Protes besar-besaran yang terjadi di Amerika Serikat akibat terbunuhnya seorang warga kulit hitam karena kebrutalan polisi tidak hanya mengguncang negara yang selama ini dianggap sebagai paling demokrastis itu, tapi juga menggedor kesadaran keagamaan kita. Seberapa agama (terutama Islam) bersikap atas isu rasialisme ini. Jika kita melihat pada beberapa konflik agama, sentimen etnis atau ras tidak jarang terlibat di dalamnya.
Pasca-tragedi 11 September, Khaled Abou El Fadl, profesor dalam bidang Hukum Islam di UCLA, menulis sebuah esai panjang berjudul The Place of Tolerance in Islam. Di awal tulisannya dia menyatakan bahwa bagi kebanyakan orang Amerika, peristiwa 11 September itu diyakini sebagai bukti adanya perbedaan yang mendasar antara Islam dengan apa yang disebut sebagai Western values. Islam dikarakterisasi sebagai agama dengan ajaran yang menekanan pada hak-hak kolektif, kewajiban individual, legalisme, despostisme, dan intoleransi, yang semua ini berhadap-hadapan dengan nilai-nilai fundamental dalam peradaban Barat, yaitu kebebasan individu, pluralisme, dan sekularisme.
Menarik untuk disimak adalah bahwa apa yang disebut dengan Western values ini disamakan dengan Judeo-Christian values. Karena itu, peristiwa 11 September tidak hanya mendengungkan kembali tesis Huntington tentang clash of civilization, tapi juga membuka luka sejarah Perang Salib antara Timur dengan Barat (Islam dengan Kristen).
Apa yang ingin saya sampaikan adalah bahwa penghadapan antara Judeo-Christian values dengan Islamic values adalah sebuah cara pandang yang semena-mena. Ini bukan hanya tentang ketiganya berasal dari rahim teologis yang sama, namun ketiga kelompok itu juga memiliki sejarah permusuhan dan perdamaian di mana agama seringkali hanya menjadi pretext. Di sisi lain, apa yang disebut sebagai nilai-nilai mulia yang diimpikan, baik atas nama peradaban maupun agama, selalu memiliki jarak antara yang normatif dengan praktik kesejarahannya.
Setidaknya ada dua hal yang ingin saya soroti. Pertama, bagaimana Western values yang diagungkan itu dipraktikkan. Kedua, bagaimana normatif Islam dalam memandang nilai-nilai kemanusiaan dan praktik sejarahnya.
Bagi para pendatang, Amerika Serikat selalu dianggap sebagai tanah impian, dunia baru. Para migran yang berlayar ke ‘dunia baru’ ini dipenuhi mimpi kebebasan dan kemakmuran. Orang-orang Kristen Eropa yang lelah dengan penindasan karena perang agama, feodalisme, dan despotisme memenuhi rongga dadanya untuk hidup dalam sebuah negara, di mana mereka bisa menemukan kebebasan untuk memeluk keyakinannya, menyuarakan pendapatnya, dan mengumpulkan kekayaan. Begitulah kurang lebih Amerika Serikat, wakil par excellent Peradaban Barat, diimpikan.
Namun segera para pendatang Eropa ini mengamalkan didikan para orang tuanya untuk menjadikan diri mereka sendiri sebagi kelompok istimewa yang merasa berhak menindas dan membasmi kelompok di luarnya. Kebebasan dan kemakmuran hanya untuk warga Eropa kulit putih yang beragama Protestan. Korban pertama adalah native people. Korban berikutnya adalah orang-orang kulit hitam yang diangkut dari Afrika untuk menjadi budak di tanah-tanah pertanian majikan kulit putih. Ketika orang Yahudi menjadi korban penyingkiran di berbgai negara Eropa mengikuti jejak kaum Protestan ke tanah baru, mereka juga menemukan dirinya sebagai kelompok minoritas “aneh” di depan mata umat kristen Amerika yang menjadi kelompok mayoritas-dominan.
Tanpa mengabaikan berbagai perjuangan dan usaha untuk menghilangkan prasangka rasial dan kemajuan-kemajuan pemenuhan hak-hak native people, Afro-American, Yahudi, dan berbagai kelompok minoritas lain, yang ingin saya sampaikan adalah selalu ada jarak antara nilai-nilai normatif dengan realitas sejarahnya. Bahkan ketika nilai-nilai normatif itu menjadi impian semua orang pun, praktik pengkastaan dan penyingkiran kelompok tertentu terus saja terjadi.
Pernahkah rasialisme yang jahat ini ber-kongkalikong dengan agama? Sejarah memberi banyak bukti bagaimana agama melakukan pembelaan atas kelompok-kelompok tertindas dalam melawan para tiran. Dari sang Budha, Musa, Isa hingga Muhammad, agama lahir untuk menantang para tiran penindas dan berjuang merobohkan ketidakadilan. Namun, sejarah juga memberi tak sedikit bukti bagaimana narasi agama digunakan untuk meneguhkan sentimen rasial.
Pemisahan antara gereja orang-orang kulit hitam dan kulit putih di Amerika Serikat adalah sebagian kecil contoh bagaimana agama dan rasialisme bermesraan. Pembelahan sosial semakin menganga jika garis pemisah antar-etnis atau ras berkelindan dengan agama. Konflik etno-religion di berbagai tempat di dunia membuktikan hal ini. Konflik Hindu-Muslim di India atau Budha-Muslim di Myanmar menunjukkan bagaimana agama menjadi bagian dari sentimen etnis dan atau ras.
