersebut sangat mudah karena mereka sudah mulai bersentuhan dengan teknologi sejak dini.
Sebagai generasi digital, tentu Gen Z memiliki pengaruh yang besar dalam aktivitas radikalisme di media sosial. Mereka dapat melakukan perlawanan melalui konten-kontennya, tetapi di sisi lain mereka juga dapat terjerat dan ikut menyebarkan pemahaman tersebut. Salah satu caranya agar Gen Z berada di golongan yang melawan radikalisme adalah dengan memberikan edukasi keagamaan yang inklusif bagi Gen Z.
Gen Z dan Tantangan di Era Digital
Secara umum media sosial dimanfaatkan sebagai alat propaganda dengan menyebarkan konten-konten berbau ekstrimis dan radikal. Adapun sasaran mereka adalah pengguna aktif media sosial yang tidak lain adalah Gen Z. Oleh sebab itu sebagai generasi akrab digital Gen Z dihadapkan dengan tantangan baru yang begitu kompleks yaitu radikalisme dan terorisme. Hal ini tentu menjadi dorongan tersendiri bagi Gen Z untuk terus melakukan kampanye moderat sebagai langkah dalam melakukan perlawanan kepada kelompok-kelompok radikal.
Untuk melakuan pelawanan, tentu Gen Z harus memiliki kesadaran digital. Kesadaran digital tersebut berupa kritis terhadap sumber informasi yang didapatkan dan tidak mudah mengkonsumsi berita palsu di media. Meskipun sudah akrab tetapi belum tentu Gen Z hari ini dapat memahami bahwa mereka sedang berada di tengah-tengah arus informasi yang saling berlawanan antara moderat dan radikal. Sehingga Gen Z perlu memiliki kesadaran digital yang kemudian disusul dengan melakukan perlawanan kepada kelompok radikal di media sosial. Wallahua’lam