Lalu, bagaimana Islam? Sekalipun pertanyaan ini bersifat eksklusif, namun sesungguhnya pertanyaan ini secara hipotetik bisa dialamatkan pada semua agama. Islam, sebagaimana agama-agama lain, secara normatif berisi ajaran-ajaran yang meletakkan seluruh manusia dalam kesatuan umat. Tidak ada satu pun ayat di dalam al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang memungkinkan agama ini untuk menjadi bagian dari praktik rasialis. Sekalipun demikian, sejarah Islam tidak lepas dari praktik-praktik itu.
Sikap anti-rasial Islam setidaknya bisa dilihat dari Surah al-Hujurat (49:13), di mana Allah bersabda bahwa Dia telah menciptakan manusia dari laki dan perempuan, kemudian menjadikannya bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling berbuat baik. Kemuliaan sama sekali tidak diletakkan atas dasar jenis kelamin dan kesukuan, tapi ketakwaan.
Pidato Nabi Muhammad pada saat haji wada’ (haji perpisahan) tidak kalah fenomenalnya. Oleh banyak kalangan, pidato itu dianggap sebagai deklarasi hak asasi manusia pertama karena di sini sang Nabi bersabda dengan sangat lugas bahwa harta dan nyawa manusia adalah suci. Yang menarik adalah sekalipun yang dihadapi umat Islam, Nabi Muhammad mengawali pidatonya dengan panggilan “wahai sekalian manusia”.
أيها الناس, ان دماءكم وأموالكم حرام عليكم الى أن تلقوا ربكم كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا
Artinya: Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya darahmu dan hartamu adalah suci sesuci hari ini, bulan ini, dan tempat ini, sampai kalian menghadap Tuhanmu.
Di bagian ini dari pidato ini adalah sebagai berikut:
يا أيها الناس، إن ربكم واحد وأباكم واحد، ألا لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا أسود على أحمر، ولا أحمر على أسود إلا بالتقوى
Artinya: Wahai sekalian manusia! Tuhan kalian satu, dan ayah kalian satu. Ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang non-Arab, dan bagi orang non-Arab atas orang Arab; Tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan.
Sekalipun demikian, jejak-jejak rasialisme dalam sejarah Islam bisa ditemukan. Pengistimewaan suku Quraisy adalah salah satu jejak itu. Institusi rasiasalisme dalam sejarah Islam terlihat sangat jelas pada era kekhalifahan Umayyah. Karena bangsa Arab menempati posisi istimewa dalam tata sosial-politik-budaya saat itu, tidak sedikit orang yang “terpaksa” mengarang silsilah keturunannya agar bisa “memiliki” garis keturunan bangsa Arab. Hanya dengan ini mereka menjadi bagian dari keistimewaan sosial, budaya, dan politik.
Sentimen rasial ini dalam banyak hal berkelindan dengan identitas keislaman.
Khalifah yang dikenal paling adil bijaksana di era Dinasti Umayyah adalah Umar bin Abdul Aziz. Sebegitu harumnya nama Umar bin Abdul Aziz ini dalam sejara Islam hingga ada sebagian pihak yang menyebutnya sebagai ‘Umar Kedua’, di mana ‘Umar Pertama’ adalah Khalifah Umar bin Khattab. Sekalipun demikian, di era Umar bin Abdul Aziz ini dicatat adanya praktik diskriminasi yang terlembagakan dengan sangat vulgar. Misalnya, non-Muslim harus menggunakan tanda tertentu di pakaiannya. Jika non-Muslim naik kendaraan (kuda atau keledai) dan berpapasan dengan Muslim yang berjalan kaki, dia harus turun dari kendarannya.
Jejak-jejak rasisme itu juga kita temukan di Indonesia. Novel Arus Balik-nya Pramoedya Ananta Toer menuturkan tentang orang Arab yang bersikap rasis terhadap pribumi, di mana rasisme ini dibalut dengan narasi-narasi keislaman. Arab dan Islam saja tidak cukup, ia harus disegel dengan silsilah yang menghubungkannya dengan darah Nabi Muhammad.
Pertanyaannya, mengapa pesan normatif Islam yang sedemikian gamblang melawan rasialisme dan meletakkan manusia ke dalam kesatuan umat universal yang setara bisa mudah terperosok ke dalam praktik-praktik rasial? Jawabannya bisa sama dengan jawaban atas pertanyaan mengapa negara seperti Amerika Serikat yang dibangun di atas impian tentang kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan keadilan bisa dirasuki oleh sentimen rasial yang sangat memalukan.
Bisa jadi ini tentang keserakahan dan kerakusan yang mengeram dalam spesies manusia, tidak peduli apapaun agama dan etnisnya. Dalam konteks Islam, Abou El Fadl menyatakan bahwa makna teks agama tidak semata-mata ada dalam arti literal kata-katanya, tapi juga konstruksi moral yang digunakan oleh pembacanya. Jika pembaca mendekati teks agama tanpa memiliki komitmen moral, maka yang lahir adalah narasi keislaman yang tidak hanya dipenuhi prasangka rasial, tapi juga berbagai dalih untuk menyingkirkan sesuatu yang dianggap sebagai berbeda.[]